Selasa, 12 Februari 2013

Rapuhnya cinta

Sabtu pagi di tempat kursus, Laure yang native speaker mengajar di kelas kami, mengajak kami membahas mengenai rencana pengesahan pasangan homoseksual di Perancis. Topiknya adalah bagaimana rencana tersebut dilihat dari sudut pandang 2 golongan politik, yaitu golongan conservatif/kanan dan golongan kiri.

Memang agak susah membahas masalah karena Laure yang native tentu melihatnya dari perspektif barat, sementara kami melihatnya dari perspektif timur yang masih lekat dengan norma ketimuran dan keagamaan. Jadi agak nggak nyambung, karena bagaimanapun juga dasar latar belakang budaya para pembahas memang sudah berbeda. Kala generasi muda mulai menggugat cinta manusia lain jenis yang demikian mudah hilang dan mengecewakan, maka mereka mulai mencari cinta sejenis yang dianggapnya lebih kokoh.

Itu cerita pagi hari .....
***

Sore hari, saya menerima broadcast dari seorang teman, sambil membaca isi pesannya, saya tergeilitik untuk melihat profile picture nya. Rupanya dia memasang foto salah seorang anak lelakinya.
"Wah gak krasa sudah besar ya, anakmu itu..... Masih mau tambah anak perempuan?" tanyaku iseng, Kawan saya itu sudah punya 3 anak lelaki. dan foto si bungsu itulah yang dipasang di blackberry messenger nya
"Gaaaaakkkk!", jawabnya.
Upf ..... galaknya keluar. Teman saya yang satu itu memang rada galak.
":)нáàª:$;)нàâª:&=Dнà᪪>:O=Dнàâ kenapa enggak mau punya satu anak perempuan? Umurmu masih cukup produktif untuk punya anak perempuan", sahutku tidak mau kalah.
"Daripada jadi alasan suami buat cari wil alias wanita idaman lain :)нáàª:$;)нàâª:&=Dнà᪪>:O=Dнàâ", godaku lagi...
"Lah, aku ama babenye anak-anak sudah mau bubar hehe....." sahutnya enteng
"Ha.......? Serius lo?"
"Ciyus ..........."

Duh ...... kok obrolan jadi nglantur begini ya...? Sungguh mati ... nggak ada maksud untuk bicara masalah pribadi.
Temanku yang satu ini, walau galak atau mungkin karena galak dan sangat mandiri itulah dia bisa mencapai jabatan direktur marketing di salah satu perusahaan asing. Padahal ... seperti yang diakuinya sendiri, dia tidak pernah bisa duduk betah di bangku kuliah. 
Bangku kuliahnya di salah satu fajultas di Universitas Indonesia, ditinggalkannya untuk mencoba kuliah di bidang lain. Itupun tidak pernah dituntaskannya. Tapi, driving force serta kepercayaan dirinya yang tinggi, kemudian membawanya bisa bekerja di perusahaan - perusahaan asing di Indonesia. 

"Kenapa lagi?", tanyaku
"Long story, dari dulu kan loe tau", jawabnya
"Selingkuhan lagi? Anak sudah gede gitu... Kasihan anak2... Repot ya, kalau suami doyang selingkuh... Itu yang gua bilang, orang menikah itu "berat", tanggung jawabnya bukan cuma materi, tapi ke "atas" juga dan yangg ke atas ini yg sering dilupain. Gue ngerti sih, soal ginian memang mesti datang dari 2 pihak"
"Hehe c'est la vie ............"

Ah ya ..... c'est la vie ....! Itulah hidup.....!
Usia pernikahan temanku itu sudah berlangsung lebih dari 15 tahun dan saya yakin, mereka menikah dengan landasan cinta. Tapi mungkin seperti apa yang kudengar pada pagi hari di kelas, ucapan salah satu teman:
"Kalau cinta sudah hilang ... untuk apa lagi pernikahan dipertahankan?"

Tak pernah diduga perjalanan pernikahan abad ke 21 ini, sedemikian entengnya. Aku mungkin atau tepatnya "pasti" termasuk golongan konvensional. Walau secara bercanda sering kukatakan bahwa menikah itu ibarat "mengikat diri dan terjerat masuk ke dalam penjara bernama pernikahan" sepanjang usia.

Kenapa kukatakan begitu? Karena ada banyak "kepentingan pribadi" dari sudah pasangan yang berani menikah yang harus "dikorbankan" seumur hidup terutama dengan kehadiran anak. Dan .... kehadiran anak sejatinya makin menjerat pasangan suami istri, walau seringkali dijabarkan dalam bahasa :halus" sebagai pengikat pernikahan. Karena dengan demikian pasangan suami istri "harus" bertanggungjawab akan masa depan anak-anak. Lahir batin .... Dunia dan akhirat .... Orangtua dan seluruh aspek kehidupan keluarga, sadar atau tidak, akan menjadi role model yang kelak akan diadopsi, atau minimal mempengaruhi cara, bagaimana si anak kelak menjalankan kehdiupan rumah tangganya.

Emansipasi yang menyebabkan perempuan memiliki akses untuk memperoleh "kebebasan" finansial,  pergaulan lebih luas di luar rumah dan menduduki jabatan setara dengan lelaki telah membuat perempuan menjadi lebih mandiri dan "merasa setara" dalam menjalankan rumah tangga. Sayangnya masih banyak suami yang tanpa sadar dan dalam beberapa kondisi masih sangat konvensional .... Sebagai kepala keluarga yang "wajib" ditempatkan sebagai focal point dalam rumah.

Maka .... tatkala pasangan suami istri, keduanya bekerja dan memiliki penghasilan dimana (terutama) si isteri merasa "mampu" membiayai diri dan keluarganya, maka .... sebaiknya toleransi antar pasangan harus lebih ditingkatkan, karena kemudian pertentangan akan semakin mudah tersulut. Maka .... manakala pertentangan semakin meruncing, mungkin saya terpaksa mengulangi lagi ucapkan kepada teman tadi

" Gue percaya, perceraian mungkin jalan keluar yang baik, karena walau gimana, bapak atau juga harus memberi contoh yang baik buat anak-anaknya. Kalau mereka tidak mampu menjadi contoh yang baik bagi anak-anak..., maka kita mempertaruhkan "kejiwaan" anak-anak, memberi contoh buruk bagaimana mengelola rumahtangga. Itulah contoh buat anak-anak saat mereka berumahtangga kelak. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...