Jumat, 15 Februari 2013

Garda Depan Perusahaan

Beberapa hari yang lalu, aku diminta mendampingi boss untuk menemui pemilik ijin lokasi di wilayah Jabodetabek. Konon, yang bersangkutan memiliki ijin lokasi untuk mengembangkan lahan seluas 60 hektar menjadi kawasan perumahan terpadu.

Biasalah ..., lagi musim istilah terpadu ...., judul tersebut rupanya dianggap "tuah" agar jualan rumahnya lebih dilirik orang. Padahal untuk menyebut diri "terpadu" pasti nggak sembarangan. Hei ..... belum apa-apa sudah ngelantur. Padahal bukan itu maksud isi tulisanku ini.

Kembali ke topik ....

Pemilik ijin lokasi itu memaparkan rencana kerjanya serta alasan mengapa dia mencari mitra. Tepatnya mencari investor, karena dari ijin lokasi seluas itu, dia baru membebaskan kurang dari 50%nya.

Bossku  ...., yang di awal kariernya pernah menjabat sebagai sales manager di salah satu perusahaan pengembang, rupanya sangat mengenal wilayah tersebut. Jadi, dari awal sudah memberikan indikasi bahwa lokasi tersebut memiliki tingkat pengembangan yang relatif stagnan. Namun, demi menghargai sesama pengusaha, aku menjanjikan untuk melihat lokasi sebelum secara definitf memberikan jawaban resmi.

Tiba di kantor, kuhubungi rekanku, salah satu direksi anak perusahaan untuk melakukan survey. DI luar dugaan, ternyata dia menyambut baik ajakan tersebut, karena dia mendengar banyak pengembang perumahan yang membebaskan lahan di sekitar wilayah tersebut. Berangkat dari sambutan itu, maka kami melakukan survey yang pagi tadi dilaksanakan itu.
***

Aku tiba 30 menit sebelum waktu yang dijanjikan. Kebetulan arah perjalanan kami berlawanan dengan mereka yang berangkat ke kantor. Maka, untuk mengisi waktu terluang, aku meminta staff bizdev yang turut survey untuk berpura-pura jadi calon pembeli perumahan yang berlokasi di mulut jalan perumahan yang akan kami survey tersebut.

Usai berkunjung ke kantor pemasaran, kami kembali ke lokasi meeting point untuk bertemu dengan contact person kami. Rupanya, karena ada rapat mendadak, dia menugaskan pimpinan proyeknya untuk mendampingi kami saat survey.

DD yang turun lebih dulu dari mobil untuk menemui sang pimpro, terlibat pembicara yang terlihat "alot". sehingga akupun turun mendekati pimpro setengah baya yang tanpa etika menyambutku masih dengan tetap memegang rokok di tangan dan menghisapkan. Haree geenee .... merokok di depan orang yang baru di kenal, tanpa berusaha mematikannya dulu, rasanya betul-betul cerminan orang yang kurang beretika. Usai bernegosiasi mengenai perlu tidaknya kami menunggu rekan yang masih di perjalanan, akhirnya kami mengalah untuk segera menuju ke lapangan.

Saat masuk kembali ke mobil, DD sempat berkomentar tentang sikap sang pimpro, namun saat itu, aku kurang memperhatikan komentarnya. Berusaha untuk tidak berprangsaka buruk terhadap orang yang baru ditemui.

Tepat seperti yang diduga, lokasi perumahan yang dituju memang agak jauh dari jalan utama, jalan kabupaten. Tapi sudah terlanjur ... ya dijalani saja, karena di dalam proposal yang kami baca, tergambar peta jalan yng bisa dianggap prospek baik pada lokasi tersebut..... hingga akhirnya kami tiba di area yang disebut, dalam plang yang dipasang di dinding bangunan sebagai kantor pemasaran. Sepi dan tidak terlihat ada aktifitas. Kamipun turun dari mobil masing-masing dan mulai berdialog :

"Ini batas lokasinya ... di sana lokasi yang sedang kami kerjakan .... sudah ada sekian unit yang sudah akad kredit..." begitu penjelasan sang pimpro.
"Akses ke lahan yang sudah dikembangkan lewat mana?, tanyaku...
"Jalan tadi, yang ada alat berat itu...", sahutnya.

Ah ya..., sekitar 100 meter sebelum kami berhenti, memang ada badan jalan yang sudah terisi bebatuan dan sekitar 100 meter jarak dari sudut jalan itu memang terlihat ada buldozer.
"Jalannya bisa di akses kalau saya mau lihat lokasi itu ...?" tanyaku.
Entah karena pertanyaanku yang dianggapnya mengada-ada atau mungkin semalam dia habis bertengkar dengan istrinya, nada suaranya sontak meninggi...
"Ibu ....!!!!," katanya dengan suara yang terdengar sangat tidak ramah.
"Di dalam sana, kami sudah membangun banyak rumah, sudah banyak yang laku dan bahkan sudah ada yang akad kredit! Bagaimana mungkin jalan itu tidak bisa diakses?"
"Jalan itu kan belum selesai .... permukaannya masih berbatu. Masih ada buldozer teronggok di tepi jalan. Jadi ... siapa tahu masih ada bagian badan jalan yang belum selesai dan tidak bisa diakses...", sahutku enteng.
"Kami sudah jualan bu ... bagaimana mungkin kami jualan kalau lapangan belum siap?", sahutnya masih dengan nada tinggi.

Dalam proposal yang sempat kubaca sebelumnya, tergambar dengan jelas bahwa bentuk lahan yang sudah dikuasai harus dilihat lebih teliti baik batas-batasnya maupun hamparannya. Apalagi, gambar yang dilampirkannya memuat ada jalan melintang membelah lokasi dengan notasi "jalan lingkar primer". Pasti badan jalannya lebar. Rugi besar kalau lahan tersebut dibebaskan dengan susah payah untuk kemudian "diambil' pemerintah.

"Orang jualan itu kan banyak caranya ... ada juga yang berjualan sambil merapikan lapangan... Itu yang sering disebut orang sebagai jualan gambar..."
"Ibu ini bicara sembarangan ....! kami ini sudah jualan dan sudah banyak laku!"
"Hei ..... saya datang kesini bukan untuk bertengkar ... hanya menanyakan apa yang saya ingin tahu! Saya sudah dengar dari pemilik proyek ini bahwa ada 125 unit yang sudah terjual! Saya hanya ingin tahu apa saya bisa masuk ke lokasi itu...! Apa salah kalau saya menanyakan hal itu?", sahutku keras.
"125 unit yang terjual itu bukan urusan ibu ....!"
"Eh .... saya enggak pernah bilang bahwa saya mau ngurusi yang 125 unit ya .... dan saya cuma tanya apa yang ingin saya tahu dari proyek ini..."
"Tapi pertanyaan ibu itu, tidak pada tempatnya...", masih ngotot juga orang itu.
"Maaf ... sekali lagi saya katakan saya kesini untuk mendapat kejelasan tentang proyek ini, bukan untuk bertengkar. Jadi tunjukkan saja jalan menuju lokasi yang sudah dikerjakan!", sahutku sebal.

Sang pimpro masuk ke mobilnya dan memandu kami masuk melintasi jalan berbatu yang di sana-sini sudah mulai tertimbun tanah merah. Tanah kavling yang tergerus air hujan. Di dalam mobil, kutelpon contact person yang kutemui saat makan siang dengan bossku dan pemilik proyek tersebut. Padanya kusampaikan protes keras atas perilaku sang pimpro yang ditugaskannya mendampingi kami.

DI lapangan, aku dan DD berbagi tugas untuk membuat dokumentasi kondisi proyek. DD keliling lapangan sementara aku masuk ke dalam sebuah rumah yang konon kata sang pimpro sudah dilakukan akad kredit. Entah betul atau tidak, tapi kondisi rumah itu masih sangat jauh dari selesai. Belum ada kaca jendela, sanitary dan kelengkapan lainnya. Deretan rumah lainnya sudah lama terbengkalai. Terlihat dari lumut yang menempel pada dinding rumah, ring balk yang melendut dan kusen kayu yang juga melendut keberatan beban. Kesemuanya menunjukkan kualitas bangunan yang buruk.

Begitu aku keluar dari rumah tersebut, di luar sang pimpro menyambut dengan suara yang mendadak sangat lunak dan dengan ramahnya menjelaskan ini itu mengenai proyeknya. Aku mendengarkannya dengan separuh minat. Bukan hanya karena rasa sebal yang sudah menggumpal sebelumnya, tetapi juga karena melihat kondisi lapangan yang tidak menyiratkan prospek yang baik. Pantas kalau pemilik proyek "kehabisan nafas"

Aku hanya berusaha untuk menilai proyek tersebut secara profesional, maka pada rekan yang membawahi masalah legal dan perijinan, kuminta bantuannya untuk melakukan pengecekan proyek tersebut ke instansi terkait. Tetapi .... perilaku sang pimpro sudah menjawab sebagian persoalan mengapa proyek tersebut tidak berkembang, selain masalah lokasi ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...