Setiap manusia, pasti
pernah merasa kehilangan, entah berupa kehilangan barang, uang atau kehilangan
orang–orang yang dicintai. Kehilangan kekasih, suami atau istri, anak atau
orangtua .. dan kesemuanya pasti menimbulkan kesedihan….
Kehilangan pacar …. Itu
“sudah biasa”, apalagi saat remaja. Kehilangan suami atau istri …? Sepertinya
di abad ke 21 ini sudah semakin sering terjadi. Kehilangan suami atau istri
karena salah satu meninggal dunia atau… karena perpisahan… Tegasnya bercerai
karena masing–masing sudah merasa tidak ada kecocokan lagi.
Rasanya, “anak–anak muda”
sekarang sangat mudah bilang sudah nggak ada kecocokan lagi untuk pembenaran
perceraian. Atau …. Mereka bilang visi dan misinya sudah nggak sama lagi ….!!!
Padahal … perubahan visi itu sesuatu yang pasti terjadi… Kenapa …? Karena
masing–masing individu berkembang sesuai dengan lingkungan dimana dia
bergaul, terutama pada pasangan yang keduanya bekerja. Sehingga kebutuhan akan
sarana sosialisasi, topik pembicaraan, penampilan dan lain–lainpun akan
berubah sesuai dengan perkembangan karir dan tempat gaulnya.
Kesibukanpun bertambah …,
ada pekerjaan yang semakin berat bebannya seiring dengan kenaikan posisi. Ada
anak–anak yang semakin besar, yang perlu diperhatikan, bukan saja perhatian
soal pendidikan, perkembangan dan pergaulannya, tetapi juga kebutuhan materi
bagi anak–anak baik berupa kecukupan materi untuk hidup sehari–hari maupun untuk
pendidikannya. Umur pasanganpun bertambah, sehingga pasti akan ada perubahan
cara berpikir, perubahan selera dan sebagainya.
Maka… berharap sebuah
pasangan tetap pada visi–misi yang sama seperti saat mau menikah dulu, adalah
suatu hal yang mustahil. Segalanya harus disesuaikan dengan perubahan umur,
kehidupam, karir dan sebagainya, agar ikatan pernikahan tetap berjalan seiring.
Kalau salah satu berubah sementara pasangannya “ngotot” bertahan pada visi–misi
yang awal sekali … ditanggung deh, bakal ribut terus…
Waks ….. ngelantur lagi
….!!! Padahal yang mau ditulis bukan “kehilangan” pasangan. Tapi rasa kehilangan
orang tua akan anak–anaknya.
Tahu gak …., kapan pertama
kali aku merasa “kehilangan yang sangat besar” dalam kehidupanku? Ini terjadi
pada tahun 1986, tepatnya bulan Januari.
Hari itu, setelah selama
satu bulan sebelumnya bersiap–siap mencari sekolah yang mau menerimanya, maka
kuantar anak lelakiku ke sekolah. Umurnya belum lagi genap 3 tahun. Umur yang
dipersyaratkan untuk bisa diterima di play group (TK A) saat itu. Maka
kukatakan pada sekolah dan guru kelasnya, bahwa anakku itu dititipkan saja
supaya dia bisa bersosialisasi dengan anak sebayanya. Di rumah… terlalu banyak
orang dewasa yang “menggaulinya” (hihihi … istilahnya nggak enak banget ya…?).
Aku masih tinggal menumpang
di rumah orangtua. Belum mampu beli rumah karena suami baru saja menyelesaikan
studi dan kembali ke Indonesia. Di rumah orangtuaku tentu masih ada adik–adikku
yang belum menikah, ada nenek dan 2 orang adik ibuku yang tinggal bersama
orangtuaku. Anakku itu cucu pertama di keluargaku… Jadi bayangkan bagaimana
hebohnya seisi rumah “ikut campur” mengurusi anakku. Dia nyaris tidak pernah
ada di kamarku, karena selalu ada saja tangan–tangan yang dengan sangat
ringan dan rela hati mengasuhnya. Bahkan … setiap week end, anakku sudah di
booked orangtuaku. Kalau tidak dibawa mancing di kolam ikan di berbagai kota seputar Jabodetabek dan kadang hingga ke Cikampek … Merekapun seringkali pergi ke
Bandung. Maka saat anakku ribut ingin sekolah, maka kuiyakan saja maunya.
Aku membayangkan… seperti
biasanya anak – anak yang baru masuk ke sekolah, maka anakku itu “pasti” akan
menangis minta ditunggui di sekolah, minimal selama 1 minggu pertama.
Begitulah … pada suatu pagi
di bulan Januari 1986, kuantar si anak ke TK Duyung, di bilangan
Rawamangun. Akupun sudah
bersiap–siap untuk menungguinya di sekolah dan kebetulan kami datang sedikit
terlambat, tepat saat anak terakhir menaiki tangga menuju kelas. Beruntung guru
kelasnya yang sangat ramah dan lembut, menjemputnya di pintu pagar sekolah dan
si anak dengan riang gembira langsung menyambut tangan si guru sambil melihatku
dan bilang…: dah mama……!!!”, maka tubuh mungilnya langsung hilang berlarian
naik tangga menuju kelas.
Dan aku …. Ibunya bengong …
kaget melihat dia berlari meninggalkan ibunya tanpa beban ... tanpa ada rasa takut kehilangan
ibunya…. Malah ibunya yang terhenyak …. Ada rasa nyeri di hati… Ada rasa
kehilangan … rasa hilang karena tidak diperlukan oleh si anak yang umurnyapun
belum genap 3 tahun. Perasaan tidak dibutuhkan lagi kehadirannya oleh anak yang
dicintai.
Peristiwa yang sama terjadi
16 tahun kemudian, saat dia berumur 19 tahun dan baru menyelesaikan ujian
semester 4. Program internasional yang diambilnya memang mengharuskan mahasiswa
menempuh 1 tahun terakhir studinya atau semester 7 dan 8 di Australia. Tapi
anakku ingin segera pindah dan menyelesaikan 4 semester di Australia. Beruntung IPK dan IELTS nya memenuhi syarat, sehingga keinginannya pindah dan menempuh
4 semester di Australia bisa terpenuhi.
Segalanya sudah
diselesaikan. Pembayaran uang kuliah semester 5, sewa apartemen selama 1 semesterpun sudah
diselesaikan. Tinggal menentukan tanggal keberangkatan setelah visanya sedikit
terhambat karena ternyata paru-parunya ada bercak, yang setelah diperiksa lebih
lanjut ternyata bekas memar kecelakaan saat main sepak bola.
Maka kutanyakan, apakah aku
atau bapaknya perlu mendampinginya, minimal pada 1–2 minggu pertama di Australia?
Jawabnya …?
“Kalau mama atau papa ikut,
apakah kalian bisa membantu menyelesaikan masalah di Australia…?”
“Entahlah … bisa ya,
mungkin juga tidak… Tapi minimal bila ada kesulitan, ada orang lain/keluarga
yang mendampingimu..”
“Ah… kalau begitu …, nggak
usah deh … biar kuselesaikan sendiri… Toh disana sudah ada teman–temanku.”
Begitulah …, akhirnya aku
hanya bisa mengantarnya hingga bandara saja dan melepaskannya pergi sendiri. Melepasnya untuk keluar dari rumah dan hidup dan menghadapi hari–hari pertamanya di negara orang. Berada jauh dari keluarga … walau
seperti yang dikatakannya … ada temannya di sana. Bahkan teman mainnya sejak
masa di SMA dulu.
masjid SMA Lazuardi |
10 tahun berlalu ... walau masih sering didera rasa kangen, toh hidup tetap berjalan sebagaimana seharusnya.
2 bulan yang lalu, menjelang bulan Ramadhan, aku harus “melepaskan” kembali anakku yang ke 2, “pergi” dari rumah. Pilihannya untuk melanjutkan SMA mengharuskannya memilih untuk tinggal di asrama. aku ... ibunya "terpaksa" merelakannya. Bukan sekedar supaya anak manja itu bisa hidup lebih mandiri dan bertanggungjawab. Tetapi juga karena lokasi sekolahnya yang cukup jauh. Minimal 90 menit di pagi dan sore hari untuk mencapai lokasi sekolah dari tempat tinggal kami. Sementara sekolahnya menganut full day school dimana jam belajarnya dimulai dari jam 07.30 hingga jam 16.00. Bahkan 2 hari dalam seminggu, sekolah akan berakhir hingga jam 17.15. Bayangkan betapa melelahkannya kalau dia harus berangkat dari rumah setiap hari. Belum lagi kalau tidak ada yang bisa menjemputnya pulang dari sekolah.
2 bulan yang lalu, menjelang bulan Ramadhan, aku harus “melepaskan” kembali anakku yang ke 2, “pergi” dari rumah. Pilihannya untuk melanjutkan SMA mengharuskannya memilih untuk tinggal di asrama. aku ... ibunya "terpaksa" merelakannya. Bukan sekedar supaya anak manja itu bisa hidup lebih mandiri dan bertanggungjawab. Tetapi juga karena lokasi sekolahnya yang cukup jauh. Minimal 90 menit di pagi dan sore hari untuk mencapai lokasi sekolah dari tempat tinggal kami. Sementara sekolahnya menganut full day school dimana jam belajarnya dimulai dari jam 07.30 hingga jam 16.00. Bahkan 2 hari dalam seminggu, sekolah akan berakhir hingga jam 17.15. Bayangkan betapa melelahkannya kalau dia harus berangkat dari rumah setiap hari. Belum lagi kalau tidak ada yang bisa menjemputnya pulang dari sekolah.
Jadi, setiap work days atau
sejak minggu sore hingga jum’at sore, rumah kami, sekarang, menjadi sepi. Kami
hidup berdua lagi … from zero to zero… Masih beruntung, siswa yang orangtuanya
tinggal di Jabodetabek, wajib pulang ke rumah orangtuanya setiap jum’at sore
dan kembali ke asrama minggu sore. Sehingga kami bisa bertemu ... setelah selama 5 hari putus komunikasi.
Berbeda dengan si kakak
yang dengan “gagah berani” meninggalkan rumah dan orangtuanya… maka si adik
manja ini selalu ogah–ogahan pada saat harus kembali ke asrama. Hal ini tentu
lain dampaknya pada perasaanku …, karena aku tahu… kehadiranku masih sangat
“dibutuhkan”. Apakah hal ini terjadi karena perbedaan kelamin antara si kakak
dan adik sehingga kemandiriannyapun menjadi sangat berbeda? Karena rasa
keterikatan anak lelaki kepada keluarga berbeda dengan rasa keterikatan anak
perempuan kepada keluarganya…?
Lepas dari itu semua….
Setiap minggu sore, usai mengantarnya kembali ke asrama, rasa kehilangan itu
tetap ada … Ada sesuatu yang hilang …. Celoteh–celotehnya tentang kejadian di
sekolah, pelajaran, kelakuan teman-teman sekelasnya atau bahkan tentang cowo–cowo keren yang ditaksirnya…
Ah rupanya… menjadi ibu
atau orangtua juga harus belajar menerima rasa kehilangan…. Karena… cepat atau
lambat, hal itu akan terjadi dan pasti terjadi…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar