Beberapa hari yang lalu, sedang asyik memeriksa rancangan dokumen tender, ada pesan masuk ke dalam blackberry. Dari seseorang. Staff salah satu pemasok di proyek yang saya tangani.
”Bu ........ boleh minta alamat rumahnya, nggak ......?”
”Nggak boleh....!!! jawab saya tanpa basa-basi
”Jangan takut bu ........., saya bukan rampok dan nggak akan ngrampok rumah ibu .....!!” balasnya tidak kalah lugas.
”Hahaha ,,,,,,,,,,, iya, saya percaya kamu nggak akan ngrampok. Saya juga insya Allah, bukan takut dirampok...!!! Saya takut, kamu nanti diutus datang ke rumah untuk memberi sesuatu. Saya yang alhamdulillah sudah hidup berkecukupan, tidak sepantasnya lagi menerima pemberian tetapi sudah selayaknya malah memberi sesuatu kepada orang lain. Jadi .... tolong sampaikan kepada bossmu untuk tidak mengirimkan apapun juga ke rumah saya."
"Baik bu ........, nanti saya sampaikan! Terima kasih ......"
Entah apa yang dipikirkan oleh teman chat saya itu....., namun saya berharap dia tidak berpikir negatif atas jawaban saya. Bukan bermaksud sombong, tetapi hanya mengingatkan saja. Masih banyak orang yang jauh lebih pantas diberi sesuatu, dibandingkan saya. Sungguh .... di masa akhir bulan Ramadhan ini, saya seringkali merasa sangat risi manakala ada orang yang menanyakan alamat rumah.
Mungkin saya terlalu berprasangka buruk kepada orang-orang yang menanyakan alamat rumah. Bukan karena saya tidak ingin bersilaturahim, dikunjungi mereka yang menanyakan alamat rumah tersebut. Tetapi .... seperti jawaban yang saya tulis kepada teman chat tersebut, saya merasa pertanyaan tersebut diajukan untuk maksud mengirimkan sesuatu berkenaan dengan perayaan hari raya Idul Fitri. Entah apakah itu berupa kue, parcel atau bunga. Dan saya merasa jengah menerimanya.
Apakah memang saya menolak pemberian tersebut? Rasanya terlalu sombong untuk mengatakan hal tersebut karena tetap ada beberapa relasi yang mengirimkan bingkisan ke rumah karena pengirim memang sangat mengetahui alamat rumah. Misalnya dari bank tempat saya selalu bertransaksi sebagai nasabah atau beberapa rekan yang memang karena hubungan baik selama bertahun-tahun, sudah sangat mengetahui alamat rumah. Kepada mereka saya tidak mungkin menyampaikan keberatan. Saya tidak mengetahui apakah mereka akan mengirim bingkisan atau tidak ... Sepertinya "gede rasa" banget kalau belum apa-apa saya menyatakan keberatan tersebut sementara mereka sama sekali tidak menghubungi saya..... Merasa jadi orang penting sehingga menganggap ada orang yang akan mengirim bingkisan lebaran ke rumah.
Bingkisan lainnya yang biasanya rutin tiba ke rumah dan tidak mungkin ditolak adalah dari instansi tempat suami bekerja. Ini rutin dan nampaknya seluruh dosen, staff dan karyawan memang mendapat bingkisan dari Fakultas/lembaga yang bernaung di bawahnya. Tentu sangat tidak beralasan untuk menolak. Tinggal bagaimana kita memanfaatkan isinya untuk orang-orang yang lebih membutuhkannya saja.
***
Kebiasaan mengirim bingkisan lebaran atau natal, sudah sejak lama terjadi. Semasa belum menikah dan tinggal dengan orangtua, rumah kami selalu "kebanjiran" bingkisan lebaran. Saya sama sekali tidak ingat apa yang dikirim orang ke rumah, saat kami tinggal di Garut dan Karawang pada paruh akhir dekade 1960an.
Barulah pada awal tahun 1970an, saat kami tinggal di Jambi, saya ingat bingkisan yang datang ke rumah menjelang lebaran, sangatlah khas ... ber dus-dus minuman kaleng seperti coca cola dan seven up selalu memenuhi gudang. Minuman ini akhirnya dijadikan sajian orang yang datang ke rumah saat "open house".
Ayah saya yang saat itu menjabat sebagai kepala cabang salah satu BUMN memang seperti "berkewajiban" menyelenggarakan open house dan open house itu tentu sangat melelahkan bagi penghuni rumah. Seluruh sajian makanan dan kue-kue harus disiapkan sendiri. Masa itu, di Jambi pula.... tidak ada catering yang melayani pesanan makanan untuk lebaran berupa ketupat sayur lengkap dengan rendang, opor, sambal goreng hati, emping dan lainnya. Begitu pula dengan kue-kuean. Maka beberapa hari sebelum hari raya, ibu saya, dibantu oleh ibu-ibu anggota persatuan istri karyawan, akan mulai mencicil masakan yang akan disajikan pada acara open house, termasuk membuat kue lapis dan bolu panggang.
Di Jambi pada awal tahun 1970, juga tidak ada tradisi mengirim bunga, karena memang saat itu bunga segar masih sangat langka. Jadi, kalaupun ada karangan bunga terkirim, maka bunga yang digunakan adalah bunga plastik yang sama sekali tidak terlihat indah. Namun saya yakin kondisi sekarang, pasti sudah banyak berubah.
Masa tinggal di Jambi itulah saat terakhir saya tinggal dengan orangtua. Selanjutnya selama 10 tahun saya hidup terpisah dari orangtua. Tapi saya yakin bingkisan-bingkisan lebaran itu akan setia mengunjungi rumah kediaman orangtua saya. Acara open house dengan segala kesibukan masak-memasaknya tetap berjalan. Yang agak berbeda mungkin saat mereka tinggal di Hongkong pada kurun waktu tahun 1978-1981.
***
Jaman sudah banyak berubah. Rasanya... dan ini khususnya bagi perempuan. Sejak ada majalah Femina untuk wanita dewasa dan majalah Gadis untuk remaja, gaya hidup konsumerisme mulai menyusup pelan-pelan ke dalam kehidupan masyarakat. Publikasi berbagai gaya pakaian, penataan rumah, tata wajah dan lainnya yang dituliskan dalam majalah kian hari kian mencekam kehidupan. Persis dan sangat pas dengan tagline majalah tersebut ... Gaya hidup wanita modern. Sehingga yang tidak mengikutinya seolah menjadi perempuan kuno, konservatif yang tidak cocok hidup di kota besar.
Kebutuhan hidup menjadi semakin meningkat dan kesemuanya pasti memerlukan biaya tambahan. Bersyukurlah mereka yang memiliki gaji cukup untuk memenuhi selera dan gaya hidup "modern". Seperti juga betapa malangnya mereka yang belum mampu lalu "memaksakan diri" sehingga terjerumus melakukan berbagai pelanggaran. Kita semua tentu meyakini bahwa ketidakmampuan kita untuk menahan diri dari godaan hidup hedonis dan materialistislah yang menjadi akar perbuatan korupsi yang semakin hari semakin meruyak.
Bila pada dekade tahun 1960-1970, para pejabat terlihat masih hidup "dalam batas kewajaran", mungkin karena mereka "hanya" menerima apa yang disodorkan dan diiming-imingi oleh mereka yang membutuhkan tandatangan dan fasilitas dari instansi yang dipimpinnya. Mereka tidak atau belum merasa "berhak" untuk meminta bagian keuntungan pengusaha. Namun saat ini ......... sepertinya para pengusaha melihat hampir tidak ada celah lagi untuk menghindar dari upaya sogok menyogok. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam berhubungan dengan aparat .... berlaku slogan "Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah?".... Nah untuk mempermudah apa yang sudah dipersulit, maka harus ada pelicin sehingga hambatannya bisa dilalui....
Begitulah ....., keinginan hidup sesuai dengan "gaya hidup modern" menyebabkan orang tidak segan-segan atau malu-malu lagi mencari peluang untuk menambah pundi-pundinya. Peminta-minta tidak lagi terbatas pada mereka yang miskin harta dan pendidikan sehingga hanya mampu menadahkan tangan kepada mereka yang lewat di hadapannya atau di perempatan jalan hampir di segala penjuru kota. Peminta-minta juga merambah pada kaum berdasi yang menguasai posisi penting yang terutama yang tandatangannya dibutuhkan orang. Tentu permintaannya dilakukan dengan cara yang lebih "elegant dan berkelas". Itu sebabnya muncul istilah lahan/posisi basah di berbagai instansi.
Jadi bagaimana kita menyikapi kiriman bingkisan tersebut? Sejujurnya, saya tidak kontra. Semua tergantung niat dan siapa yang kita kirim, kalau kita berada pada posisi pengirim. Atau kalau kita berada pada posisi penerima, maka hal itu tergantung siapa pengirimnya. Andai pengirimnya adalah teman-teman dekat yang karenanya bingkisan itu tidak dikirim untuk maksud-maksud tertentu kecuali niat menjalin/menjaga tali silaturahim semata, maka dengan senang hati saya menerima dan sedapat mungkin membalasnya. Tentu lain halnya bila bingkisan yang dikirim tersebut ada kaitannya dengan jabatan atau posisi yang kita pegang.
***
Sebagaimana tahun-tahun yang telah berlalu, saya seringkali disodori surat permohonan bantuan THR. Dari mulai loper koran, keamanan/pengurus RT/RW, tukang parkir di tempat saya sering berkunjung dan banyak lagi. Mereka, bisa dikategorikan orang-orang dengan penghasilan terbatas. Gak masalah, kan? Semua tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Kalau kita mau berbagi rejeki yang kita miliki dan ikhlas memberinya, ya berikan saja seberapapun angkanya.
”Iya sih..., tapi bukankah kita berbaik sangka saja. Pasti ada alasan yang cukup valid sehingga mereka begitu (meminta-minta). Misalnya karena butuh untuk berbagai keperluan lebaran. Memang, meminta sesuatu pada orang lain, apapun alasannya; hakikatnya ”merendahkan” martabat kita di hadapan yang kita ”mintai” sesuatu. Mungkin, mereka sebetulnya malu melakukannya. Tapi rasa malu itu terpaksa ditelan dalam-dalam karena kebutuhannya untuk memenuhi hajat hidup jauh lebih penting daripada sekedar memegang teguh ”martabat dan harga diri”. Kasihan kan...?!. Di lain pihak, kita wajib memahami bahwa di dalam rejeki kita ada bagian dan hak orang-orang miskin dan fakir. Nah kenapa tidak kita tunaikan saja kewajiban itu. Jangan melihat siapa yang meminta”, jawab saya panjang lebar menanggapi protes salah satu teman.
”Tapi... apa memang mereka itu adalah para mustahik...? Yang wajib diberi bagian dari zakat kita? Jangan lupa lho.... ”para peminta-minta” itu ada di mana-mana. Di kantorku .... satpam yang sudah jelas mendapat THR dari pengelola gedung, toh mulai mengetuk pintu setiap kantor, meminta bagian. Belum lagi para rekanan, bahkan ”pejabat” yang biasa berurusan dengan kantorku, rame-rame ”nagih” bagian. Mana THRnya....??? Begitu katanya. Ini kan konyol.....!!!”, balasnya tak kalah keras.
”Duh ... kamu kok ngotot banget sih...? Anggap saja sedekah ... Nggak ada yang salah, kan?Jangan mempersulit rejeki orang dong... Kasih ajalah, kalo memang ada rejekinya...!” Kenyataannya, sebagian masyarakat kita memang belum terdidik dengan baik. Pemahaman agamapun masih sebatas ritual–seremonial. Untuk mengubahnya perlu waktu yang panjang. Kita lakukan saja apa yang kita anggap baik. Tapi juga nggak perlu ngotot gitu ah.”
”Sebel aja... Coba deh bayangin... aku punya milis, saat ada bencana di Madura, kami buka dompet sumbangan kebetulan di bulan puasa. Waduh… dalam sekejap terkumpul belasan juta rupiah. Eh… pas ada bencana lain yang terjadi bukan di bulan Ramadhan, dompet yang dibuka, cuma terisi ratusan ribu. Konyolkan ?! Padahal kalo mau sedekah, kan nggak mesti ngeliat-liat bulan. Yang penting keikhlasan”.
“Setuju, tapi kalau pemahamannya memang masih sebatas itu? Dengar saja di setiap pengajian dan khotbah. Selalu ditonjolkan bahwa ibadah di bulan Ramadhan akan mendapatkan pahala berlimpah. Makanya, semua orang berebut mendapatkan pahala yang besar. Jadi, biarlah, kalo memang pemahamannya masih begitu. Minimal, mereka sudah mau meringankan tangan dan hati untuk berbuat baik, mengeluarkan hartanya untuk zakat, infaq dan sedekah. Walaupun itu dilakukan setahun sekali. Soal pahala, itu bukan urusan ustadz atau khatib. Allah SWT yang Maha Menghitung. Dia tidak buta akan apa yang kita lakukan. Termasuk juga niat yang ada di dalam hati kita. Udah ah, kamu kok ngomel terus dari tadi. Ntar pahala puasanya hilang lho...!!!”
Bingkisan lainnya yang biasanya rutin tiba ke rumah dan tidak mungkin ditolak adalah dari instansi tempat suami bekerja. Ini rutin dan nampaknya seluruh dosen, staff dan karyawan memang mendapat bingkisan dari Fakultas/lembaga yang bernaung di bawahnya. Tentu sangat tidak beralasan untuk menolak. Tinggal bagaimana kita memanfaatkan isinya untuk orang-orang yang lebih membutuhkannya saja.
***
Kebiasaan mengirim bingkisan lebaran atau natal, sudah sejak lama terjadi. Semasa belum menikah dan tinggal dengan orangtua, rumah kami selalu "kebanjiran" bingkisan lebaran. Saya sama sekali tidak ingat apa yang dikirim orang ke rumah, saat kami tinggal di Garut dan Karawang pada paruh akhir dekade 1960an.
Barulah pada awal tahun 1970an, saat kami tinggal di Jambi, saya ingat bingkisan yang datang ke rumah menjelang lebaran, sangatlah khas ... ber dus-dus minuman kaleng seperti coca cola dan seven up selalu memenuhi gudang. Minuman ini akhirnya dijadikan sajian orang yang datang ke rumah saat "open house".
Ayah saya yang saat itu menjabat sebagai kepala cabang salah satu BUMN memang seperti "berkewajiban" menyelenggarakan open house dan open house itu tentu sangat melelahkan bagi penghuni rumah. Seluruh sajian makanan dan kue-kue harus disiapkan sendiri. Masa itu, di Jambi pula.... tidak ada catering yang melayani pesanan makanan untuk lebaran berupa ketupat sayur lengkap dengan rendang, opor, sambal goreng hati, emping dan lainnya. Begitu pula dengan kue-kuean. Maka beberapa hari sebelum hari raya, ibu saya, dibantu oleh ibu-ibu anggota persatuan istri karyawan, akan mulai mencicil masakan yang akan disajikan pada acara open house, termasuk membuat kue lapis dan bolu panggang.
Di Jambi pada awal tahun 1970, juga tidak ada tradisi mengirim bunga, karena memang saat itu bunga segar masih sangat langka. Jadi, kalaupun ada karangan bunga terkirim, maka bunga yang digunakan adalah bunga plastik yang sama sekali tidak terlihat indah. Namun saya yakin kondisi sekarang, pasti sudah banyak berubah.
Masa tinggal di Jambi itulah saat terakhir saya tinggal dengan orangtua. Selanjutnya selama 10 tahun saya hidup terpisah dari orangtua. Tapi saya yakin bingkisan-bingkisan lebaran itu akan setia mengunjungi rumah kediaman orangtua saya. Acara open house dengan segala kesibukan masak-memasaknya tetap berjalan. Yang agak berbeda mungkin saat mereka tinggal di Hongkong pada kurun waktu tahun 1978-1981.
***
Jaman sudah banyak berubah. Rasanya... dan ini khususnya bagi perempuan. Sejak ada majalah Femina untuk wanita dewasa dan majalah Gadis untuk remaja, gaya hidup konsumerisme mulai menyusup pelan-pelan ke dalam kehidupan masyarakat. Publikasi berbagai gaya pakaian, penataan rumah, tata wajah dan lainnya yang dituliskan dalam majalah kian hari kian mencekam kehidupan. Persis dan sangat pas dengan tagline majalah tersebut ... Gaya hidup wanita modern. Sehingga yang tidak mengikutinya seolah menjadi perempuan kuno, konservatif yang tidak cocok hidup di kota besar.
Kebutuhan hidup menjadi semakin meningkat dan kesemuanya pasti memerlukan biaya tambahan. Bersyukurlah mereka yang memiliki gaji cukup untuk memenuhi selera dan gaya hidup "modern". Seperti juga betapa malangnya mereka yang belum mampu lalu "memaksakan diri" sehingga terjerumus melakukan berbagai pelanggaran. Kita semua tentu meyakini bahwa ketidakmampuan kita untuk menahan diri dari godaan hidup hedonis dan materialistislah yang menjadi akar perbuatan korupsi yang semakin hari semakin meruyak.
Bila pada dekade tahun 1960-1970, para pejabat terlihat masih hidup "dalam batas kewajaran", mungkin karena mereka "hanya" menerima apa yang disodorkan dan diiming-imingi oleh mereka yang membutuhkan tandatangan dan fasilitas dari instansi yang dipimpinnya. Mereka tidak atau belum merasa "berhak" untuk meminta bagian keuntungan pengusaha. Namun saat ini ......... sepertinya para pengusaha melihat hampir tidak ada celah lagi untuk menghindar dari upaya sogok menyogok. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam berhubungan dengan aparat .... berlaku slogan "Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah?".... Nah untuk mempermudah apa yang sudah dipersulit, maka harus ada pelicin sehingga hambatannya bisa dilalui....
Begitulah ....., keinginan hidup sesuai dengan "gaya hidup modern" menyebabkan orang tidak segan-segan atau malu-malu lagi mencari peluang untuk menambah pundi-pundinya. Peminta-minta tidak lagi terbatas pada mereka yang miskin harta dan pendidikan sehingga hanya mampu menadahkan tangan kepada mereka yang lewat di hadapannya atau di perempatan jalan hampir di segala penjuru kota. Peminta-minta juga merambah pada kaum berdasi yang menguasai posisi penting yang terutama yang tandatangannya dibutuhkan orang. Tentu permintaannya dilakukan dengan cara yang lebih "elegant dan berkelas". Itu sebabnya muncul istilah lahan/posisi basah di berbagai instansi.
Jadi bagaimana kita menyikapi kiriman bingkisan tersebut? Sejujurnya, saya tidak kontra. Semua tergantung niat dan siapa yang kita kirim, kalau kita berada pada posisi pengirim. Atau kalau kita berada pada posisi penerima, maka hal itu tergantung siapa pengirimnya. Andai pengirimnya adalah teman-teman dekat yang karenanya bingkisan itu tidak dikirim untuk maksud-maksud tertentu kecuali niat menjalin/menjaga tali silaturahim semata, maka dengan senang hati saya menerima dan sedapat mungkin membalasnya. Tentu lain halnya bila bingkisan yang dikirim tersebut ada kaitannya dengan jabatan atau posisi yang kita pegang.
***
Sebagaimana tahun-tahun yang telah berlalu, saya seringkali disodori surat permohonan bantuan THR. Dari mulai loper koran, keamanan/pengurus RT/RW, tukang parkir di tempat saya sering berkunjung dan banyak lagi. Mereka, bisa dikategorikan orang-orang dengan penghasilan terbatas. Gak masalah, kan? Semua tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Kalau kita mau berbagi rejeki yang kita miliki dan ikhlas memberinya, ya berikan saja seberapapun angkanya.
”Iya sih..., tapi bukankah kita berbaik sangka saja. Pasti ada alasan yang cukup valid sehingga mereka begitu (meminta-minta). Misalnya karena butuh untuk berbagai keperluan lebaran. Memang, meminta sesuatu pada orang lain, apapun alasannya; hakikatnya ”merendahkan” martabat kita di hadapan yang kita ”mintai” sesuatu. Mungkin, mereka sebetulnya malu melakukannya. Tapi rasa malu itu terpaksa ditelan dalam-dalam karena kebutuhannya untuk memenuhi hajat hidup jauh lebih penting daripada sekedar memegang teguh ”martabat dan harga diri”. Kasihan kan...?!. Di lain pihak, kita wajib memahami bahwa di dalam rejeki kita ada bagian dan hak orang-orang miskin dan fakir. Nah kenapa tidak kita tunaikan saja kewajiban itu. Jangan melihat siapa yang meminta”, jawab saya panjang lebar menanggapi protes salah satu teman.
”Tapi... apa memang mereka itu adalah para mustahik...? Yang wajib diberi bagian dari zakat kita? Jangan lupa lho.... ”para peminta-minta” itu ada di mana-mana. Di kantorku .... satpam yang sudah jelas mendapat THR dari pengelola gedung, toh mulai mengetuk pintu setiap kantor, meminta bagian. Belum lagi para rekanan, bahkan ”pejabat” yang biasa berurusan dengan kantorku, rame-rame ”nagih” bagian. Mana THRnya....??? Begitu katanya. Ini kan konyol.....!!!”, balasnya tak kalah keras.
”Duh ... kamu kok ngotot banget sih...? Anggap saja sedekah ... Nggak ada yang salah, kan?Jangan mempersulit rejeki orang dong... Kasih ajalah, kalo memang ada rejekinya...!” Kenyataannya, sebagian masyarakat kita memang belum terdidik dengan baik. Pemahaman agamapun masih sebatas ritual–seremonial. Untuk mengubahnya perlu waktu yang panjang. Kita lakukan saja apa yang kita anggap baik. Tapi juga nggak perlu ngotot gitu ah.”
”Sebel aja... Coba deh bayangin... aku punya milis, saat ada bencana di Madura, kami buka dompet sumbangan kebetulan di bulan puasa. Waduh… dalam sekejap terkumpul belasan juta rupiah. Eh… pas ada bencana lain yang terjadi bukan di bulan Ramadhan, dompet yang dibuka, cuma terisi ratusan ribu. Konyol
“Setuju, tapi kalau pemahamannya memang masih sebatas itu? Dengar saja di setiap pengajian dan khotbah. Selalu ditonjolkan bahwa ibadah di bulan Ramadhan akan mendapatkan pahala berlimpah. Makanya, semua orang berebut mendapatkan pahala yang besar. Jadi, biarlah, kalo memang pemahamannya masih begitu. Minimal, mereka sudah mau meringankan tangan dan hati untuk berbuat baik, mengeluarkan hartanya untuk zakat, infaq dan sedekah. Walaupun itu dilakukan setahun sekali. Soal pahala, itu bukan urusan ustadz atau khatib. Allah SWT yang Maha Menghitung. Dia tidak buta akan apa yang kita lakukan. Termasuk juga niat yang ada di dalam hati kita. Udah ah, kamu kok ngomel terus dari tadi. Ntar pahala puasanya hilang lho...!!!”
”Tapi.... itu kan nggak mendidik. Harusnya kita tidak boleh selalu berada di ”bawah”, meminta-minta kepada orang lain. Apalagi saat lebaran, itu kan tujuannya konsumtif...!”, sergahnya, menyikapi kembali surat yang diajukan tukang parkir di tempat kursus.
Pembicaraan kemudian terputus begitu saja. Kalau belum puas, temanku yang satu itu akan menyambung pembicaraan pada hari sabtu kemudian, saat kami biasa bertemu.
***
Fenomena zakat–infaq–sadaqoh, sebagai sarana berbagi rejeki selalu ramai diperbincangkan orang setiap bulan Ramadhan. Apa yang dikeluhkan temanku Yudi memang tidak juga dapat disalahkan. Persepsi kita mengenai zakat–infaq–sadaqoh memang berbeda satu sama lain. Ada yang menganggap bahwa kesemuanya, terutama zakat, akan lebih afdol bila ditunaikan setelah nisabnya tercapai dan dibayarkan selama Ramadhan agar mendapat pahala berlimpah. Ada juga yang menyelesaikannya sesegera mungkin. Tidak lagi berhitung-hitung soal nisab atau pahala yang diperoleh sebagai imbalan atas ditunaikannya kewajiban berzakat. Bagi mereka, lebih penting menunaikan kewajiban secepatnya karena pahala adalah hak prerogatif Allah yang tidak ada seorang manusiapun mampu memahami kriteria sesungguhnya yang diterapkan Allah untuk menghitung pahala umat manusia.
Begitu juga mengenai kriteria mustahik. Tentu akan panjang pula perdebatan mengenai siapa yang berhak atau tidak. Daripada berlama-lama berhitung-hitung, kenapa tidak disederhanakan saja polanya .... Prinsipnya ... kalau ada orang meminta sesuatu kepada kita; itu adalah ujian dari Allah SWT kepada kita. Kita disodorkan kesempatan untuk ”meraih pahala”. Akan diambilkah kesempatan itu, atau kita biarkan saja ”kesempatan meraih pahala” itu berlalu dari hadapan kita. Soal apakah dia berhak menerima zakat, infaq atau sadaqah ... serahkan saja kepada Allah SWT. Para pemberi infaq-sadaqah yang ikhlas, tidak akan pernah merugi.
Suami saya lebih ekstrim lagi, setiap saat saya mau berkomentar tentang "peminta-minta". dia akan langsung menghardik;
"Kalau kamu nggak ikhlas memberi, jangan berdalih untuk "mendidik masyarakat". Yang mereka butuhkan saat ini adalah uang untuk hidup. Bukan pendidikan yang memakan jangka panjang. Kesadaran untuk tidak meminta-minta, Insya Allah akan datang saat kebutuhan materi mereka tercukupi. Atau berbuatlah sesuatu yang nyata agar mereka tidak perlu meminta-minta sepanjang waktu. Nah kalau belum mampu berbuat sesuatu yang nyata, berikan saja kebutuhan jangka pendek mereka. Begitu lebih baik, daripada cuma ngomong".
"Kalau kamu nggak ikhlas memberi, jangan berdalih untuk "mendidik masyarakat". Yang mereka butuhkan saat ini adalah uang untuk hidup. Bukan pendidikan yang memakan jangka panjang. Kesadaran untuk tidak meminta-minta, Insya Allah akan datang saat kebutuhan materi mereka tercukupi. Atau berbuatlah sesuatu yang nyata agar mereka tidak perlu meminta-minta sepanjang waktu. Nah kalau belum mampu berbuat sesuatu yang nyata, berikan saja kebutuhan jangka pendek mereka. Begitu lebih baik, daripada cuma ngomong".
Memang dalam buku-buku sering ditulis siapa saja yang dapat digolongkan sebagai orang-orang yang berhak menerima zakat, infaq atau sadaqah. Jadi kalau ada orang yang kita anggap bukan mustahik tetapi masih suka meminta... Mungkin karena secara fisik, dia sudah menyandang predikat pemberi zakat – infaq – sadaqoh tetapi jiwanya masih sebagai mustahik. Masih merasa berhak "disantuni" orang lain. Jadi... kasihanilah mereka ... Jangan bebani jiwa kita dengan segala prasangka. Insya Allah, hati kita akan merasa lebih ringan dan ikhlas memberi. Minimal kalo belum bisa memberi, nggak perlu nggrendeng di belakang, gitu...!!! Supaya pahala puasanya nggak berkurang. Setuju, kan...?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar