Jumat, 10 Agustus 2012

AYO,,,,,, KEMBALI BELANJA ke PASAR TRADISIONAL yuk.....!!!

Seperti layaknya masyarakat kota besar terutama mereka yang tumbuh di kelas menengah, sejak awal menikah saya tidak pernah menginjakkan kaki ke pasar tradisional di Indonesia. 

Saat masih kuliah dulu dan tinggal di Slipi, saya masih suka ikut belanja ke pasar tradisional di Grogol, menemani ibu. Kemudian saat tinggal di Kampung Ambon Jakarta Timur, saya selalu belanja ke pasar, yang kebetulan berada tidak jauh dari rumah. Kebetulan pasar tradisional itu kondisinya lumayan bersih.

Selama 4 tahun pertama setelah menikah dan berkesempatan tinggal di Eropa, saya selalu belanja di pasar tradisional atau pasar kaget di plasa/tempat parkir lingkungan yang sangat bersih dan teratur. Jauh dari citra pasar kumuh seperti yang saya temui di tanah air. Saat itu, selama tinggal di Poitiers, kota kecil sekitar 300 km ke arah tengara dari Paris, minimal setiap hari minggu, sepulang dari pasar, acara dilanjutkan dengan masak-masak bikin gado2 atau soto ayam, dan menyantapnya sambil mengundang satu-satunya bujangan asal Indonesia yang tentunya jarang makan masakan Indonesia.

Acara ke pasar tradisional juga tetap dilanjutkan selama tinggal di Stains. Walau jarak pasar yang kamu kunjungi relatif jauh, yaitu Saint Denis. Namun perjalanan ke sana seminggu sekali, kami nikmati saja. Apalagi saat itu kami bisa memiliki mobil, walaupun penampilannya kumuh, tapi mesinnya masih sangat layak.

Kembali ke Indonesia, kami tinggal di rumah orangtua selama hampir 5 tahun, sambil mengumpulkan uang pembayar uang muka rumah. Belanja ke pasar  tentu dilakukan oleh ibu saya,

Di rumah kami pertama, yaitu saat tinggal di Kemang Pratama, selama 12 tahun saya lebih sering belanja di tukang sayur, setiap pagi sebelum berangkat ke kantor, atau menitipkan uang kepada pembantu. Satu minggu sekali saya ke pasar swalayan, saat itu ada Goro yang letaknya tidak jauh dari Kemang Pratama, untuk belanja ikan dan daging. Jadi praktis tidak lagi menginjakkan kaki ke pasar tradisional.

Tahun 2000 saat saya kembali tinggal serumah dengan ibu, saya tidak juga kembali ke pasar tradisional. Malas..... Kondisi pasar yang becek dan bau sampah menghilangkan keinginan saya untuk belanja ke sana. Apalagi ibu saya masih cukup kuat untuk belanja ke pasar. Tugas saya paling hanya beli keperluan "kering" di Makro atau Carrefour, belanja bulanan untuk keperluan rumah. Lebih menyenangkan karena bisa dilakukan kapan saja dan yang penting bisa dilakukan bersama dengan anak dan suami. Apalagi, usai belanja bisa nongkrong di food court sambil ngobrol sehingga belanja menjadi acara keluarga.

Masalah timbul saat ibu saya mulai sering jatuh sehingga membahayakan bila beliau harus ke pasar dan naik tangga. Mau tidak mau, saya harus menggantikannya belanja ke pasar. Warung sayur dekat rumah tidak selalu lengkap isinya. Kalau harus ke Carrefour, tidak selamanya saya punya waktu usai pulang kantor, karena seringkali baru tiba di rumah sesudah jam 20.00. Jadi pilhannya mau tidak mau, pasar tradisional di Pondok Labu dengan gunungan sampah yang baunya minta ampun, lengkap dengan lalat hijau yang besarnya juga minta ampun. Untunglah kegiatan ini hanya dilakukan 1 kali seminggu,

Untuk menyiasatinya, saya berbagi dengan pembantu. Saya membeli sayur-mayur, telur dan lain-lain di kios langganan ibu saya, di pasar atas istilah yang digunakan untuk gedung pasar Jaya. Lalu membeli buah-buahan di pinggir jalan. Sedangkan pembantu saya membeli ayam potong (segar), bumbu-bumbu dan lainnya di pasar bawah, kios yang becek dan baunya minta ampun itu. Biasanya sambil menunggu pembantu, saya membeli majalah atau tabloid dan membacanya di tempat parkir.

Lalu mulailah ada permintaan dari ibu untuk membeli kue-kue kecil, semisal cenil, lupis atau lapek bugis. Rutinnya belanja penganan yang sama akhirnya setiap minggu, para penjual langganan itu selalu menghampiri saya dan mengingatkan .... "Bu... jangan lupa lupis/cenilnya... Biasa kan...? Maksudnya biasa jumlah bungkusannya, yaitu 5 buah seharga total 10 ribu.

Atau... si loper koran dan majalah, langsung menghadang saya di tempat parkir dan menaruh 3 sampai 5 buah tabloid untuk dipilih. Lalu pergi lagi menjajakan dagangannya. Sepertinya dia sudah yakin sekali bahwa saya memang akan membeli.

Sungguh, awalnya, saya merasa jengkel dan terganggu dengan ulah mereka. Saya merasa di fait accompli untuk membeli. Pernah sekali saya menolak dengan tegas tawaran mereka. Tapi melihat wajah dan sorot matanya yang menyiratkan kekecewaan.. Ah saya merasa sangat berdosa. Berapalah harga barang yang mereka tawarkan itu? Relatif tidak berarti dibandingkan dengan uang yang harus saya keluarkan untuk 1 kali makan malam di akhir minggu di Mall atau restoran. Kalau saya membelinya, Insya Allah tidak akan membuat saya menjadi jatuh miskin. Namun yang pasti... akan memberikan kegembiraan dan keuntungan bagi penjualnya.
bang Yadi tukang sayur langganan

Memang, akhirnya saya jadi menambah alokasi belanja rutin dengan hal yang tidak terlalu perlu, yaitu pembeli kue2 tradisional dan tabloid. Nilainya memang sangat relatif, tapi dari keuntungan itulah, penjual/pedagang kecil itu menyambung hidup. Saya hanya bisa berharap, semoga niat saya membeli dagangan mereka bisa membantu mereka dan Insya Allah, "keborosan" saya tidak membuat saya menjadi miskin. 

Dari interaksi rutin tersebut dengan para pedagang langganan tersebut, seringkali saya diberi setandan pisang tanduk yang harganya relatif mahal. Menjelang lebaranpun saya mendapat bingkisan kue kampung dari penjual langganan tersebut. Rasanya terharu, dalam kekurangannya mereka masih berpikir untuk menyenangkan para pelanggannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...