Masyarakat seringkali mengidentikkan Hari Raya Idul Fitri dengna perayaan "kemenangan". Entah kemenangan atas apa.... Memaknai Idul Fitri sebagai kemenangan hanya dikarenakan kita telah menyelesaikan shaum Ramadhan, terasa terlalu naif. Bagaimana mungkin meng "klaim" diri telah meraih kemenangan usai menunaikan 1 bulan penuh shaum Ramadhan, sementara shaum kita sendiri masih jauh dari sempurna. Shaum bukan sekedar hanya menahan lapar dan haus sebagaimana yang lazim diartikan orang. Shaum bermakna lebih jauh dari sekedar menahan lapar dan dahaga.
Bagaimana kita bisa meng "klaim" telah meraih kemenangan, bila selama menjalankan shaum Ramadhan, dalam menapaki hari demi hari selama bulan Ramadhan, kita masih juga, sadar atau tak sadar tetap mengumpat, memaki, bergosip. Masih tetap menyimpan rasa iri, dengki, tidak puas. Pendeknya....., kurang bisa menahan emosi.
Bagaimana kita bisa meng "klaim" telah meraih kemenangan, bila selama menjalankan shaum Ramadhan, belum sepenuhnya mampu menahan diri dari keinginan untuk berlebih-lebihan .... Berlebihan dalam berbelanja untuk kesenangan diri... Sebut saja yang terjadi setiap hari dilakukan adalah belanja makanan persiapan untuk berbuka. Belanja berlebihan sehingga karenanya, saat maghrib tiba, meja makan akan berlimpah ruah dengan berbagai jenis hidangan. Konon pula berbuka terasa kurang afdol bila tidak tersedia ta'jil..... Makanan pembuka yang manis dan konon ditujukan untuk meningkatkan kadar gula darah yang merosot saat kita melaksanakan shaum. Maka .... demi sebuah "kebiasaan", tersajilah karenanya teh manis atau es sirop yang terkadang masih ditambah dengan kelapa muda, cincau, ketimun suri atau blewah. Tidak cukup itu saja .... ta'jil masih juga ditambah dengan semangkuk kolak pisang, bubur sumsum atau sejenisnya.
Padahal, sudah seringkali dibahas, bahwa cara yang paling baik untuk meningkatkan gula darah seketika yang aman bagi kesehatan adalah berbuka dengan ta'jil ala Rasulullah.... Minum segelas air dan menyantap 3 butir kurma. Lalu dirikan shalat maghrib. Baru setelahnya, kita mulai bersantap sekedarnya .... sekedarnya saja agar masih tersisa ruang gerak untuk melaksanakan shalat tarawih.
Tapi begitulah ...... walau sudah dicontohkan Rasul dan sudah banyak pula kurma dijual orang dalam berbagai jenis, harga dan rasa .... tetap saja kita merasa bahwa berbuka belumlah lengkap bila tidak tersaji es kelapa cincau dan kolak... Alih-alih mendirikan shalat maghrib, perut yang sdah seharian kosong, langsung disuruh bekerja keras dengan jejalan makanan manis pembuka yang tak habis-habisnya. Bahkan seringkali diteruskan dengan makan berat, sehigga badan terasa berat ketika digunakan untuk bersujud pada shalat maghrib yang seringkali dilakukan hampir menjelang adzan Isya.
Mungkin akan lebih baik lagi bila belanja tersebut diniatkan untuk menyantuni mereka yang tidak memiliki baju karena telah menjadi korban musibah kebakaran atau banjir...., Atau sekedar membelikan baju bagi mereka yang karena kondisi keuangannya hanya mampu membeli sepotong baju setiap hari lebaran saja... dan tentunya jangan pula dilupakan membelikan pakaian bagi mereka yang sehari-hari telah meringankan tugas kita di rumah,
Bagaimana pula kita masih berani meng "klaim" telah meraih kemenangan saat mendekati akhir bulan Ramadhan, kita malah lebih sibuk mempersiapkan oleh-oleh yang harus dibawa mudik... Atau bagi yang tidak melaksanakan mudik, toh tetap sibuk berbelanja, memesan kue-kue, memasak ketupat dan "rekan-rekannya" dan melupakan lailatul qadar .....
Tetapi........... begitulah ritual yang terjadi dari tahun ke tahun saat Ramadhan datang. Itu sebabnya konsumsi rumah tangga meningkat hebat. Alih-alih mengistirahatkan bagian dalam tubuh dari kerja kerasnya mengolah asupan makanan selama 11 bulan lainnya seraya merasakan penderitaan kaum dhuafa yang tidak mampu menikmati lezatnya makanan, Ramadhan malah membuat kita menjadi lebih konsumtif.
Hidangan makan malam di meja menjadi bertambah ragamnya. Minimal ada tambahan sirop+rekannya seperti kelapa muda, blewah atau cincau ditambah dengan satu jenis kolak. Ini berarti tambahan pengeluaran ....
Bulan Ramadhan bisa juga berkembang menjadi bulan dimana "ajang" pesta berbalut ritual "buka puasa bersama" diselenggarakan. Dari niat menyantuni dan memberi makan kaum dhuafa atau musafir saat berbuka, buka puasa bersama berubah menjadi ajang pesta berbalut kegiatan agama lengkap dengan tausiyah yang diselenggarakan baik di rumah-rumah, kantor dan bahkan di hotel-hotel. Pesertanya terkadang masih mengundang anak-anak yatim piatu dari suatu yayasan rumah Yatim-piatu/dhuafa. Tetapi buka puasa bersama lebih sering diselenggarakan secara eksklusif untuk suatu golongan atau tingkat sosial tertentu. Tampaknya, sekarang Ramadhan menjadi kurang afdol lagi tanpa adanya ritual buka puasa bersama. Maka, selama bulan Ramadhan, dimana-mana .... di antara keluarga, organisasi, kantor dan lainnya selalu dipertanyakan...."Kapan nih kita buat buka puasa bersama...?"
Andai karena kesibukan, kemacetan lalu lintas serta kelelahan telah menghalangi kita untuk melaksanakan tarawih berjamaah di masjid, maka ada baiknya berjamaah di rumah dengan keluarga sambil menanti para pembantu rumah tangga melaksanakan tarawih berjamaah di masjid terdekat. Tentu ada kegembiraan buat mereka untuk sejenak keluar rumah setiap malam selama bulan Ramadhan.
Tentu tidak salah pula kalau kita tidak mengubah pola makan. Ta'jil dengan mengikuti sunah Rasul tentu yang terbaik apalagi kurma beragam jenis dan harga telah tersedia di mana saja. Walaupun itu tidaklah mudah, karena persepsi orang telah membuat kita selalu menyajikan kolak dan berbagai penganan manis sebagai pembuka.
Lalu ........., apa yang membedakan Ramadhan dengan bulan lainnya, selain keriuhan tersebut?
Mungkin ada baiknya kita evaluasi kembali apa makna shaum Ramadhan agar Ramadhan mendatang menjadi lebih bermakna. Bukan saja dari segi ritual keagamaan yaitu memperbanyak shalat-shalat sunnah, dzikir dan tadarus tetapi juga implementasinya ke dalam perilaku kehidupan .... Jangan sampai Ramadhan dan Idul Fitri secara perlahan berubah menjadi hanya ritual festive sebagaimana yang terjadi dengan perayaan Natal di berbagai negara Barat. Naudzubillahi min dzalik ............
Tidak ada komentar:
Posting Komentar