Jumat, 29 Juni 2012

RUANG LUAR YOGYAKARTA


..... Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgi saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Jogja
Di persimpangan, langkahku terhenti
Ramai kaki lima menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri, di tengah deru kotamu ......
Penggalan lagu Yogyakarta dari KLA Project yang mendayu-dayu ini memang fenomenal dan sekarang seakan menjadi lagu wajib dan ikon kebanggaan penduduk Yogyakarta.
Yogyakarta ... dalam bahasa pariwisatanya lazim disebut Jogjakarta. Ini kata Andy Andong, begitu dia memperkenalkan dirinya sebagai pemandu wisata, yang mendampingi kami dalam salah satu dari 3 bus yang membawa rombongan, saat DTM-FTUI melaksanakan family gathering 21-24 Juni 2012 yang baru lalu. 

Sebutan Jogja konon digunakan sebagai pengganti sebutan Yogya, digunakan untuk mempermudah penyebutan di lidah kalangan orang non Jawa terutama turis asing. Sementara dalam penulisan resmi, tetap menggunakan Yogyakarta atau kadangkala juga disebut/ditulis Ngayogyakarta Hadiningrat atau Ngayogyakarta Hayuningrat. Sebutan Hadiningrat tentu memiliki arti berbeda dengan Hayuningrat .... cuma karena usia sudah uzur, maka penjelasan tentang perbedaan di antara keduanya nggak nyantol di otakku. Pokoknya, payah deh....

Yogyakarta ...., begitu mestinya kota ini disebut, di dalam negeri, merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang diberikan hak-hak istimewa untuk mengelola wilayahnya sendiri. Keistimewaannya ini diberikan sebagai penghargaan kepada wilayah Yogyakarta Hadiningrat saat kerajaan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman menyatakan diri bergabung dengan Republik Indonesia yang baru saja memproklamirkan kemerdekaannya.

Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta merupakan daerah yang mempunyai pemerintahan sendiri atau disebut Zelfbestuurlandschappen - Daerah Swapraja dan terdiri dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. 

Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1755, sedangkan Kadipaten Pakualaman didirikan oleh Pangeran Notokusumo (saudara Sultan Hamengku Buwono II) yang bergelar Adipati Paku Alam I pada tahun 1813. 

Pemerintah Hindia Belanda mengakui Kasultanan dan Pakualaman sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangganya sendiri yang dinyatakan dalam kontrak politik. Kontrak politik yang terakhir Kasultanan tercantum dalam Staatsblaad 1941 Nomor 47, sedangkan kontrak politik Pakualaman dalam Staatsblaad 1941 Nomor 577. Eksistensi kedua kerajaan tersebut telah mendapat pengakuan dari dunia internasional, baik pada masa penjajahan Belanda, Inggris, maupun Jepang. 

Ketika Jepang meninggalkan Indonesia, kedua kerajaan tersebut telah siap menjadi sebuah negara sendiri yang merdeka, lengkap dengan sistem pemerintahannya (susunan asli), wilayah dan penduduknya. Namun atas kebesaran jiwa Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII, setelah proklamasi kemerdekaan, mereka menyatakan kepada Presiden RI, bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi wilayah Negara RI, bergabung menjadi satu kesatuan yang dinyatakan sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggungjawab langsung kepada Presiden RI. 

DIY mempunyai peranan yang penting dalam sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan NKRI antara lain menjadi ibukota NKRI pada tanggal 4 Januari1946 sampai dengan tanggal 27 Desember 1949. Pada saat ini Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Kadipaten Pakualaman dipimpin oleh Sri Paku Alam IX, yang sekaligus menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Keduanya memainkan peran yang menentukan dalam memelihara nilai-nilai budaya dan adat istiadat Jawa dan merupakan pemersatu masyarakat Yogyakarta.

Begitulah sekelumit tentang Yogyakarta,
***

Nah berkaitan dengan ruang luar, walau kerap dijuluki sebagai kota budaya, kebudayaan di Yogyakarta rasanya sudah mulai luntur. Tentu bukan kebudayaan dalam arti sempit yang merujuk kepada keberadaan keraton lengkap dengan pernak-perniknya. Pemangku jabatan kasultanan dan kadipaten, tentu berupaya mati-matian untuk melestarikan kebudayaan "luhur" mereka ditengah arus globalisasi.

Yogya sebagaimana kota-kota Indonesia lainnya tidak bisa menahan serbuan upaya perusahaan lokal maupun multinasional untuk melakukan promosi melalui media ruang luar. Semuanya berusaha menjajakan barang dagangannya. Dagangannyapun beragam ...., mulai dagangan rumah, sampai rokok. Pementasan acara kesenian tradisional sampai dengan promosi kesenian abad 21 hingga memancing perang ancaman dari salah satu ormas. Dari iklan melangsingkan tubuh, sampai dengan penawaran obat kuat.  Kesemuanya ini belum termasuk spanduk maupun papan nama toko/bengkel, praktek dokter/notaris/lembaga bantuan hukum maupun papan nama instansi lainnya yang dipasang berjejeran di halaman muka masing-masing bangunan. Terkadang memenuhi seluruh pandangan mata ke arah bangunan dimaksud.

Mungkin, cuma narkoba aja yang nggak ditawarkan secara terang-terangan. Kalaupun ada bill board yang berisi kata-kata narkoba, itu lebih kepada kampanye pemberantasan dan ancaman2nya. Cara promosinyapun tak kalah seru...., dari mulai menyebarkan di jalan-jalan, menyisipkan di kaca mobil, menempelkan di pohon/dinding .... memasang spanduk, membangun bill board dan baliho super besar yang kadang membawa bencana saat diterjang angin puting beliung, bahkan hingga menayangkan video melalui LED screen. Semuanya tumpang tindih berebut tempat, terutama di tempat-tempat strategis

Pernahkan si pengiklan atau media planner berpikir bahwa mempromosikan barang dagangan juga harus beretika. Etika untuk menghormati pandangan mata penduduk kota. Harus ada keseimbangan dalam menempatkan bill board/baliho/spanduk dengan upaya memperindah ruang luar di sebuah kota dengan berbagai elemennya berupa tanaman bebungaan/pohon keras peneduh jalan maupun bangunan di sepanjang jalan. Jangan sampai keindahan kota, apalagi keindahan bangunan terutama bangunan kuno yang masih terpelihara baik, tertutupi oleh tebaran spanduk, bill board dan baliho. Atau yang paling parah adalah kalau pagarnyapun menjadi tempat tempelan brosur/spanduk melengkapi papan nama sbg indikator keberadaan instansi dimaksud. Sepertinya.... tidak ada cara lain yang lebih estetik dalam memberi nama gedung/instansi kecuali menancapkan papan nama berderetan sepanjang halaman muka.

Sungguh .... itulah kekecewaan terbesar saat mengunjungi Yogyakarta kali ini. Keinginan untuk mengabadikan gedung-gedung kuno yang terawat baik seperti gedung Kantor Pos, gereja, sekolah dan bahkan pemandangan ke arah keraton Kidul, Taman Sari dan Mesjid Gedhe, pupus seketika. Entah harus mengambil dari sudut manalagi untuk mendapatkan foto utuh yang bisa menampakkan keindahan bangunan-bangunan tersebut secara keseluruhan. Hampir semua bidang luarnya tertutup ..., kalau tidak tertutup oleh jejeran pedagang kaki lima, maka spanduk dan brosur menutupi pagar bangunan. Belum lagi deretan papan namanya ..... hadooooohhhhh......

Sungguh ........ Membandingkan kondisi bangunan kuno (keraton, mesjid, gereja, candi dll) di Indonesia dengan bangunan-bangunan kuno di Eropa memang sudah tidak pada tempatnya. Perhatian yang luar biasa dan didukung dengan kemampuan keuangannya memang tidak bisa diperbandingkan. Tetapi tata cara mereka dalam mengatur ruang luar, yaitu cara penempatan papan nama, sign board, bill board dan lainnya sebagai media promosi, tentu perlu dipertimbangkan.

Keindahan kota patut dipertimbangkan, karena hal itu juga merupakan cermin dari budaya masyarakat untuk menghargai keindahan dan keseimbangan. Ada baiknya Pemerintah kota mempertimbangkan keindahan ruang luar dan membebaskannya dari polusi media promosi... Jangan hanya memikirkan lembaran dan deretan angka yang akan menambah tebal kocek PAD atau segelintir oknum pemberi ijin... tetapi perhatikan juga keindahan kota yang bisa terekam melalui pandangan mata dan menjadi etalase bagi pengunjung. Tempat kita "memamerkan" keelokan negeri ini.

Ah... Polusi juga sudah meracuni pemandangan sehari-hari ... Jadi, bukan saja udara tercemari CO2, tetapi mata kitapun tercemari oleh carut marut iklan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...