Pagi itu, tepat libur nyepi yang baru lalu .... aku terbangun. Kesiangan setelah badanku terasa agak lelah setelah beberapa hari terserang bersin sebagai tanda awal akan mulai serangan virus influensa.
Malam sebelumnya, lelah setelah mengantar anak gadisku kembali ke asrama, badan yang terasa kurang nyaman itu kubawa tidur agak cepat.
Pagi itu ... ingat hari libur, usai menunaikan shalat subuh, aku memejamkan mata kembali sehingga tak terasa hari sudah menjelang jam 08.00. Agak kaget, karena aku sama sekali tidak bisa menggerakkan kaki. Semua persendian terasa sakit. Pada kaki dan tanganku banyak terdapat bercak/bintik merah seperti bintik-bintik penderita demam berdarah.
Pelan-pelan kugeser badanku menuju tepi tempat tidur dan kuusahakan berdiri, menuju kamar mandi. Sakit terasa pada tulang di sekujur tubuh. Kepalaku langsung berpikir bahwa aku terserang flu tulang, karena beberapa hari sebelumnya sudah didahului dengan bersin sepanjang waktu. Apalagi saat yang sama, suamiku sedang terserang flu
Karena beberapa tahun sebelumnya aku pernah terserang Demam Berdarah Dengue dan masih ingat betul apa ciri-ciri serangan DBD, maka aku memastikan bahwa aku bukan terserang DBD, tapi lebih dekat kepada flu yang menyerang persendian atau kusimpulkan saja flu tulang sebagaimana istilah yang pernah kudengar.
Usai membersihkan diri, kuraih mac book yang kebetulan masih ada di atas tempat tidur. Malam sebelumnya, aku asyik browsing sehingga mac book masih tergeletak di tempat tidur. Kuketik "flu tulang" dan mbah google mulai menunjukkan rujukan flu tulang, yang ternyata adalah ..... CHIKUNGUYA .... Kubaca satu persatu artikel yang ada. Dari situ aku sedikit memahami bahwa penyakit yang disebarkan oleh nyamuk aedes agepty, sama dengan nyamuk penyebar DBD, ini adalah sejenis self limited disease. Penyakit yang sebagaimana umumnya berbagai penyakit yang disebabkan oleh virus, akan sembuh dengan sendirinya. Tentu dengan prasyarat, selama penderita bisa dan membangun "pertahanan" diri dengan baik.
Yang agak mengerikan dari serangan chikunguya ini adalah panas tinggi yang harus kuderita selama 48jam serta sakit pada seluruh persendian tubuh sehingga menyulitkan gerak tubuh. Padahal .... salah satu anjuran untuk "melawan" kelumpuhannya adalah dengan banyak bergerak. Sementara itu ... panas tubuh yang sangat tinggi membuat mulut terasa kering, kehilangan nafsu makan karena lidah terasa sangat pahit. Beruntung, aku selalu memiliki persediaan buah-buahan yang cukup banyak di rumah, sehingga selama 3 hari, saat mulutku terasa pahit, buah-buahan menjadi santapan pengisi perut. Baru pada hari ke 4, saat badanku mulai terasa agak nyaman, kusempatkan membuat sendiri mie instant yang dicampur dengan berbagai jamur segar yang memang selalu tersedia di kulkas. Itulah makanan pertama yang dapat kusantap tuntas setelah selama 3 hari perutku hanya terisi buah-buahan saja.
Dari berbagai artikel yang kubaca, tidak ada satupun artikel yang bisa dirujuk sebagai cara pengobatan/penyembuhan flu tulang, kecuali istirahat, meningkatkan daya tahan tubuh dan olahraga/bergerak, disamping mengkonsumsi air minum.
Beberapa kenalan yang juga pernah menderita flu tulang menceritakan pengalamannya dan pada umumnya mengatakan bahwa sakit sendi tersebut (linu) masih terasa hingga berbulan-bulan sesudahnya. Bahkan mereka terpaksa membeli sepatu dengan ukuran lebih besar agar bisa masuk kantor bersepatu, karena bengkak di kaki.
Sementara itu, boss di kantor yang prihatin melihatku harus berjalan menggunakan sandal dengan kaki diseret menganjurkanku untuk pergi ke dokter yang dirujuknya sebagai ahli penyakit tropis, di salah satu rumah sakit terkenal di Jakarta. Kebetulan salah satu kenalan yang juga menderita penyakit chikunguya beberapa bulan yang lalu, sudah berkonsultasi kepada dokter tersebut. Kepadanya, kutanyakan apa yang diberikan dokter untuk mengatasi flu tulang yang dideritanya.
Ternyata ..... apa yang dianjurkan dokter, hampir sama dengan yang kulakukan sendiri di rumah, kecuali asupan vitamin D (kimiawi tentunya), yaitu ..... banyak memakan buah-buahan segar dan sayuran, banyak bergerak, minum air dan .... pada bagian yang sakit, diolesi pain killer semacam balsam/counter pain atau apalah ......
Sepertinya .... dokter merasa harus memberikan obat untuk pasien yang datang berobat hehehe .......
Tanpa mengurangi rasa hormat pada mereka yang berprofesi sebagai dokter, rasanya .... sekarang sudah tidak jamannya lagi untuk selalu memberikan obat semu (placebo) kepada pasien terutama pasien di perkotaan yang sudah lebih berpendidikan baik. Kalau suatu penyakit memang cukup ditangani/disembuhkan secara alamiah .... maka anjurkan saja kepada para pasiennya untuk misalnya cukup beristirahat, mengubah pola hidup/pola makan dan serta anjuran lainnya daripada memberikan obat-obatan placebo seperti vitamin baik oral maupun suntikan.
Cara-cara memelihara kondisi tubuh dengan cara "self healing" sudah sangat lazim dipraktekkan di negara-negara maju. Aku masih ingat, saat kehamilan anakku yang pertama lebih dari 30 tahun yang lalu, selama masa kehamilan, tidak sebutirpun vitamin yang diresepkan untuk dikonsumsi. Bahkan ketika test darah mengungkapkan adanya kandungan toxoplasma dalam tubuhku. Dokter hanya memberitahu "do and don't" baik dalam berinteraksi sosial maupun konsumsi makanan selama masa kehamilan. Termasuk kiat-kiat mengatur menu makanan. Bahkan ketika anakku sakit, dengan sangat hati-hati mereka memberikan obat. Alih-alih memberikan obat penurun panas, dokter lebih suka menyuruhku memandikan anak dengan merendamnya dalam bak air hangat. Untuk melonggarkan pernafasan kala si bayi sakit di musim dingin, dia akan menganjurkan menaruh baskom air yang sudah dicampur dengan minyak eucalyptus. Uap air beraroma eucalyptus inilah yang melegakan pernafasan kami sekeluarga.
Ini sangat berbeda dengan kehamilan ke dua. Sederetan obat dan vitamin selalu ditulis dokter setiap usai konsultasi...... yang kesemuanya tidak pernah kuambil di apotik karena aku tetap merujuk pada kehamilan pertama, walau jarak kehamilannya berbeda 15 tahun. Prinsip tidak mengkonsumsi obat-obatan/vitamin selama hamil, tetapi lebih kepada mengatur pola hidup dan pola makan.
Selama bertahun-tahun aku selalu menghindari konsumsi obat-obatan kimiawi dan menggantikannya dengan jahe, jeruk nipis dan madu untuk mengatasi keluhan-keluhan ringan seperti flu. Toh .... pernah juga, hingga 3 kali dalam waktu dan penyakit yang berbeda, aku terpaksa berhubungan dengan dokter di RS terkenal di Jakarta dan sekali lagi masuk UGD di RS dekat rumahku karena merasa tidak tahan dengan kondisi tubuh yang terasa sangat menurun.
Hasilnya......?
Ke tiga-tiganya mengakibatkan aku terkapar lebih parah lagi usai mengkonsumsi obat yang diberikan dokter. Ternyata lambung dan tubuhku tidak kuat menerima obat-obatan paten yang keras yang diberikan dokter. Baru setelah adikku, tempat dimana aku selalu berkonsultasi jarak jauh mengenai kondisi kesehatan keluarga, menyuruhku menghentikan obat-obat dari dokter RS tersebut, maka berangsur-angsur kesehatanku pulih kembali.
Bukan karena anti dokter, tetapi aku hanya ingin lebih rasional dalam berhubungan dengan dokter karena aku yang kenal kondisi tubuh dan tahu apa yang kubutuhkan. Dengan berbagai pengalaman tersebut, salahkah bila aku menganut prinsip self healing?
Malam sebelumnya, lelah setelah mengantar anak gadisku kembali ke asrama, badan yang terasa kurang nyaman itu kubawa tidur agak cepat.
Pagi itu ... ingat hari libur, usai menunaikan shalat subuh, aku memejamkan mata kembali sehingga tak terasa hari sudah menjelang jam 08.00. Agak kaget, karena aku sama sekali tidak bisa menggerakkan kaki. Semua persendian terasa sakit. Pada kaki dan tanganku banyak terdapat bercak/bintik merah seperti bintik-bintik penderita demam berdarah.
Pelan-pelan kugeser badanku menuju tepi tempat tidur dan kuusahakan berdiri, menuju kamar mandi. Sakit terasa pada tulang di sekujur tubuh. Kepalaku langsung berpikir bahwa aku terserang flu tulang, karena beberapa hari sebelumnya sudah didahului dengan bersin sepanjang waktu. Apalagi saat yang sama, suamiku sedang terserang flu
Karena beberapa tahun sebelumnya aku pernah terserang Demam Berdarah Dengue dan masih ingat betul apa ciri-ciri serangan DBD, maka aku memastikan bahwa aku bukan terserang DBD, tapi lebih dekat kepada flu yang menyerang persendian atau kusimpulkan saja flu tulang sebagaimana istilah yang pernah kudengar.
Usai membersihkan diri, kuraih mac book yang kebetulan masih ada di atas tempat tidur. Malam sebelumnya, aku asyik browsing sehingga mac book masih tergeletak di tempat tidur. Kuketik "flu tulang" dan mbah google mulai menunjukkan rujukan flu tulang, yang ternyata adalah ..... CHIKUNGUYA .... Kubaca satu persatu artikel yang ada. Dari situ aku sedikit memahami bahwa penyakit yang disebarkan oleh nyamuk aedes agepty, sama dengan nyamuk penyebar DBD, ini adalah sejenis self limited disease. Penyakit yang sebagaimana umumnya berbagai penyakit yang disebabkan oleh virus, akan sembuh dengan sendirinya. Tentu dengan prasyarat, selama penderita bisa dan membangun "pertahanan" diri dengan baik.
Yang agak mengerikan dari serangan chikunguya ini adalah panas tinggi yang harus kuderita selama 48jam serta sakit pada seluruh persendian tubuh sehingga menyulitkan gerak tubuh. Padahal .... salah satu anjuran untuk "melawan" kelumpuhannya adalah dengan banyak bergerak. Sementara itu ... panas tubuh yang sangat tinggi membuat mulut terasa kering, kehilangan nafsu makan karena lidah terasa sangat pahit. Beruntung, aku selalu memiliki persediaan buah-buahan yang cukup banyak di rumah, sehingga selama 3 hari, saat mulutku terasa pahit, buah-buahan menjadi santapan pengisi perut. Baru pada hari ke 4, saat badanku mulai terasa agak nyaman, kusempatkan membuat sendiri mie instant yang dicampur dengan berbagai jamur segar yang memang selalu tersedia di kulkas. Itulah makanan pertama yang dapat kusantap tuntas setelah selama 3 hari perutku hanya terisi buah-buahan saja.
Dari berbagai artikel yang kubaca, tidak ada satupun artikel yang bisa dirujuk sebagai cara pengobatan/penyembuhan flu tulang, kecuali istirahat, meningkatkan daya tahan tubuh dan olahraga/bergerak, disamping mengkonsumsi air minum.
Beberapa kenalan yang juga pernah menderita flu tulang menceritakan pengalamannya dan pada umumnya mengatakan bahwa sakit sendi tersebut (linu) masih terasa hingga berbulan-bulan sesudahnya. Bahkan mereka terpaksa membeli sepatu dengan ukuran lebih besar agar bisa masuk kantor bersepatu, karena bengkak di kaki.
Sementara itu, boss di kantor yang prihatin melihatku harus berjalan menggunakan sandal dengan kaki diseret menganjurkanku untuk pergi ke dokter yang dirujuknya sebagai ahli penyakit tropis, di salah satu rumah sakit terkenal di Jakarta. Kebetulan salah satu kenalan yang juga menderita penyakit chikunguya beberapa bulan yang lalu, sudah berkonsultasi kepada dokter tersebut. Kepadanya, kutanyakan apa yang diberikan dokter untuk mengatasi flu tulang yang dideritanya.
Ternyata ..... apa yang dianjurkan dokter, hampir sama dengan yang kulakukan sendiri di rumah, kecuali asupan vitamin D (kimiawi tentunya), yaitu ..... banyak memakan buah-buahan segar dan sayuran, banyak bergerak, minum air dan .... pada bagian yang sakit, diolesi pain killer semacam balsam/counter pain atau apalah ......
Sepertinya .... dokter merasa harus memberikan obat untuk pasien yang datang berobat hehehe .......
Tanpa mengurangi rasa hormat pada mereka yang berprofesi sebagai dokter, rasanya .... sekarang sudah tidak jamannya lagi untuk selalu memberikan obat semu (placebo) kepada pasien terutama pasien di perkotaan yang sudah lebih berpendidikan baik. Kalau suatu penyakit memang cukup ditangani/disembuhkan secara alamiah .... maka anjurkan saja kepada para pasiennya untuk misalnya cukup beristirahat, mengubah pola hidup/pola makan dan serta anjuran lainnya daripada memberikan obat-obatan placebo seperti vitamin baik oral maupun suntikan.
Cara-cara memelihara kondisi tubuh dengan cara "self healing" sudah sangat lazim dipraktekkan di negara-negara maju. Aku masih ingat, saat kehamilan anakku yang pertama lebih dari 30 tahun yang lalu, selama masa kehamilan, tidak sebutirpun vitamin yang diresepkan untuk dikonsumsi. Bahkan ketika test darah mengungkapkan adanya kandungan toxoplasma dalam tubuhku. Dokter hanya memberitahu "do and don't" baik dalam berinteraksi sosial maupun konsumsi makanan selama masa kehamilan. Termasuk kiat-kiat mengatur menu makanan. Bahkan ketika anakku sakit, dengan sangat hati-hati mereka memberikan obat. Alih-alih memberikan obat penurun panas, dokter lebih suka menyuruhku memandikan anak dengan merendamnya dalam bak air hangat. Untuk melonggarkan pernafasan kala si bayi sakit di musim dingin, dia akan menganjurkan menaruh baskom air yang sudah dicampur dengan minyak eucalyptus. Uap air beraroma eucalyptus inilah yang melegakan pernafasan kami sekeluarga.
Ini sangat berbeda dengan kehamilan ke dua. Sederetan obat dan vitamin selalu ditulis dokter setiap usai konsultasi...... yang kesemuanya tidak pernah kuambil di apotik karena aku tetap merujuk pada kehamilan pertama, walau jarak kehamilannya berbeda 15 tahun. Prinsip tidak mengkonsumsi obat-obatan/vitamin selama hamil, tetapi lebih kepada mengatur pola hidup dan pola makan.
Selama bertahun-tahun aku selalu menghindari konsumsi obat-obatan kimiawi dan menggantikannya dengan jahe, jeruk nipis dan madu untuk mengatasi keluhan-keluhan ringan seperti flu. Toh .... pernah juga, hingga 3 kali dalam waktu dan penyakit yang berbeda, aku terpaksa berhubungan dengan dokter di RS terkenal di Jakarta dan sekali lagi masuk UGD di RS dekat rumahku karena merasa tidak tahan dengan kondisi tubuh yang terasa sangat menurun.
Hasilnya......?
Ke tiga-tiganya mengakibatkan aku terkapar lebih parah lagi usai mengkonsumsi obat yang diberikan dokter. Ternyata lambung dan tubuhku tidak kuat menerima obat-obatan paten yang keras yang diberikan dokter. Baru setelah adikku, tempat dimana aku selalu berkonsultasi jarak jauh mengenai kondisi kesehatan keluarga, menyuruhku menghentikan obat-obat dari dokter RS tersebut, maka berangsur-angsur kesehatanku pulih kembali.
Bukan karena anti dokter, tetapi aku hanya ingin lebih rasional dalam berhubungan dengan dokter karena aku yang kenal kondisi tubuh dan tahu apa yang kubutuhkan. Dengan berbagai pengalaman tersebut, salahkah bila aku menganut prinsip self healing?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar