Selasa, 10 Juli 2012

Antara PAJAK dan ZAKAT

Dalam waktu seminggu lagi, umat Islam akan memasuki bulan Ramadhan. Bulan penuh berkah karena pada bulan itu Allah SWT akan melimpahkan berkah dan kasih sayangnya kepada umat manusia.
Bulan Ramadhan adalah (bulan) diturunkan Al-Qur"an sebagai petunjuk bagi manusia yang menjelaskan perbedaan antara yang benar dengan yang batil. Karena itu kepada orang yang beriman, diwajibkanlah berpuasa. 
Dan mereka yang sakit atau dalam perjalanan sehingga tidak mampu berpuasa, maka diwajibkan menggantinya sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur; Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila dia berdo'a kepadaKu. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepadaKu agar mereka memperoleh kebenaran.
Maka, ketika mendekati Ramadhan di setiap tahun ... menjelang dan selama bulan Ramadhan, ramai bertebaran spanduk di jalan, iklan di media cetak maupun layar kaca, mengajak umat Islam menunaikan kewajibannya; selain menunaikan ibadah shaum, juga  "membersihkan" hartanya dengan cara mengeluarkan zakatnya terutama Zakat atas harta kekayaannya, apakah itu dari emas perhiasan yang dimilikinya, pertambahan nilai kekayaan (uangnya) dan bahkan dari hasil pertanian/ternaknya.

Mengapa orang banyak mengeluarkan zakat di bulan Ramadhan? Untuk orang awam, karena ustadz se baik di pengajian, di dalam konsultasi agama di media cetak hingga di media elektronik lalu ramai mengingatkan bahwa pahala atas segala "kebaikan" dan ibadah yang dilakukan selama bulan Ramadhan akan "diganjar" pahala yang berlipat ganda. Hal itulah yang mendorong masyarakat awan beramai-ramai menunaikan zakat atas harta kekayaannya. 

Sebetulnya andai saja kita mau sedikit lebih kritisuntuk mau mengacu pada kewajiban zakat atas hasil pertanian/ternak, menurut saya yang awam, zakat sebaiknya, kalau tidak boleh dikatakan "wajib", dikeluarkan saat terjadinya transaksi.Dengan demikian, zakat hasil pertanian, tentu dikeluarkan/dihitung saat terjadinya atau usai panen. Zakat hasil ternak ditunaikan segera setelah binatang ternaknya dijual. Jadi seketika itu juga .... Kalau menunggu waktu 1 tahun, nanti uang hasil penjualan hasil pertanian/ternaknya habis terpakai untuk kebutuhan sehari-hari. 

Tapi ... masih ada yang ingat nggak ya, berapa jumlah hasil pertanian/ternak minimal yang wajib diperhitungkan/dikeluarkan zakatnya serta berapa besarnya? Saya tiba-tiba saja teringat dengan pelajaran agama Islam bab Zakat saat di SMP dulu. Semoga mereka yang memiliki ternak dan sawah/kebun/ladang ingat bahwa merekapun wajib mengeluarkan zakat atas hasil yang diperoleh.

Jadi dengan acuan hal tersebut di atas, mengapa untuk mengeluarkan/menunaikan zakat, kita harus menunggu 1 tahun dulu? Bukankah kalau kita menyegerakan segala amal dan perbuatan baik, maka itu akan jadi lebih baik. Hati-hati lho, seringkali kalau kita menunda hingga 1 tahun, dan harta kita bertambah banyak, kemudian terasa betapa besarnya zakat yang "sudah jatuh tempo". Sementara itu, kebutuhan menjelang lebaran meningkat anak, istri/suami ingin beli baju lebaran yang baru ... para assisten di rumah wajib diberi sangu pulang plus segala macam extranya --> THR, kue-kue, baju lebaran, ongkos perjalanan. Belum lagi extra makanan yang "seolah menjadi wajib" tersedia di atas meja makan saat Lebaran ... Padahal, tamu juga merasa bosan melihat hidangan yang hampir seragam dari satu rumah ke rumah yang lain ... 

Ada lagi biaya perjalanan pulang kampung yang harus dipersiapkan termasuk juga oleh-oleh "sekedarnya" yang harus dibawa pulang, bagi mereka yang terbiasa merayakan Idul Fitri di kampung halaman tempat orangtua/sanak saudara berada. 

Nah ... kalau sudah begitu, bukan tidak mungkin terjadi "peperangan" baik didalam batin kita sendiri atau dengan anggota keluarga lainnya. Syukur alhamdulillah kalau kita memiliki keluasan rejeki sehingga segala pernak-pernik yang mengiringi datangnya bulan Ramadhan itu bisa terpenuhi dengan baik.
***

-Belakangan ini juga marak imbauan baik di email, Facebook, tweetter yang mengajak untuk TIDAK LAGI mengirim zakat ke lembaga-lembaga pengelola ZIS professional namun dianggap sebagian orang, komersial. Kita diimbau untuk kembali menyalurkan ZIS ke mesjid-mesjid, panti asuhan dan kaum dhuafa dimana kita berada, atau menyalurkannya kepada keluarga dekat yang memang membutuhkannya.Adakah yang salah dengan lembaga pengelola ZIS? 

Rasanya secara konsep, tidak ada yang salah. Potensi dana ZIS yang luar biasa besarnya bila dikelola dengan baik dan benar serta disalurkan melalui program pemberdayaan masyarakat yang terpantau dan terpadu, secara berangsur diharapkan bisa menghapus atau minimal mengurangi kemiskinan. Namun "kecurigaan" atas tingkat "keamanahan" dari lembaga tersebut masih melekat. Kalau mau jujur, jarang ada yang percaya dengan lembaga amil zakat yang dibentuk pemerintah, apalagi pengumpulannya dilakukan dengan cara "setengah memaksa". 

Pengurus RT/RW dibebani kewajiban untuk menarik zakat dari warganya .... Mungkin mereka lupa bahwa walaupun zakat merupakan salah satu ibadah wajib, tetapi sebagaimana menjalankan shalat, puasa, berhaji ... kesemuanya hanya akan dijalankan secara ikhlas oleh mereka yang beriman saja. Di luar itu, masyarakat cenderung akan mengatakan bahwa kewajiban yang berkaitan dengan agama adalah mutlak hubungan pribadi dengan sang Khalik. Kecuali mungkin kalau memang negara Indonesia adalah negara Islam dimana hukum/syariat Islam wajib dijalankan oleh pemeluknya.

Sekarang, memang ada lembaga-lembaga penerima dan penyalur zakat yang bisa dipercaya. Sebut saja salah satunya adalah Yayasan Dompet Dhuafa yang bertujuan agar zakat bisa tersalurkan untuk program-program pemberdayaan masyarakat. Mengapa tidak ... kalau itu bisa mengubah nasib kaum dhuafa dari kaum penerima zakat menjadi, kelak, kaum pemberi zakat. 

Jadi ... kalau menurut saya sih, .... ada baiknya, zakat yang ingin dikeluarkan, dibagi dua saja... Sebagian untuk kalangan dekat, yaitu mesjid dan kaum dhuafa di sekitar tempat tinggal serta sanak keluarga yang membutuhkan. Sebagian lagi dikirim ke lembaga amil zakat terpercaya. Semoga niat baik itu menjadi berkah bagi semuanya... pemberi maupun penerimanya.

Memang, TIDAK ADA SEORANGpun yang bisa mewajibkan orang lain melaksanakan kewajiban agamanya, kecuali dirinya sendiri yang mewajibkannya. Apalagi karena negara kita tidak berdasarkan agama Islam. Kalau membayar ZAKAT menjadi kewajiban umat Islam yang ditetapkan oleh pemerintah, kenapa SHALAT dan ber HAJI, tidak juga diwajibkan pelaksanaannya? Bukankah dalam rukun Islam, Shalat - Puasa - Zakat dan berhaji berkedudukan sama? Lagi pula perintah-perintah yang sifatnya keagamaan itu mutlak urusan si manusia dengan sang KHALIK? Bukan urusan antar manusia? Mereka yang mengimani keberadaanNya, tentu dengan ikhlas dan ridho akan menjalankan segala perintahNya.
***

Ada juga wacana agar zakat bisa dijadikan faktor pengurang pajak pribadi dengan syarat zakat harus disalurkan ke lembaga-lembaga yang ditunjuk pemerintah dan hal ini sudah dilaksanakan. Tetapi, pemerintah tentu menerapkan persyaratan agar zakat yang dikeluarkan dapat diperlakukan sebagai faktor pengurang pajak.

Entah apa dasarnya, karena kewajiban mengeluarkan zakat dan pajak itu berbeda. Yang satu urusan pemerintah berkenaan dengan "layanan publik" yang kita, sebagai rakyat, terima dan karenanya ada sanksi kalau kita lalai membayar pajak. Tapi kalau zakat, siapa yang akan memberi sanksi? Mungkin ada sanksi kalau kita tidak membayar zakat di negara-negara yang menerapkan Islam sebagai dasar negara. Tapi kalau di Indonesia, pemerintah tidak punya hak memberikan sanksi kalau kita lalai membayar zakat. Kalau soal pahala atau dosa ....? Wah ... itu sih, nggak ada satu orangpun yang tahu.... Orang yang terlihat rajin beribadah atau mengeluarkan zakat dengan nominal yang besarnya luar biasa, belum tentu mendapat pahala yang besar juga. 

Lagipula ... apa sih pahala itu .... Abstrak deh .... Nggak jelas banget! Menjalankan ibadah aja kok, pake itung-itungan sih...? Kalau kita memang beriman kepada Allah SWT, dijalankan saja perintahNya... nggak usah berhitung tentang pahala yang akan diterima. Kok sama Allah SWT yang sudah memberikan kenikmatan hidup untuk kita, masih hitung-hitungan untung rugi seperti orang berdagang? 

Ustadz boleh bilang kalau kita menunaikan ZIS di bulan Ramadhan... maka pahalanya berlipat-ganda. Itu sebabnya orang ramai mengeluarkan zakat mal yang niatnya untuk membantu kaum dhuafa, di bulan Ramadhan. Padahal.... kebutuhan kaum dhuafa kan bukan hanya untuk pengeluaran satu bulan itu saja. Masih ada 11 bulan lainnya .... Masa, yang 11 bulan itu mereka harus kelaparan?

Kalau soal pahala sih, bukan ustadz yang menentukan kalau ibadah di bulan Ramadhan memiliki pahala berlipat ganda. Kalau ustadz mengatakan ada hadis yang meriwayatkan hal tersebut ... maka, pahala itu datangnya dari Allah...? Kalau kita meyakini hal itu... Allah akan memberi pahala setiap saat setiap waktu. Besarannya? Tidak ada satu orangpun yang bisa memberi bocoran besaran pahala yang akan kita terima dari Allah atas amal ibadah yang kita lakukan. Karena hanya Allah SWT semata yang mengetahuinya ..... Wallahu'alam

Tapi... ini cuma omong kosong orang awam lho... jangan dimasukin ke hati ya, kalau nggak setuju...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...