Jumat, 13 Juli 2012

JAKARTA ingin PERUBAHAN


Itulah tagline pemberitaan pemilihan umum kepala daerah DKI Jakarta yang diusung oleh Metrotv news berkenaan dengan kemenangan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama atau yang lebih dikenal sebagai Jokowi–Ahok, dalam putaran pertama yang diselenggarakan pada hari Rabu 11 Juli 2012.
   
Ini kemenangan fenomenal bagi pasangan yang sebelumnya, mungkin hanya dipandang sebelah mata oleh lawan politiknya terutama oleh pasangan calon gubernur incumbent Fauzi Bowo–Nachrowi Ramli (Foke–Nara)dan pasangan Alex Nurdin yang masih menjabat sebagai gubernur Sumatera Selatan–Nono Sampono.

Ada banyak alasan untuk menyatakan bahwa kemenangan ini adalah kemenangan fenomenal. Pertama tentunya karena, di luar calon independen yaitu pasangan Faisal Basri–Biem Benyamin dan Hendardji Supandji–Moh Riza Patria, jabatan aktual Jokowi–Ahok serta pengalamannya dalam pemerintahan, bisa dianggap enteng oleh lawan politiknya. Mereka hanyalah pejabat daerah satu tingkat di bawah, yaitu pejabat daerah tingkat 2.

Gubernur incumbent dan pasangannya boleh berasumsi bahwa mereka jauh lebih dikenal oleh penduduk DKI Jakarta. Keduanya yang mengaku sebagai putra daerah, entah apakah mereka memiliki data yang valid berapa persen warga asli Betawi yang saat ini masih memiliki KTP DKI Jakarta sehingga sentimen kedaerahan masih valid untuk dikedepankan. Calon wakil gubernur pasangan Foke, walaupun putra daerah, tetapi sosoknya relatif tidak pernah “bunyi” di belantara pemerintahan dan politik, sehingga tentu saja relatif tidak dikenal rakyat.

Gubernur incumbent juga diketahui sebagai pentolan Partai Demokrat dan Nahdlatul Ulama di wilayah DKI Jakarta. Sebagai putra daerah yang menghabiskan waktu sepanjang karier profesionalnya sebagai PNS DKI Jakarta tentu sangat mengetahui kondisi dan berbagai permasalahan yang ada di seluruh pelosok dan wilayah DKI Jakarta. Jadi memang tidak salah bila tagline kampanyenya pada pemilihan gubernur 5 tahun yang lalu “ serahkan pada Ahlinya” untuk menyelesaikan berbagai masalah di DKI Jakarta. Itu tagline 5 tahun yang lalu yang rupanya tidak lagi cocok untuk digunakan kali ini

Alex Nurdin, walau tidak terlalu dikenal oleh masyarakat kebanyakan di Jakarta, tetapi kiprahnya sebagai bupati Musi–Banyuasin dikenal baik oleh masyarakat Sumatera Selatan. Hal itulah yang telah mengantarnya meraih kursi gubernur Sumatera Selatan. Apa prestasinya sebagai Gubernur Sumatera Selatan, tak banyak yang tahu kecuali hiruk pikuk pembangunan stadion tempat terselenggaranya PON pada tahun 2004 yang lalu yang ditengarai sarat dengan berbagai kepentingan.


Mungkin keberhasilannya di kabupaten Musi Banyuasin dan posisinya sebagai gubernur Sumatera Selatan itulah yang membuatnya sangat percaya diri, dengan dukungan partai beringin, untuk mencalonkan diri sebagai calon gubernur dengan wakilnya Nono Sampono. Nah calon wakil gubernur yang satu ini, entah apa prestasinya…. Tiba–tiba muncul ke permukaan. Rupanya, kedudukan penguasa daerah sangat menggiurkan sehingga banyak orang merasa “terpanggil dan menjadi sangat percaya diri untuk memproklamirkan diri “mampu” menyelesaikan masalah yang dihadapi DKI Jakarta yang ibukota Negara Republik Indonesia ini.

Pasangan yang didukung oleh koalisi partai yang selalu mengaku bersih dan peduli dan partai matahari biru, yaitu Hidayat Nurwahid–Didik J Rachbini. Aku nggak bisa komentar lagi deh, kecuali bahwa PKS memang punya basis pendukung yang loyal dan ketaatannya kepada petinggi partai, agak–agak membabi buta. Dukungan yang solid inilah yang membuat partai ini selalu sangat percaya diri untuk memunculkan calon internal daripada mendukung calon dari luar partai. Kalau menurutku, seperti memakai kacamata kuda.

Calon independen, Faisal Basri–Biem Benyamin, pasti sejak awal tahu diri bahwa mereka tidak akan meraih kemenangan. Semangat untuk mencalonkan diri sebagai calon independen boleh diapresiasi. Minimal, niatnya untuk “membenahi” Jakarta patut diapresiasi walau programnya nggak jelas apa maunya.

Apalagi Hendardji Supandji–Moh Riza Patria, entah darimana mereka muncul. Andai saya tidak kenal dengan salah satu adik jenderal Hendardji, mungkin saya tidak akan pernah tahu dengan sosok yang satu ini. Apa jabatan, prestasi dan kegiatannya sebelum mencalonkan diri sebagai calon gubernur, tidak banyak dikenal orang. Maka tentu sebagian besar masyarakat awam bertanya–tanya, siapa “manusia" yang tiba–tiba memproklamirkan diri sebagai bang Adji ini …

Yang bersangkutan bisa jadi lupa, bahwa panggilan “bang atau lengkapnya abang” kepada seorang pejabat, tidak selalu serta merta disandangnya. Panggilan “bang ALI” kepada Mayjen TNI–KKO (sekarang menjadi Marinir) Ali Sadikin adalah “gelar/panggilan” yang dianugerahkan masyarakat DKI Jakarta/Betawi kepada beliau sebagai penghargaan atas kerja kerasnya membangun ibukota Negara dan rasa cinta masyarakat kepadanya. Jadi bukan penyebutan yang disematkannya sendiri bagi dirinya.

Nah … prestasi Jokowi dan Ahok memang masih pada tataran daerah tingkat 2 alias walikota dan bupati. Jadi mungkin itu sebabnya banyak orang yang skeptis tatkala Gerindra ngotot mencalonkan mereka. Apalagi karena survey yang dilakukan oleh berbagai lembaga survey “bayaran” selalu menempatkan pasangan gubernur incumbent pada posisi teratas peraihan tingkat elektabilitas.

Sebetulnya tidak ada yang aneh bila pejabat tingkat 2 mencalonkan diri menjadi pejabat daerah tingkat 1. Ada banyak contoh, seperti Alex Nurdin itulah … dari bupati Musi–Banyuasin yang dianggap berhasil, lalu maju ke tingkat 1 sebagai gubernur Sumatera Selatan. Jabatan sebagai gubernur Sumatera Barat yang disandang Gamawan Fauzi, tentu tak lepas dari kiprah dan keberhasilannya sebagai bupati Solok, hingga akhirnya dia dipercaya presiden menjadi Menteri Dalam Negeri RI.

Yang jadi kunci bagi Jokowi–Ahok adalah “keberanian dan kenekatan” mereka menerima pinangan pendukung–sponsornya untuk mencalonkan diri sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Jakarta Raya. Wilayah/propinsi yang dianggap memiliki tingkat yang paling tinggi di antara jabatan gubernur di 33 provinsi/daerah istimewa di Indonesia. Sebagai penguasa propinsi, gubernur DKI Jakarta harus “melayani” pejabat tingkat nasional mulai dari eksekutif, legislatif maupun Judikatif. Pejabat tinggi di BUMN maupun perusahaan2 asing dan swasta nasional serta pejabat/diplomat asing. Tentu tidak mudah untuk masuk ke lingkungan tersebut, kecuali mereka adalah orang–orang yang nekat dan percaya diri.  Mungkin pemimpin DKI Jakarta Raya memang harus orang yang nekat…. Sosok yang berani dan keras kepala alias koppig, sebagaimana kata bung Karno saat memilih Ali Sadikin sebagai gubernur DKI Jakarta lebih dari 45 tahun yang lalu.

Kekeras–kepalaan Jokowi sudah terbukti saat dia “menentang” kemauan gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo, yang mendukung penguasaan dan penghancuran pabrik es di Solo, yaitu bangunan yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya di wilayah kotamadya Solo. Kerendah–hatiannya juga sudah terbukti saat dia berhasil memindahkan pedagang kaki lima tanpa kekerasan sebagaimana selalu terjadi di berbagai kota di Indonesia. Di Solo, kepindahan pedagang kaki lima malah dilakukan secara sukarela dan dilaksanakan dengan serangkaian upacara dan arak–arakan di bawah pimpinan Jokowi.

Kiprah Ahok semasa menjabat sebagai bupati di Bangka Belitung hampir sama dengan apa yang dilakukan Jokowi. Jadi memang tidak terlalu mengherankan bila Majalah TEMPO pernah memilih mereka berdua sebagai dua orang dari 10 pemimpin daerah yang dinilai paling berhasil pada masa pemerintahannya di daerah kekuasaannya masing-masing.

Keberhasilan–keberhasilan itu tentu bisa menjadi modal berharga dalam memimpin DKI Jakarta. Membenahi segala kekusutan yang ada di Jakarta dan kita patut percaya akan ketulusannya. Bukankah Ali Sadikin, gubernur DKI Jakarta yang legendaris itu juga memulai pekerjaannya dengan niat tulus mengabdikan diri bagi kepentingan rakyat?

Untuk mengenang bagaimana beliau memulai hari dan minggu pertama sebagai gubernur DKI Jakarta, berikut cuplikan pidato[i] Ali Sadikin saat menerima hadiah Ramon Magsaysay pada tahun 1971 di Manila:
Saya ingat, saya tidak begitu gembira ditunjuk sebagai Gubernur Ibukota Jakarta pada tanggal 28 April 1966. Saya sadar tugas yang dipercayakan kepada saya sama sekali asing bagi latar belakang dan pengalaman saya. Saya memulai tugas itu ketika masyarakat sedang dalam masa transisi yang penuh rasa saling curiga.  
Dalam kondisi ini lalu tumbuh obsesi saya untuk menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan golongan atau pribadi dalam menjalankan aneka ragam tugas kepala pemerintahan daerah.  
Dalam minggu2 pertama masa pemerintahan saya, saya menemukan kota yang penuh kekacauan dn tidak terkelola dengan baik. Tidak ada program kesejahteraan sosial. Pertumbuhan penduduk sangat tinggi dan masyarakatnya heterogen secara etnis dan sosial ekonomi. System pemerintahan dan aparatnya menjadi alat yang berjalan atas dasar imbalan, yang khas bagi kondisi politis dan suasana pada waktu itu. Iklim politis–psikologis sangat tidak menguntungkan, yang disebabkan merosotnya kepercayaan warga pada aparat pemerintahan kota……………  
Ketika saya memulai pemerintahan kota, ternyata karisma saja tidak cukup untuk memenuhi kualitas kepemimpinan untuk mengatasi masalah kota yang tak terhitung banyaknya. Situasi demikian menuntut janji pada diri saya untuk memberikan kepemimpinan yang bertujuan menumbuhkan kembali keyakinan warga kota pada pemerintahannya. ……………  
Pada waktu yang sama pikiran saya terbuka untuk kritik yang membangun dan hatipun terbuka bagi mereka yang memberi dorongan
***
Saya memang selalu membaca buku tentang Ali Sadikin. Hal ini seperti nostalgia pada masa pemerintahannya dan saya yakin masih banyak penduduk DKI Jakarta yang tetap mencintainya sebagai gubernur yang berhasil membangun Jakarta menjadi kota yang manusiawi untuk penduduknya.

35 tahun setelah bang Ali lengser, ternyata kondisi pemerintahan dan kota Jakarta sebagaimana yang diungkapkannya pada awal masa jabatannya tersebut di atas, relatif tidak berbeda dengan apa yang ada sekarang. Apa yang sudah diatur dan dibuatnya dengan sepenuh hati sekarang hanya terlihat gemerlap di permukaan. Secara psiko–politis, sosio–ekonomi dan budaya, kondisi DKI Jakarta seperti kembali ke masa awal jabatan bang Ali.

Ada ketidak percayaan masyarakat kepada aparat pemerintahan kota. Pembangunan kota sama sekali tidak berpihak kepada kebutuhan masyarakat kecil dan ini terlihat dari menjamurnya pembangunan mall–apartment–kantor super lux. Transportasi publik–mass rapid transit, kecuali trans Jakarta yang dimulai pada periode Sutiyoso, terbengkelai. Disiplin penduduk menipis. Itu sebabnya sosok “ndeso” seperti Jokowi–Ahok menjadi harapan untuk membenahi Jakarta menggantikan sosok  dan pengalaman “kota” dari calon lainnya. Persis sebagaimana Abraham Samad, pegiat anti korupsi “desa” menjungkir–balikkan kandidat “kota” dalam pemilihan jabatan pimpinan KPK saat ini.

Memang patut disayangkan bila Fauzi Bowo yang “sangat kenal” dengan berbagai permasalahan dan kondisi aktual DKI Jakarta sampai ke akar–akarnya, tidak meraih kepercayaan masyarakat. Banyak kalangan yang seringkali berhubungan dengan aparat DKI Jakarta, mengakui bahwa Fauzi Bowo sangat pandai. Bisa jadi “pengetahuannya” yang sangat “ngelotok” akan masalah DKI Jakarta serta latar belakangnya sebagai orang Betawi yang tumbuh di Menteng, kawasan paling elite di Jakarta, dan pendidikan tinggi di luar negeri, membuatnya tidak pernah bersentuhan dengan kalangan rendah. Hal ini bisa jadi membuatnya menjadi terlalu percaya diri dan “tinggi hati”.

Warga DKI Jakarta pasti tidak akan lupa pada berbagai ucapan Fauzi Bowo yang sangat defensif, cenderung mencari kambing hitam, melempar tanggung jawab saat ditanya wartawan tentang tanggapannya akan berbagai masalah yang dihadapi warga DKI Jakarta seperti banjir, macet dan lainnya.

“Perasaan” sebagai seorang “ahli” yang sangat mengerti masalah di DKI Jakarta ditambah dengan pendidikan tinggi yang dimilikinya telah membutakan mata hatinya. Foke mungkin lupa bahwa rakyat butuh pengayoman, butuh empati, butuh perhatian dari pemimpin. Alih–alih memperolehnya dari Foke, rakyat yang tertimpa musibah malah mendengar ucapan yang sangat jauh dari rasa empati. Di layar kaca, rakyat lebih sering melihat wajah Foke yang “pemarah” dan mendengar komentar pedasnya, dibandingkan dengan wajah teduh dan ucapan simpati seorang pengayom. Hal itu tentu sangat menyakitkan hati masyarakat.

Di lain pihak, dalam pembangunan DKI Jakarta, perbaikan sarana baik masyarakat golongan menengah bawah dan masyarakat miskin malah terabaikan. Kemacetan, kekumuhan dan kemiskinan semakin jelas terlihat secara kasat mata di setiap perempatan kota, kecuali di jalan protokol utama. Balita berkeliaran hingga larut malam meminta-minta uang kepada pengendara mobil/motor.

Pembangunan sarana sosial dan umum yang gratis atau murah relatif sedikit, tidak sebanding dengan maraknya pembangunan fasilitas mewah. Sarana transportasi malah mengacu pada ketersediaan jalan untuk kenyamanan pengendara mobil.

Masyarakat awam tidak butuh jalan layang karena lebih banyak digunakan oleh kaum berpunya yang bermobil. Rakyat lebih butuh mass rapid transit yang baik, nyaman dan aman dan program ini malah terbengkelai, menjadi onggokan tiang–tiang beton yang merusak keindahan kota.

Jadi ….. memang tidak salah bila masyarakat Jakarta yang sangat heterogen dan relatif melek politik ini kemudian berpindah ke lain hati dan menaruh harapan yang besar kepada sosok Jokowi–Ahok.

[i] Ramadhan KH, ALI SADIKIN, membenahi Jakarta menjadi Kota Yang Manusiawi, Hal 334 – 335, penerbit UFUK Press, cetakan 1 Juni 2012

3 komentar:

  1. Bagi rakyat (kecil)ingin mendapatkan kesejahteraan dan keadilan, dan itu tidak akan didapatkan kalau pemimpinya tidak mau (berani) memikirkan mereka, rakyat sdh bosan dgn janji janji semu, mereka butuh tindakan nyata yang lgsng mengena mereka, Jokowi bagi rakyat kecil lebih bisa diharapkan bagi mereka krna penampilanya yang apa adanya, semoga jokowi menang dan bisa memberikan harapan yang baik bagi semua warga jakarta, saya yakin semua ingin keadilan dan ketertiban asal aturanya jelas, cuman segelintir orang yg ingin jalan pintas namun mereka bisa mengendalikan semuanya (pemimpin/bagi yg ingin enaknya sendiri), semoga harapan pada jokowi tidak seperti yang lalu lalu , begitu jadi lupa sama yang mendukung tapi ingin cari aman sendiri, selamat memilih warga jakarta

    BalasHapus
  2. Mudah2an pada putaran kedua nanti jokowi - ahok tetap meraih suara terbanyak, sehingga JAKARTA BARU bisa dimulai. Dan semoga yang kalah bisa menerima kekalahan dengan besar hati dan lapang dada, mendukung yang menang. Sangat mendambakan Jakarta yang memiliki ciri khas Indonesia : "Ramah dan Murah Senyum". SEMOGA

    BalasHapus
  3. Kupasannya tentang hiruk pikuk yang baru lalu cukup ‘academics’.. Kupasannya tentang masing-masing peserta pilkada cukup kena konteksnya.. Analisis tentang sang pemenang juga cukup “menembak jantung” – tepat sasaran..
    Bila suatu tulisan boleh dipadankan dengan sebuah masakan, maka hidangan pembukanya dengan mengulas para peserta pilkada, cukup sedap untuk menikmati hidangan utamanya yaitu mencoba memahami kemenangan ‘sosok ndeso’ yang baru lalu.
    Approaching “bagus” dalam kupasan utamanya adalah menyajikan kutipan tentang sosok fenomenal bang Ali, analisis kondisi daerah ‘pertempuran’ serta problematik sang incumbent.
    Dari paparan tersebut, kata kunci penting yang bisa diambil benang merahnya adalah:
    1. Pernyataan bang Ali:
    - Di awal paragraf ke 4 disebutkan, “..karisma saja tidak cukup..”. Bisa ditambahkan , terkenal sebagai Gubernur yang sedang menjabat saja tidak cukup. Atau kalau mau ditambahkan lagi, sebagai orang yang katanya “sangat pandai” saja tidak cukup.
    - Kemudian di akhir paragraf ke 4 tersebut disebutkan, (perlunya) kepemimpinan yang ..menumbuhkan kembali keyakinan warga kota pada pemerintahannya.
    2. Hal-hal tersebut diatas bertemu dengan profil Jokowi:
    - Kombinasi antara “ndeso” dan rendah-hati akan menimbulkan citra ‘innocent’, “tanpa dosa”.
    - Hal tersebut akan memunculkan kesan seakan menjadi tokoh yang tidak vested interest atau tidak egois. Selanjutnya muncullah sosok yang tepat menjadi “pelayan masyarakat”.
    - Ditambah lagi dengan rekam jejak yang pernah terbukti, walau dalam skala yang relatif lebih kecil.
    3. Inilah yang kemudian membuat gelombang besar, membuat kecenderungan masyarakat berkata: “Akuu Mauu..!!”

    Hal lain yang perlu dicatat adalah ternyata masyarakat DKI makin cerdas. Ini tentunya tidak terlepas dari peran media yang membuat segala sesuatunya makin terbuka dan transparan. Wallahua’lam..

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...