Sabtu, 07 Januari 2012

unmarried mother.. single parent... Siapkah anda?

Ibu …….., aku hamil ……!!!
Atau ….
Mbak …., aku hamil ……!!!
Dapatkah anda bayangkan bagaimana wajah perempuan yang sedang mengatakan kalimat di atas?
Senangkah …. ?
Cemaskah ….. ?
Putus asa ..…. ?

Coba pandang matanya … resapi makna sinarnya. Disana, mungkin anda memperoleh jawabannya. Suasana hati perempuan itu, sangat tergantung dari statusnya. Kalau dia sudah menikah, mungkin kehamilan tersebut sudah sangat diharapkan. Maka bisa dipastikan kalimat tersebut diucapkan dengan mata yang berbinar-binar dan nada suaranya penuh kebahagiaan dan rasa syukur. Tetapi, bila kalimat tersebut diucapkan oleh perempuan yang belum menikah, berapapun umurnya, maka bisa jadi kalimat itu diucapkan dengan nada panik, takut dan putus asa. Apalagi bila lelaki, dengan siapa dia tidur, tidak menunjukkan itikad baik, bahkan menolak bertanggung jawab atau berada jauh di luar kota, sementara hubungan sexualnya dilakukan sambil lewat.

Perempuan hamil sebetulnya bukan suatu anomali .... tidak ada satu kehamilanpun yang dapat terjadi tanpa adanya hubungan sexual antar dua jenis kelamin. Termasuk juga kehamilan di luar pernikahan resmi. Satu-satunya kehamilan tanpa adanya pembuahan, hanya kehamilan perawan Maryam, atau pada peristiwa kelahiran Isa Almasih.

Pada era tahun 1970an, pasangan yang hidup serumah tanpa pernikahan selalu diributkan dan perempuan yang hamil tanpa menikah dicap sebagai perempuan ”rusak moral” yang layak dijauhi oleh ”keluarga baik-baik”?. Padahal, di kalangan masyarakat golongan rendah di Indonesia (terutama komunitas tuna wisma) banyak terdapat pasangan yang beranak pinak tanpa memiliki surat nikah selembarpun dan mereka hidup aman dan tenteram. Mereka, tentu bukan hendak bergaya hidup modern a la barat. Tetapi kemiskinan membuat mereka tak mampu mengeluarkan dana untuk melegalkan pernikahan. Tidaklah menjadi aneh bila saat suatu lembaga swadaya mengadakan upacara pernikahan massal, banyak pasangan yang sudah hidup serumah selama bertahun-tahun, beranak-pinak bahkan mungkin sudah bercucu, turut menjadi salah satu pasangan yang dinikahkan.

Sampai saat inipun, banyak pasangan yang hidup serumah dengan dalih telah menikah siri. Pernikahan yang dilakukan di hadapan penghulu dan keluarga dekat, tanpa dicatat oleh petugas resmi dari Kantor Urusan Agama (untuk kalangan beragama Islam). Mereka berdalih bahwa, setiap pernikahan yang dilaksanakan berdasarkan syariat agama, maka komitmen hidup bersama itu, dilakukan ”dengan nama” Tuhan?, walau nyatanya seringkali disalahgunakan oleh pasangan tersebut untuk menghindari tanggung jawab. Kalau begitu keadaannya, ternyata secarik kertas berlabel SURAT NIKAH menjadi ”berhala” lembaga pernikahan yang seolah-olah menjadi pengikat komitmen dari sepasang manusia.

Kapan fenomena kehamilan di luar pernikahan ini mulai timbul?

Tahun 1972, saat duduk di bangku SMA, dua orang kawan semasa SMP di suatu kota kecil di Jawa Barat diberitakan terpaksa menikah. Konon karena si gadis telah hamil terlebih dahulu. Akibatnya kedua siswa SMA tersebut harus berhenti sekolah dan tidak dapat lagi menyelesaikan SMA nya. Dua tahun kemudian, adik kelas di sebuah SMA Katholik di bilangan Jakarta Timur terpaksa dikeluarkan karena hamil.

Masuk masa kuliah di tahun 1975, berita tentang kehamilan pranikah tak kunjung surut, malah lebih berkembang, menimpa beberapa kawan kuliah baik yang lebih senior maupun junior. Walaupun demikian, seluruh kehamilan pranikah ini diselesaikan dengan pernikahan pasangan tersebut. Belum terdengar kabar, bahwa keluarga si gadis mampu menerima kehamilan pranikah dan tidak menuntut lelaki untuk menikahi si gadis.

Entah bagaimana kelanjutan pernikahan yang dipaksakan tersebut. Satu hal yang pasti, perempuan yang hamil sebelum menikah, selalu mendapat cap ”perempuan nakal” dan demi menghindari status bayi sebagai anak haram, pernikahan selalu menjadi satu-satunya jalan keluar. Atau beberapa keluarga yang merasa diri ”sangat terhormat” mengambil jalan ”menggugurkan kandungan” secara diam-diam seraya mengungsikan anak gadis yang hamil tersebut.

Belasan tahun kemudian pada akhir tahun 1980an, sebuah LSM membuat suatu penelitian tentang gaya hidup mahasiswa di Yogyakarta. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan kenyataan bahwa tidak sedikit mahasiswa dan mahasiswa di Yogyakarta yang hidup bersama. Atau dalam istilah yang dikenal umum sebagai ”kumpul kebo”.

Hasil penelitian tersebut tentu saja mengejutkan banyak pihak. Sayangnya, alih-alih menyimak hasil penelitian tersebut sebagai fenomena awal yang harus dicermati perkembangannya, yang terjadi adalah polemik berkepanjangan mengenai keabsahan metode penelitian, seraya mencaci-maki dan menuduh lembaga penelitian tersebut, mencari sensasi yang meresahkan masyarakat. Bisa diterka, akhirnya hasil penelitian terlupakan begitu saja. Kita sudah menutup mata terhadap fenomena gunung es kehamilan pranikah.

Memasuki era tahun 2000, perempuan hamil di luar pernikahan sudah tidak terbilang lagi banyaknya. Seakan tidak mau kalah dengan gaya hidup barat yang dipertontonkan dalam film holywood, pasangan muda, baik yang masih berstatus pelajar maupun mahasiswa tidak malu-malu lagi mempertontonkan kemesraan di muka umum. Beberapa dari mereka bahkan membuat foto atau video erotis yang diperankan sendiri yang kemudian, sengaja atau tidak, tersebar untuk dilihat umum.

Perempuan era tahun 2000

Era kemajuan teknologi telekomunikasi/internet dan digital makin mempermudah anak-anak muda untuk mengekspresikan berbagai aspek kehidupan termasuk kehidupan seksualnya. Kita tentu belum lupa bahwa beberapa tahun yang lalu, satu pasangan mahasiswa dari Bandung menghebohkan jagat raya Indonesia dengan video hubungan seksual mereka, foto erotis dari pasangan-pasangan selebriti dan banyak lagi.

Beberapa teman wanita lajang berumur di atas 30 tahun membenarkan sinyalemen tentang kehidupan seksual pranikah para executive muda di Jakarta. Bahkan beberapa di antaranya, tanpa ada rasa segan mengakui bahwa mereka merupakan salah satu pelakunya. Yang melakukan hal tersebut sebagai bagian dari ekspresi jiwa, gaya hidup, kebebasan dan persamaan hak dan kewajiban antara lelaki dan perempuan.

Apa yang melatarbelakangi keberanian mereka mengarungi kehidupan sek pranikah? Atau, bagaimana cara mereka melindungi diri dari kemungkinan hamil? Entahlah.. saya tidak pernah berani menanyakannya. Itu merupakan bagian dari privasi mereka yang tidak perlu diusili, walaupun ada keresahan dan keprihatinan melihat kecenderungan tersebut. Tetapi satu hal yang hampir pasti, kehidupan tersebut, kebanyakan dilakukan di luar pengetahuan orang tua mereka.

Ada perubahan cara pandang terhadap etika, norma dan moralitas terutama di kalangan generasi muda. Bila 20 – 30 tahun lalu (wadaw ..... udah lama juga ya..... Jadul banget), tidak ada seorangpun yang berani berpelukan atau berciuman di muka umum, maka hal ini sekarang terlihat biasa dan banyak dilakukan anak muda.

Apakah mereka yang melakukan kehidupan seks pranikah (terutama perempuan) juga siap dan berani menanggung resiko terjadinya kehamilan di luar nikah? Menyatakan secara resmi dalam berbagai dokumen (akta kelahiran, misalnya) bahwa anaknya adalah anak yang lahir diluar nikah? Tidak ada catatan yang pasti mengenai hal ini, di Indonesia. Namun biasanya kehamilan di luar nikah selalu diakhiri dengan pernikahan pasangan tersebut atau pengguguran secara diam-diam. Tidak heran, bila praktek pengguguran kandungan ilegal di rumah sakit atau kamar praktek pribadi para dokter kandungan, sulit diberantaskan.

Bagaimana mencegah agar tidak terjadi pada anak-anak kita?

Sungguh ... saya tak mampu menjawabnya. Ada banyak teori yang dikemukakan orang. Salah satunya adalah memberikan pengajaran agama sejak dini. Namun. .. yakinlah, bahwa kenyataannya tidaklah sesederhana itu. Pengaruh pergaulan, gaya hidup modern yang diadopsi dari barat, kemajuan teknologi, longgarnya etika dan moral dan berbagai faktor luar lainnya tidak mudah untuk dijinakkan. Apalagi, naluri seksual adalah suatu proses biologis yang sangat alamiah terjadi pada seluruh mahluk hidup.

Anjuran untuk menikahkan anak pada usia muda, bahkan saat mereka masih kuliah, demi mengikuti ajaran agama untuk menghindari hubungan seks di luar nikah, banyak ditentang masyarakat. Bahkan oleh kalangan masyarakat yang taat menjalankan ibadahnya sekalipun.

Jadi ... bagaimana mencegah agar anak-anak kita terhindar dari kehidupan seks pranikah? Sungguh mati ... saya sama sekali tidak tahu....!!! Segala upaya dan teori tentu akan saya lakukan untuk mencegahnya, meskipun saya tahu ... hal itu tidak dapat dijamin 100% keberhasilannya. Orangtua juga tidak mungkin membuntuti dan mengawasi kegiatan anaknya selama 24 jam terus menerus. Kita tidak mungkin menyewa orang untuk mengawasi anak-anak terus-menerus selama seminggu .... sebulan ... setahun .....

Sungguh ....., Setelah segala daya upaya kita lakukan, hanya doa saja yang dapat kita panjatkan kepada Allah SWT agar Dia melindungi anak-anak kita dari perilaku yang bertentangan dengan ajaran agama, sampai waktunya kita menunaikan kewajiban untuk menikahkan anak-anak itu dengan cara-cara yang baik dan benar menurut agama yang kita anut. Wallahu’ alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...