Siang tadi, sekitar jam 11an, telponku bergetar. Ada sms dari nomor +628991341846, masuk .... Isinya begini...:
TANPA MENGURANGI RASA HORMAT, SAYA IBU EVA SUDAH MELIHAT RUMAH DAN MERASA COCOK. UNTUK NEGO MOHON HUBUNGI SUAMI SAYA NO. 085210892865, PAK DRS ARSLAN. TKS
Itu kira-kira nih... karena smsnya sudah dihapus. Tapi memang ditulis dengan huruf besar semua. Kurang sopan ...!
Ini jelas upaya penipuan. Mengapa ....? Sangat jelas orang tersebut tidak pernah melihat rumahku. Sama mustahilnya dia bisa tahu nomor telponku. Andaikan dia tahu nomor telponku, karena memang aku pernah mengiklankan rumah tinggalku, tetap saja mudah ditebak bahwa ini upaya penipuan.
Bagaimana mungkin dia melihat rumahku.... lha alamat rumah yang mau dijual saja tidak dicantumkan. Jadi dia harus menelponku dulu untuk mengetahui rumah dimaksud. Sudah begitu ... kok gampang saja .... ? Beli rumah kan nggak seperti beli kacang goreng.... Lihat, lalu tanpa banyak tanya, langsung nego harga...
Ada banyak masalah yang biasanya dipertanyakan oleh pembeli serius sebelum mencapai kata sepakat. Sebut saja salah satunya.... bahwa sebelum bernegosiasi harga, calon pembeli biasanya berkunjung berulang kali ke rumah yang diincarnya. Dia juga akan membawa "seisi rumah"nya agar seluruh stake holder memberikan kata sepakat atas rencana membeli rumah yang diidamkan tersebut .....
Halah, mau nipu tapi kurang canggih ....
Tapi .... mengingat pada bulan Ramadhan yang baru lalu, rumahku tiba-tiba diserbu 4 orang, di antaranya ada 1 orang perempuan makelar tradisional, maka aku menduga-duga, siapa tahu salah satu makelar tersebut berhasil mendapatkan pembeli, walau saat itu kukatakan bahwa rumah yang kutempati tidak akan dijual dalam waktu dekat.
Atas nama rasa penasaran, kubalas sms tersebut :
.... Maaf, saya tidak mengerti maksud anda! Rumah apa dan dimana? Dengan siapa anda kontak untuk melihat rumah saya? ....
Sms ku itu rupanya langsung terjun ke laut ... Tidak berjawab hingga sore hari. Jadi memang jelas ini adalah usaha penipuan.
Rasa iseng, ingin mengetahui usaha penipuan ini, sore hari dalam perjalanan pulang ke rumah, dengan menggunakan telpon genggam yang lain, kucoba menghubungi nomor telpon pengirim sms. Tidak berjawab, kecuali jawaban dari provider telpon, yang menyatakan bahwa telpon dimaksud tidak dapat dihubungi atau tidak dalam jangkauan.
Masih dengan telpon genggam yang sama, kuhubungi nomor telpon "sang suami". Setelah beberapa kali dering telpon, maka diangkat jugalah telponku :
"Maaf..., saya bicara dengan siapa...?", tanyaku
"Saya, drs Arslan..., maaf dengan siapa saya bicara?". Begitu jawabnya.
Hm .... rupanya betul, nama sebagaimana yang dicantumkan dalam sms yang aku terima siang tadi. Kusebut nama kecilku dengan memplesetkan huruf pertama.
"Maaf pak... saya melihat ada missed call di handphone saya .... ada masalah apa ya?", pancingku. Padahal sungguh mati, nggak ada missed call ke telpon genggamku. Kalaupun ada, maka seharusnya bukanlah ke nomor telpon yang kugunakan saat itu.
"Oh ... iya, soal rumah bu...!", sambarnya segera.
Hm .... ketahuan bohongnya .....
"Rumah .....? Maaf ... rumah yang mana dan dimana, pak...?"
"Hm .... anu, rumah ibu itu...!"
"Iya ... tapi yang mana dan dimana....?"
Klik ..... hubungan telpon terputus ....
Pasti si bapak mulai merasa bahwa upaya penipuannya ketahuan...
Penasaran, kutelpon kembali orang itu ....
"Maaf pak terputus...! Jadi apa maksud bapak...?"
"Anu bu... rumah ibu itu...!"
"Rumah .... ? Rumah apa dan dimana...?
"ya itu .... rumahnya...!"
"iya pak .... tapi rumah apa dan dimana lokasinya...?"
"Anu bu ... saya .... (nggak jelas dia ngomong apa ...), anu... developernya....!"
"Maksudnya ...?"
"Begini bu ..., nanti saya telpon ibu lagi ya..", mungkin si bapak bingung mau ngomong apa atau bisa jadi takut ketahuan bohongnya.
Telpon langsung dimatikan .... dan tentu, tidak pernah ada telpon atau sms masuk lagi ke telpon genggamku dari nomor yang sama.
Tiba di rumah, sambil lalu kuceritakan sms dan telpon tadi ke asisten rumahku. Di luar dugaanku, neng asisten malah bilang begini...:
"Waduh bu .... sms begituan sih sering banget masuk ke hp saya ....! Malah ada yang bilang gini ... maaf bu, rumahnya jangan dilepas sama yang lain ya... Ibu hubungi suami saya buat nego ya! ini nomornya ....!
Kaget juga aku dengar cerita sang asisten.
"Bayangin aja bu ... boro2 rumah ..... duit aja nggak punya....Itu mah jelas mau nipu ....!!!"
Hahaha ......... lucu memang gaya orang mau nipu. Tapi, sekaligus prihatin juga dengan berbagai cara penipuan yang akhir-akhir ini merebak melalui sms. Ini dampak teknologi yang dijalankan oleh dan untuk tujuan negatif.
Sedih ..., karena negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam ... yang syiar agamanya begitu "hebat" dan dipujikan banyak negara tetangga... tetapi moralitas sebagian masyarakatnya mengalami degradasi.
Tapi ... memang Indonesia penuh dengan ironi. Bayangkan saja ... jilbab yang sejatinya digunakan oleh perempuan yang dengan penuh ketakwaan , ingin menjalankan kewajiban agamanya, malah dijadikan seolah-olah menjadi "pakaian wajib" bagi perempuan beragama Islam kala harus berhubungan dengan aparat hukum.
Lihat saja... Cut Tari dan Luna Maya saat berkunjung ke Polda dalam kasus Ariel - Peter Pan. Atau Malinda Dee, yang menggasak dana nasabah Citibank, Nunun Nurbaeti dan banyak lagi ... Padahal siapapun tahu bahwa mereka semuanya bukanlah orang-orang yang menggunakan jilbab sebagai pakaian keseharian ...
Dan yang paling menyedihkan lagi ... perempuan-perempuan berjilbabpun tidak pula menjaga perilakunya ... Beberapa pelaku korupsi yang tertangkap adalah mereka yang berjilbab dalam keseharian.
Jadi .... kalau mereka yang "taat" pada ajaran agama saja tidak "amanah" ..., mungkin mwnjadi wajar juga kalau segala bentuk dan cara untuk mencari uang/nafkah dilakukan, termasuk tipu menipu melalui sms.
Negara ini memang sedang mengalami degradasi etika dan moral...
Yang paling layak dicintai adalah cinta itu sendiri dan.. Yang paling layak dimusuhi adalah permusuhan itu sendiri #BadiuzzamanSaidNursi
Selasa, 11 September 2012
Senin, 10 September 2012
Rasa Kehilangan itu ....
Setiap manusia, pasti
pernah merasa kehilangan, entah berupa kehilangan barang, uang atau kehilangan
orang–orang yang dicintai. Kehilangan kekasih, suami atau istri, anak atau
orangtua .. dan kesemuanya pasti menimbulkan kesedihan….
Kehilangan pacar …. Itu
“sudah biasa”, apalagi saat remaja. Kehilangan suami atau istri …? Sepertinya
di abad ke 21 ini sudah semakin sering terjadi. Kehilangan suami atau istri
karena salah satu meninggal dunia atau… karena perpisahan… Tegasnya bercerai
karena masing–masing sudah merasa tidak ada kecocokan lagi.
Rasanya, “anak–anak muda”
sekarang sangat mudah bilang sudah nggak ada kecocokan lagi untuk pembenaran
perceraian. Atau …. Mereka bilang visi dan misinya sudah nggak sama lagi ….!!!
Padahal … perubahan visi itu sesuatu yang pasti terjadi… Kenapa …? Karena
masing–masing individu berkembang sesuai dengan lingkungan dimana dia
bergaul, terutama pada pasangan yang keduanya bekerja. Sehingga kebutuhan akan
sarana sosialisasi, topik pembicaraan, penampilan dan lain–lainpun akan
berubah sesuai dengan perkembangan karir dan tempat gaulnya.
Kesibukanpun bertambah …,
ada pekerjaan yang semakin berat bebannya seiring dengan kenaikan posisi. Ada
anak–anak yang semakin besar, yang perlu diperhatikan, bukan saja perhatian
soal pendidikan, perkembangan dan pergaulannya, tetapi juga kebutuhan materi
bagi anak–anak baik berupa kecukupan materi untuk hidup sehari–hari maupun untuk
pendidikannya. Umur pasanganpun bertambah, sehingga pasti akan ada perubahan
cara berpikir, perubahan selera dan sebagainya.
Maka… berharap sebuah
pasangan tetap pada visi–misi yang sama seperti saat mau menikah dulu, adalah
suatu hal yang mustahil. Segalanya harus disesuaikan dengan perubahan umur,
kehidupam, karir dan sebagainya, agar ikatan pernikahan tetap berjalan seiring.
Kalau salah satu berubah sementara pasangannya “ngotot” bertahan pada visi–misi
yang awal sekali … ditanggung deh, bakal ribut terus…
Waks ….. ngelantur lagi
….!!! Padahal yang mau ditulis bukan “kehilangan” pasangan. Tapi rasa kehilangan
orang tua akan anak–anaknya.
Tahu gak …., kapan pertama
kali aku merasa “kehilangan yang sangat besar” dalam kehidupanku? Ini terjadi
pada tahun 1986, tepatnya bulan Januari.
Hari itu, setelah selama
satu bulan sebelumnya bersiap–siap mencari sekolah yang mau menerimanya, maka
kuantar anak lelakiku ke sekolah. Umurnya belum lagi genap 3 tahun. Umur yang
dipersyaratkan untuk bisa diterima di play group (TK A) saat itu. Maka
kukatakan pada sekolah dan guru kelasnya, bahwa anakku itu dititipkan saja
supaya dia bisa bersosialisasi dengan anak sebayanya. Di rumah… terlalu banyak
orang dewasa yang “menggaulinya” (hihihi … istilahnya nggak enak banget ya…?).
Aku masih tinggal menumpang
di rumah orangtua. Belum mampu beli rumah karena suami baru saja menyelesaikan
studi dan kembali ke Indonesia. Di rumah orangtuaku tentu masih ada adik–adikku
yang belum menikah, ada nenek dan 2 orang adik ibuku yang tinggal bersama
orangtuaku. Anakku itu cucu pertama di keluargaku… Jadi bayangkan bagaimana
hebohnya seisi rumah “ikut campur” mengurusi anakku. Dia nyaris tidak pernah
ada di kamarku, karena selalu ada saja tangan–tangan yang dengan sangat
ringan dan rela hati mengasuhnya. Bahkan … setiap week end, anakku sudah di
booked orangtuaku. Kalau tidak dibawa mancing di kolam ikan di berbagai kota seputar Jabodetabek dan kadang hingga ke Cikampek … Merekapun seringkali pergi ke
Bandung. Maka saat anakku ribut ingin sekolah, maka kuiyakan saja maunya.
Aku membayangkan… seperti
biasanya anak – anak yang baru masuk ke sekolah, maka anakku itu “pasti” akan
menangis minta ditunggui di sekolah, minimal selama 1 minggu pertama.
Begitulah … pada suatu pagi
di bulan Januari 1986, kuantar si anak ke TK Duyung, di bilangan
Rawamangun. Akupun sudah
bersiap–siap untuk menungguinya di sekolah dan kebetulan kami datang sedikit
terlambat, tepat saat anak terakhir menaiki tangga menuju kelas. Beruntung guru
kelasnya yang sangat ramah dan lembut, menjemputnya di pintu pagar sekolah dan
si anak dengan riang gembira langsung menyambut tangan si guru sambil melihatku
dan bilang…: dah mama……!!!”, maka tubuh mungilnya langsung hilang berlarian
naik tangga menuju kelas.
Dan aku …. Ibunya bengong …
kaget melihat dia berlari meninggalkan ibunya tanpa beban ... tanpa ada rasa takut kehilangan
ibunya…. Malah ibunya yang terhenyak …. Ada rasa nyeri di hati… Ada rasa
kehilangan … rasa hilang karena tidak diperlukan oleh si anak yang umurnyapun
belum genap 3 tahun. Perasaan tidak dibutuhkan lagi kehadirannya oleh anak yang
dicintai.
Peristiwa yang sama terjadi
16 tahun kemudian, saat dia berumur 19 tahun dan baru menyelesaikan ujian
semester 4. Program internasional yang diambilnya memang mengharuskan mahasiswa
menempuh 1 tahun terakhir studinya atau semester 7 dan 8 di Australia. Tapi
anakku ingin segera pindah dan menyelesaikan 4 semester di Australia. Beruntung IPK dan IELTS nya memenuhi syarat, sehingga keinginannya pindah dan menempuh
4 semester di Australia bisa terpenuhi.
Segalanya sudah
diselesaikan. Pembayaran uang kuliah semester 5, sewa apartemen selama 1 semesterpun sudah
diselesaikan. Tinggal menentukan tanggal keberangkatan setelah visanya sedikit
terhambat karena ternyata paru-parunya ada bercak, yang setelah diperiksa lebih
lanjut ternyata bekas memar kecelakaan saat main sepak bola.
Maka kutanyakan, apakah aku
atau bapaknya perlu mendampinginya, minimal pada 1–2 minggu pertama di Australia?
Jawabnya …?
“Kalau mama atau papa ikut,
apakah kalian bisa membantu menyelesaikan masalah di Australia…?”
“Entahlah … bisa ya,
mungkin juga tidak… Tapi minimal bila ada kesulitan, ada orang lain/keluarga
yang mendampingimu..”
“Ah… kalau begitu …, nggak
usah deh … biar kuselesaikan sendiri… Toh disana sudah ada teman–temanku.”
Begitulah …, akhirnya aku
hanya bisa mengantarnya hingga bandara saja dan melepaskannya pergi sendiri. Melepasnya untuk keluar dari rumah dan hidup dan menghadapi hari–hari pertamanya di negara orang. Berada jauh dari keluarga … walau
seperti yang dikatakannya … ada temannya di sana. Bahkan teman mainnya sejak
masa di SMA dulu.
masjid SMA Lazuardi |
10 tahun berlalu ... walau masih sering didera rasa kangen, toh hidup tetap berjalan sebagaimana seharusnya.
2 bulan yang lalu, menjelang bulan Ramadhan, aku harus “melepaskan” kembali anakku yang ke 2, “pergi” dari rumah. Pilihannya untuk melanjutkan SMA mengharuskannya memilih untuk tinggal di asrama. aku ... ibunya "terpaksa" merelakannya. Bukan sekedar supaya anak manja itu bisa hidup lebih mandiri dan bertanggungjawab. Tetapi juga karena lokasi sekolahnya yang cukup jauh. Minimal 90 menit di pagi dan sore hari untuk mencapai lokasi sekolah dari tempat tinggal kami. Sementara sekolahnya menganut full day school dimana jam belajarnya dimulai dari jam 07.30 hingga jam 16.00. Bahkan 2 hari dalam seminggu, sekolah akan berakhir hingga jam 17.15. Bayangkan betapa melelahkannya kalau dia harus berangkat dari rumah setiap hari. Belum lagi kalau tidak ada yang bisa menjemputnya pulang dari sekolah.
2 bulan yang lalu, menjelang bulan Ramadhan, aku harus “melepaskan” kembali anakku yang ke 2, “pergi” dari rumah. Pilihannya untuk melanjutkan SMA mengharuskannya memilih untuk tinggal di asrama. aku ... ibunya "terpaksa" merelakannya. Bukan sekedar supaya anak manja itu bisa hidup lebih mandiri dan bertanggungjawab. Tetapi juga karena lokasi sekolahnya yang cukup jauh. Minimal 90 menit di pagi dan sore hari untuk mencapai lokasi sekolah dari tempat tinggal kami. Sementara sekolahnya menganut full day school dimana jam belajarnya dimulai dari jam 07.30 hingga jam 16.00. Bahkan 2 hari dalam seminggu, sekolah akan berakhir hingga jam 17.15. Bayangkan betapa melelahkannya kalau dia harus berangkat dari rumah setiap hari. Belum lagi kalau tidak ada yang bisa menjemputnya pulang dari sekolah.
Jadi, setiap work days atau
sejak minggu sore hingga jum’at sore, rumah kami, sekarang, menjadi sepi. Kami
hidup berdua lagi … from zero to zero… Masih beruntung, siswa yang orangtuanya
tinggal di Jabodetabek, wajib pulang ke rumah orangtuanya setiap jum’at sore
dan kembali ke asrama minggu sore. Sehingga kami bisa bertemu ... setelah selama 5 hari putus komunikasi.
Berbeda dengan si kakak
yang dengan “gagah berani” meninggalkan rumah dan orangtuanya… maka si adik
manja ini selalu ogah–ogahan pada saat harus kembali ke asrama. Hal ini tentu
lain dampaknya pada perasaanku …, karena aku tahu… kehadiranku masih sangat
“dibutuhkan”. Apakah hal ini terjadi karena perbedaan kelamin antara si kakak
dan adik sehingga kemandiriannyapun menjadi sangat berbeda? Karena rasa
keterikatan anak lelaki kepada keluarga berbeda dengan rasa keterikatan anak
perempuan kepada keluarganya…?
Lepas dari itu semua….
Setiap minggu sore, usai mengantarnya kembali ke asrama, rasa kehilangan itu
tetap ada … Ada sesuatu yang hilang …. Celoteh–celotehnya tentang kejadian di
sekolah, pelajaran, kelakuan teman-teman sekelasnya atau bahkan tentang cowo–cowo keren yang ditaksirnya…
Ah rupanya… menjadi ibu
atau orangtua juga harus belajar menerima rasa kehilangan…. Karena… cepat atau
lambat, hal itu akan terjadi dan pasti terjadi…
Selasa, 04 September 2012
Ketika "tangan" Allah turut campur ..........
Pembicaraannya sebetulnya
biasa-biasa saja .... Pembicaraan informal, saat survey lokasi tanah yang akan
diambil alih dan dikembangkan menjadi suatu area pemukiman baru. Nun.... jauh
di timur ibukota Jakarta.
Pemukiman atau lebih sempit lagi
perumahan memang merupakan masalah pelik di Indonesia. Daya beli masyarakat
yang semakin menurun, ketiadaan sumber pendanaan jangka panjang bai bagi
pengembang maupun pembeli, membuat target pemenuhan kebutuhan rumah di
Indonesia tidak pernah tuntas.
Bila pada dekade tahun 1980an,
masyarakat masih dapat "mencicipi" rumah murah dengan type bangunan
yang sangat memadai sesuai dengan standard kelayakan hunian serta berdiri di
atas areal tanah yang relatif luas. Bukan itu saja... peminat rumahpun masih
pula mendapat kredit pemilikan rumah melalui bank tabungan negara dengan jangka
panjang dan bunga sangat murah, Hanya 6% pertahun (add on). Pilihanpun banyak
.... akan lebih murah lagi bila mau bersabar menunggu dan antri saat Perum
Perumnas menjajakan dagangannya
Saat ini ...... cerita manis itu
tinggal cerita kenangan saja. Rumah layak dan nyaman semisal type 70m2 bangunan
dengan tanah seluas 250m2 hanya
tinggal angan-angan. Standar kelayakan bangunanpun menurun. Sekedar berteduh
saja. Bila awalnya disebut Rumah Sederhana, untuk membedakannya dengan rumah
kelas real estate, maka kemudian berumah menjadi Rumah Sangat Sederhana yang
kemudian diperhalus menjadi Rumah Sederhana Sehat. Mungkin sudah tidak tega
lagi mencari sebutan yang enak di telinga serta tidak merendahkan pembelinya,
untuk rumah dengan standar kenyamanan dan kelayakan yang semakin rendah.
oupsss........ kok malah
ngelantur bahas masalah perumahan ya?
Ayo.... balik ke topik awal...
Jadi, ... saat itu, kami sedang
melakukan survey lokasi untuk pengembangan perumahan lanjutan setelah lokasi
awal hanya tinggal tidak lebih dari 5 unit saja dan sebagian karyawannya juga
sudah "dirumahkan" sementara.
Lokasi sudah ditemukan, sudah
disepakati harga dan malah sudah diselesaikan pembayarannya kepada masyarakat.
Tinggal lagi penyelesaian masalah klasik yaitu pembayaran kepada RCTI alias
Rombongan Calo Tanah Indonesia ... ini istilah yang diperkenalkan salah satu
rekan dari Malang yang menjabat sebagai direksi perusahaan tersebut. Yang
lainnya adalah biaya "hengki-pengki” pejabat pembuat akta tanah....
Gila juga tuh .... sudah dapat
fee resmi ... eh... masih rakus juga minta tambahan bagian dengan berbagai
macam dalih. Muak banget lihat wajah mereka, yang tanpa merasa malu atau
bersalah, sudah menyusahkan dan merepotkan orang lain. Menurutku ... hal itu
sudah menyalahgunakan wewenang dan tugasnya .... Tapi, ya sudahlah.... ! Biar
aja nggak berkah kalau hidup dan makan dari harta dan kekayaan yang diperoleh
dengan mempersulit orang lain.
***
Pembukaan proyek baru setelah proyek
lama ditutup tentu ada prosesnya. Proses tutup proyek dengan segala perhitungan
laba/rugi. Setelah itu, galibnya proyek... kalau untuk tentu ada pembagian
bonus keuntungan dan tutup proyek. Nah bagian ini menjadi bagian yang
ditunggu-tunggu awak proyek.
Setelah perhitungan untung rugi,
penyisihan untuk pengembangan proyek baru dan pembagian bonus/deviden, kemudian
dilanjutkan pembukaan "buku baru" proyek. Dengan kelak, jelas
terlihat berapa biaya investasi dan keuntungannya.
Selama proyek berlangsung, setiap
tahun biasanya pada bulan April atau Mei, akan diadakan RUPS dimana pengurus
perusahaan dimana proyek bernaung melaporkan kondisi proyek kepada pemegang
saham. Ini juga merupakan saat yang ditunggu, terutama untuk proyek yang sudah
membukukan keuntungan karena usai RUPS, biasanya secara terbatas para pemegang
saham akan menetapkan pembagian bonus keuntungan bagi staff dan karyawan
proyek. Begitulah kebiasaan prosedur proyek yang ada di lingkungan perusahaan
tempatku bekerja. Minimal…. Begtulah yang selalu terjadi dengan proyek yang
berada di wilayah Jabodetabek.
Memang …, terasa agak luar biasa
dan baru belakangan aku sadar bahwa setelah terjadi “huru-hara” beberapa tahun
yang lalu dan mengakibatkan perubahan manajemen besar-besaran di proyek wilayah
timur itu, rutinitas Raker dan RUPS tidak pernah lagi dilaksanakan. Aku, karena
memang tidak masuk dalam jajaran manajemen proyek (manapun … hehehe …. Enak
jadi pengamat dan komentator aja!), jadi tidak terlalu memperhatikan kondisi
itu walau tetap mengikuti perkembangannya. Kalau tidak ada raker dan RUPS, maka
berarti neraca perusahaan dan laba/rugi tidak atau belum disahkan. Kalau nggak
ada perhitungan laba/rugi, akibatnya …. Sudah pasti bisa ditebak…. Tidak ada
bonus proyek… its so simple …. Jadi yang ada di proyek, tentunya sadar dan
harus sadar konsekuensinya.
Nah berkenaan dengan menyusun
“buku baru” itulah perlu ditentukan besar modal dan pinjaman internal.
Membicarakan proyek baru, maka mau tidak mau, proyek lama yang sudah habis,
harus ditutup dulu. Kalau proyek sudah ditutup, sebetulnya…. Ada keuntungan
buat pengelolanya, yaitu …… ada perhitungan laba/rugi yang berkelanjutan dengan
“turunnya” bonus. Selama proyek nggak ditutup, maka semuanya tidak akan pernah
diperhitungkan…
Sayangnya, rekan2 di timur, entah
karena pencatatan keuangannya yang belum selesai …., atau karena ewuh–pakewuh
untuk “menuntut” hak bonus
keuntungan, padahal sekaligus juga menjalankan kewajiban melaporkan hasil kerja
kepada pemegang saham, jadi tidak pernah melakukan Raker/RUPS. Ternyata …,
laporan keuangan selama 3 tahun belakangan termasuk laporan tutup proyek, sudah
sejak jauh–jauh hari selesai. Rasa ewuh pakewuh mendahului “ dawuh orang pusat”
untuk menyelenggarakan RUPS lah yang menyebabkan Neraca dan Laba/Rugi tidak
pernah disahkan.
Ketika ada kesempatan bertemu
dengan pemegang saham, sempat terlontar rencana RUPS tutup proyek dan pelaporan
pekerjaan pembangunan annex hotel untuk sekaligus buka proyek baru. Berbarengna
dengan hal tersebut ada pula pekerjaan penting lainnya yang tidak bisa
ditinggalkan sehingga semua orang terkonsentrasi pada hal ini. Mempertimbangkan
kondisi tersebut, maka RUPS diancang–ancang akan diselenggarakan pada awal
Oktober 2012 yang akan datang.
Pada suatu pagi di hari Jum’at …
big boss masuk ruangan, sambil lalu tanya ini itu, Kusampaikan juga berbagai
kondisi lapangan termasuk rencana RUPS pada awal Oktober tersebut.
Agak siang, terjadi kehebohan
karena rekanku yang mejabat sebagai direksi perusahaan sibuk mengatur jadwal
rapat koordinasi seluruh proyek di timur dengan “hanya” memanggil internal
auditor ke Jakarta, yang sebetulnya sedang sangat sibuk. Dan ….. rapat dengan
pemilik perusahaan itu hanya menyisakan waktu 2 hari saja untuk mempersiapkan
segalanya. Hal itu pasti mengacaukan segala penyelesaian pekerjaan yang disusun
rekanku itu … dan aku merasa sangat bersalah pada temanku karena, pemilik
perusahaan jelas menyatakan bahwa keputusan tersebut diambil setelah berbicara
denganku …. Padahal, yang kujelaskan adalah rencana untuk menyelenggarakan RUPS
pada awal Oktober 2012 serta materinya.
Begitulah…. singkat cerita selama
2 hari, 10 hari menjelang hari Raya Idul Fitri rapat maraton diselingi dengan
buka puasa bersama yang terpaksa diadakan untuk mengakomodasikan peserta rapat
yang beragama Islam. Walaupun lelah …., aku yakin rekan yang dating dari timur
tentu gembira bahwa, laporan keuangan termasuk Neraca dan Laba/Rugi dari
beberapa proyek bisa diterima pemilik perusahaan termasuk “laporan tutup
proyek”. Pemilik perusahaan juga menyetujui pembagian keuntungan dan ini
berarti ada bonus yang dapat dicairkan.
Hari berlalu tanpa terasa ….
Shaum Ramadhan yang kali ini dilalui dalam terik matahari dan cuaca kemarau
memang sangat menguras tenaga …. Hingga di pagi hari saat libur lebaran sudah
dimulai …. Aku menerima pesan di blackberry dari suatu kota di timur pulau
Jawa, yang memberitahukan bahwa temanku baru saja usai menjadi sinterklas yang
membagikan bonus ….., disertai ucapan terima kasih atas bantuanku….
Bantuan …? Ah terlalu berlebihan
kalau disebutkan bahwa semuanya terjadi atas bantuanku. Semua terjadi karena
adanya campur tangan Allah ……
Bayangkan … sudah sejak beberapa
bulan yang lalu kusampaikan adanya “kebutuhan” untuk tutup proyek dan hal itu
belum mendapat tanggapan yang memadai karena adanya perbedaan persepsi. Sampai
pada pertengahan bulan Ramadhan itupun, yang kusampaikan hanyalah rencana untuk
mengadakan RUPS pengesahan tutup proyek pada awal Oktober 2012.
Maka hanya atas kuasa Allah SWT
lah yang membalikkan hati nurani pemilik perusahaan sehingga rapat tersebut dapat
digelar secara kilat dengan hasil yang sangat menyenangkan.
Begitu indahnya Ramadhan …………
Langganan:
Postingan (Atom)
BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺
Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa Mensholatkan kita... Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...
-
3/5 Berusaha dan terus berusaha. Hari itu, adalah hari ke 14 menstruasi ... Masih sederas hari pertama dan tidak ada tanda-tanda mereda...
-
Sebelum tulisan ini dilanjutkan, saya perlu meminta maaf terlebih dulu pada mereka yang berprofesi sebagai supir pribadi. Sungguh, tidak ...
-
Hari ini, Sabtu 18 Agustus 2007, majelis rumpi dibuka kembali. Mestinya classe conversation dimulai Sabtu tanggal 11. tapi karena hari sa...