pengantin ondel-ondel |
Kemarin, Minggu 10 Maret 2013 setelah beberapa bulan
“mengharamkan” hadir dalam acara apapun juga yang diselenggarakan oleh
siapapun pada hari minggu sore, maka aku dengan suami dan anak hadir dalam undangan acara resepsi
pernikahan yang diselenggarakan di Bhirawa Assembly Hall–Hotel Bidakara.
Istilah “mengharamkan” mungkin agak berlebihan ya … Istilah
itu diambil karena minggu sore adalah jadwal antar anakku kembali masuk asrama. Kebetulan anakku tidak harus kembali ke asrama sore itu. Kalau bukan karena alasan yang sangat urgent, maka sebisanya kami berdua yang mengantarkannya ke asrama.
Agar dia tidak merasa menjadi “anak terbuang”.
Melihat lokasi tempat berlangsungnya acara resepsi pernikahan tersebut, sudah
terbayangkan bagaimana suasana yang akan tercipta di sana. Pasti ramai seperti
“pasar”. Segala macam orang tumplek blek di sana. Apalagi ditambah dengan panjangnya
waktu acara, selama 3 jam, dari biasanya hanya 2 jam dan jabatan yang disandang
ibu mempelai perempuan …. Pasti yang diundang … kalau mungkin, seluruh pejabat
dan pengusaha yang ada di lingkungan provinsi DKI Jakarta.
Mengantisipasi kemungkinan “antrian panjang”, maka kami baru
keluar rumah sekitar jam 19.30 dengan perkiraan akan tiba di lokasi acara 1 jam
kemudian. Dengan demikian kami berharap antriannya sudah sedikit menipis. Konyolnya, entah apa yang terjadi, akhir minggu kemarin, hampir
seluruh ruas jalan yang terpantau dari lewatmana.com relatif “kosong”. Begitu
juga dengan perjalanan kami tersebut kemarin. Hanya tersendat menjelang masuk
ke area Hotel Bidakara. Ini bisa dimaklumi dan sudah diprediksi sejak awal.
Karena tidak menggunakan jasa supir … (ini yang
seringkali dikeluhkan suami, karena saya alergi dengan keberadaan supir di tengah kami),
kami sudah mulai merasakan ketidaknyamanan saat mulai memasuki tempat parkir …. Harus berputar panjang. Nggak
kebagian tempat dan kemudian diarahkan menuju basement 2. Mungkin melihat tongkrongan mobil
yang kami gunakan “agak keren”, penjaga area parkir lalu berbaik hati mencarikan tempat parkir
yang “nyaman”. Tidak terlalu jauh dari lift lobby yang langsung membawa kami menuju Bhirawa
Hall ….. (aduh …. Ternyata dimata penjaga area parkir,
merek/jenis mobil jauh lebih berharga dari manusia ya?).
Maka ….. naiklah kami menuju Bhirawa Hall dan tiba tidak
jauh dari pre function area, tempat dimana buku tamu dan souvenir + Photo booth
berada. Ada trend baru rupanya pada pesta–pesta pernikahan sekarang, yaitu
dibuat photo booth dimana para tamu bisa membuat photo dengan latar belakang
sesuai dengan thema acara pernikahan tersebut. Mengantisipasi kecenderungan
masa kini untuk mengunggah foto seluruh aktifitas ke jaring sosial terutama
facebook.
Oupfs…… ternyata, perjalanan panjang kami belum selesai. Kami kemudian terhadang oleh antrian
tamu yang juga baru tiba. Tidak ada celah yang bisa dilalui untuk masuk ke dalam
ruangan utama, untuk mencicipi hidangan terlebih dulu, sambil menunggu antrian
yang panjang mengular tersebut menipis. Cuma ada satu pintu yang dijaga oleh, terkaan
saya, para abang–none Jakarta. Maklum …. Ibu mempelai perempuan dan mempelai
lelaki adalah jebolan abang–none Jakarta …. Beda generasi tentunya.
Pintu tersebut rupanya akses yang disediakan untuk para VIP masuk menerobos antrian sehingga bisa langsung bersalaman dengan sohibul bait alias tuan/nyonya rumah. Ini juga bentuk diskriminasi dalam acara pernikahan yang agak bertentangan dengan kalimat penutup setiap undangan “ adalah sebuah kehormatan bagi kami bila ibu/bapak berkenan hadir dalam resepsi pernikahan… dst”. Karena penghormatan tuan/nyonya rumah hanya diberikan kepada para pejabat atau orang–orang yang diberi label “Very Important Person”. Penghormatan yang tidak hanya sekedar akses tersendiri, tetapi juga dilengkapi dengan ruang makan khuses yang nyaman dengan kursi-kursi dan meja–meja makan yang tertata indah. Sementara undangan biasa, silakan berdesakan cari makan yang terkadang sudah kehabisan pula …. (oupfs …. Protes terus….!!! Hehehe ….)
Pintu tersebut rupanya akses yang disediakan untuk para VIP masuk menerobos antrian sehingga bisa langsung bersalaman dengan sohibul bait alias tuan/nyonya rumah. Ini juga bentuk diskriminasi dalam acara pernikahan yang agak bertentangan dengan kalimat penutup setiap undangan “ adalah sebuah kehormatan bagi kami bila ibu/bapak berkenan hadir dalam resepsi pernikahan… dst”. Karena penghormatan tuan/nyonya rumah hanya diberikan kepada para pejabat atau orang–orang yang diberi label “Very Important Person”. Penghormatan yang tidak hanya sekedar akses tersendiri, tetapi juga dilengkapi dengan ruang makan khuses yang nyaman dengan kursi-kursi dan meja–meja makan yang tertata indah. Sementara undangan biasa, silakan berdesakan cari makan yang terkadang sudah kehabisan pula …. (oupfs …. Protes terus….!!! Hehehe ….)
Untung saja, terdengar pemberitahuan bahwa undangan
diperkenankan masuk melalui pintu khusus tersebut untuk mencicipi hidang terlebih
dahulu, sambil menunggu antrian panjang. Maka masuklah kami melalui pintu tersebut,
walau agak dipelototi oleh abang–none penjaga pintu yang mungkin tidak mendengar
pengumuman tersebut. Mereka nggak tahu atau tepatnya belum merasakan bahwa daya tahan emak-emak berusia di atas 1/2 abad untuk berdiri lama, sudah jauh berkurang. Di dalam, kami bertemu dengan salah satu adik ibu mempelai
perempuan yang mempersilakan kami menyantap hidangan terlebih dahulu.
Eits….. tunggu dulu …,!!! Ruang utama begitu padat dan pada beberapa meja saji yang tersedia, .....antrinya mak ……!!! Gimana mau makan ......? Sementara waktu sudah menunjukkan jam 20.30. Sudah lewat banyak dari jadwal
rata–rata makan malam kami, ba’da maghrib. Maka menyingkirlah kami mencari
tempat sajian makanan yang agak luang, yang rupanya berada di sisi kiri ruang
utama yang mirip isi mangkuk cendol tersebut. Mencoba menikmati hidangan yang
…., dari sudut pandang cita rasa kuliner, kurang lezat untuk kelas hotel
berbintang. Dalam hal hidangan, rasanya belum ada yang mengalahkan hidangan di hotel Mulia–Senayan
deh…
Begitulah … aku yang biasanya mengambil foto sambil menikmati
suasana yang terbangun dan mengamati serta mengagumi ragam hias ruang resepsi menjadi agak
skeptis dengan suasana yang ramai dan padat. Nyaris tidak ada ruang gerak yang
nyaman tanpa harus bersentuhan dengan orang lain. Pengap ......!!! Akhirnya… usai menyantap hidangan
kami bergegas masih harus masuk dalam barisan antrian yang cukup panjang sampai
akhirnya sampai jugalah mengucapkan selamat kepada pengantin dan keluarganya.
Jujur saja …. andai yang mengundang bukan termasuk keluarga,
yang sudah merepotkan atau lebih tepat lagi sudah kurepotkan hingga harus “mengutus” anak
buahnya mengantarkan undangan tepat di hari penyelenggaraan akad nikah sebelum
acara resepsi tersbut, melihat antrian yang “aduhai” panjangnya itu, pasti aku
sudah menggamit lengan suami untuk pergi meninggalkan atau tepatnya
mengurungkan niat hadir dalam resepsi pernikahan.
Kejadian ini sudah sering terjadi saat kami diundang oleh beberapa kenalan yang kebetulan jadi pejabat. Tanpa mengurangi rasa hormat kami kepada pengundang, kami kemudian mencari tempat makan yang nyaman di sekitar lokasi resepsi dengan kondisi “salah kostum”. Seringkali, kami merasa kelaparan, karena harus berangkat begitu usai shalat mangrib tanpa sempat mengisi perut.
Ada juga beberapa pejabat yang cukup tahu diri, hanya mengundang “kenalan dekat” saja dalam jumlah yang terukur sehingga undangan merasa cukup nyaman dan tidak merasa menjadi cendol yang berdesakan.
Kejadian ini sudah sering terjadi saat kami diundang oleh beberapa kenalan yang kebetulan jadi pejabat. Tanpa mengurangi rasa hormat kami kepada pengundang, kami kemudian mencari tempat makan yang nyaman di sekitar lokasi resepsi dengan kondisi “salah kostum”. Seringkali, kami merasa kelaparan, karena harus berangkat begitu usai shalat mangrib tanpa sempat mengisi perut.
Ada juga beberapa pejabat yang cukup tahu diri, hanya mengundang “kenalan dekat” saja dalam jumlah yang terukur sehingga undangan merasa cukup nyaman dan tidak merasa menjadi cendol yang berdesakan.
***
Begitulah kebiasaan penyelenggaraan pesta pernikahan yang
dilakukan oleh orang–orang berpunya dan para pejabat di Indonesia. Mengundang
ribuan orang yang berarti minimum ada 2 kali jumlah undangan yang akan hadir,
tanpa memperhatikan berapa kapasitas ruang acara agar yang hadir merasa nyaman
dan tidak membuang waktu terlalu lama saat akan memberi ucapan selamat.
Tentu tidak semua yang menjadi pejabat atau orang kaya yang
melakukan hal tersebut. Beberapa kali aku menghadiri resepsi pernikahan
pengusaha/pejabat kondang yang suasananya cukup nyaman. Antrian saat memberikan
selamat, masih dalam batas toleransi. Mungkin mereka membuat beberapa acara,
sehingga undangannya tersebar … Tidak menumpuk pada saat resepsi. Bisa juga
sebagian undangan dialihkan karena pihak mempelai lelaki membuat acara “unduh
mantu”.
***
Baru saja aja yang nyeletuk …. Memberi komentar atas lokasi check in di Facebook "Bagaimana dengan resepsiku
pernikahanku puluhan tahun yang lalu?"
Seingatku … undangan yang disebar saat itu, tidak terlalu banyak. Kala
itu, gedung pertemuan yang biasa digunakan untuk acara resepsi pernikahan juga
tidak banyak. Yang paling sering digunakan orang karena relatif luas adalah Gedung
DKI–Blok G, Wisma Iskandarsyah di kawasan Kebayoran Baru dan Gedung Kartika Eka
Paksi – Jl. Gatot Subroto. Dua gedung terakhir ini, sekarang sudah hilang.
Kartika Eka Paksi, setelah dihancurkan dan digabung dengan Balai Kartini yang
bersebelahan sekarang (kalau tidak salah) tetap menyandang nama Balai Kartini,
tapi lebih sering digunakan untuk exhibition hall.
Wisma Iskandarsyah di kawasan Blok M, telah bersalin rupa menjadi deretan ruko.
Gedung DKI–Blok G sepertinya sudah jarang digunakan karena sekarang sudah
banyak gedung–gedung pertemuan mewah yang memang dibangun untuk tujuan itu. Hotel–hotel pun sudah dilengkapi dengan ball
room yang siap menampung ribuan undangan. Tinggal tuan rumah saja yang harus
pandai berhitung jumlah undangan yang pantas agar tamu masih merasa nyaman saat
hadir. Tidak antri terlalu panjang.
Sejujurnya … aku kurang terlalu suka dengan resepsi
pernikahan yang kuanggap berlebihan. Dulupun, mati–matian aku menolak resepsi
pernikahanku. Apalagi pernikahan itu memang terlalu mendadak dan kedua orang tuaku tidak tinggal di Indonesia. Tapi ke dua orangtuaku memberikan alasan telak yang tidak bisa dibantah.
Saat itu, pernikahan yang tidak dirayakan, sebagian besar dan umumnya karena
pengantin perempuan sudah hamil sebelum terjadinya pernikahan. Sehingga
pernikahanpun diselenggarakan hanya sebagai peresmian di atas kertas dan
umumnya para orang tua malu menyelenggarakan resepsi yang dihadiri umum. Tentu orangtuaku tidak ingin ada omongan negatif seperti itu.
Alasan itulah yang diajukan orangtuaku dan membuatku tidak
berkutik menolak. Beda dengan jaman sekarang …. Orangtua dan pengantin sudah tidak terlalu
risi dengan kondisi ini. Jaman memang sudah berubah.
Itu pula sebabnya, pada anak–anakku, sudah seringkali
kusampaikan bahwa syarat nikah untuk mereka hanya satu iman dan kemudian akad nikah
dalam suasana kekerabatan yang intim. Jadi mereka jangan berharap adanya
resepsi pernikahan besar–besaran yang akan diselenggarakan oleh kami, orangtuanya. Tidak elok …. Terasa kurang bermanfaat …
***
Minggu depan dan 2 minggu sesudahnya, adikku akan
menyelenggarakan pernikahan anak sulungnya. Acara pertama adalah akad nikah dan
resepsi pernikahan yang diselenggarakan pihak perempuan. Acara ke dua adalah
unduh mantu yang akan diselenggarakan adikku.
Mati–matian, kupengaruhi dia agar tidak perlu
menyelenggarakan unduh mantu. Bukan karena malas membantu dan menerimanya tinggal di rumah sehingga mempelai lelaki "turun" dari rumah peninggalan orangtua kami. Tetapi lebih karena pertimbangan praktis. Dana yang tersedia, lebih baik dialokasikan untuk
membuat rumah bagi anaknya di atas tanah yang sudah dibelinya beberapa tahun
yang lalu ….
“ Tapi …. aku kan ingin bikin pesta pernikahan anak….! Lagi
pula dananya sudah tersedia kok, jadi nggak mengganggu biaya rumah tangga”.
Begitu kilahnya.
Ya sudahlah …. Mau bilang apa …? Asal jangan berhutang saja …
Soal berhutang saat
menyelenggarakan pernikahan anak juga sudah bukan rahasia umum. Ini terjadi
bukan saja di desa atau kota kecil. Suamiku pernah bercerita bahwa salah satu
kenalannya berhutang ratusan juta demi menyelenggarakan resepsi pernikahan
anaknya di salah satu gedung pertemuan megah di Jakarta. Haiyaaaa……….
Lupakah bahwa bermegah–megah itu bertentangan dengan ajaran
Islam? Lebih konyol lagi kalau bermegah–megah sambil berhutang… Masya Allah ……!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar