Para akhli demografi membedakan strata sosial masyarakat, minimal ada 3. Golongan Atas, golongan Menengah ... yang ini biasanya masih dibagi 2, yaitu golongan menengah Atas dan golongan menengah (saja). Yang terakhir adalah golongan berpenghasilan rendah. Definisinya pasti berdasarkan besarnya penghasilan mereka.
Saya bukan ahli demografi dan nggak terlalu memperhatikannya. Menurut saya, untuk kondisi kehidupan di Indonesia, penggolongan masyarakat berdasarkan penghasilan tidak mencerminkan kondisi rielnya. Yang saya ingat dan pernah baca di Tempo, orang yang membelanjakan USD 2 per hari atau sekitar Rp.550.000,- per bulan per orang sudah termasuk golongan menengah, walaupun golongan ini masih cukup rentan untuk "jatuh" ke golongan bawah/rendah alias miskin.
Coba deh perhatikan ... kalau 1 keluarga terdiri dari 4 orang, artinya mereka membelanjakan atau mengeluarkan biaya Rp.2.200.000,-/keluarga/bulan untuk seluruh kebutuhan hidupnya. Ini persis sebesar UMR yang pada awal tahun 2012 yang lalu dituntut buruh dan akhirnya disetujui pemerintah. Coba lihat, apakah kehidupan para buruh sudah sangat layak dan mereka sudah mampu mencukupi kebutuhan sandang pangannya secara layak. Lalu ... apakah ini juga berarti bahwa mereka yang membelanjakan kebutuhan rumah tangganya sebesar Rp.3.000.000,- per bulan per keluarga sudah termasuk golongan menengah?
Apapun dan bagaimanapun definisi mengenai golongan/strata sosial masyarakat, saya hanya ingin bercerita soal hubungan dan komunikasi dengan mereka, di luar petugas kantor (office boy, satpam, kurir dan supir) yang secara jujur harus diakui sangat terbatas.
***
Kehidupan sosial saya memang tidak terlalu banyak bersentuhan dengan masyarakat golongan bawah. Walau kami tinggal di kawasan/lingkungan perumahan rakyat, yang bukan berbentuk town house atau real estate, tetapi, masyarakat "asli" Betawi di lingkungan kami memang sudah agak "minggir". Berpindah tinggal di gang-gang di belakang rumah besar di sepanjang jalan setelah tanah-tanahnya yang luas di tepi jalan berpindah tangan kepada para pendatang. Masyarakat Betawi yang tidak memiliki tanah lagi akhirnya pindah ke pinggiran Jakarta seperti Meruyung atau Limo. Jadi, tidak terlihat lagi interaksi antara penduduk asli dengan pendatang seperti kami. Namun mereka tetap kompak di lingkungannya, yang terlihat dengan adanya rombongan ibu2 berseragam pengajian atau kegiatan-kegiatan sosial khas "kampung" lainnya. Yang pasti, kepengurusan RT/RW di lingkungan tempat tinggal kami tetap di tangan penduduk asli...
Kontak dan komunikasi yang rutin terjadi dengan masyarakat "kebanyakan" adalah dengan 2 orang petugas parkir Pondok Labu, penjual majalah/tabloid yang ke tiganya tidak saya ketahui namanya. Lalu ada bang Manan, Naih dan Yadi penjual sayur langganan, Aceng, yang bukan Aceng Fikri mantan bupati Garut peleceh perempuan, dengan bapaknya. Yang ini adalah penjual buah. Lalu ada mbak Ati yang dikejar-kejar majikannya untuk dinikahi dan si uda keduanya adalah bekerja di kios penjahit dan obras/neci. Kesemua orang yang saya sebut tadi berada di kawasan pasar Pondok Labu.
Di Lotte Wholesale Ciputat, ada banyak "fans" saya hehehe ...... Itu istilah yang diberikan suami saya kepada para petugas pengumpul trolley yang sangat ringan tangan membantu kami membawakan trolley belanjaan dan memindahkannya ke dalam mobil. Lucu juga kalau diingat, seringkali isi trolley yang tidak seberapa itu dilayani sekaligus oleh dua orang petugas.
Beberapa tahun yang lalu, kami juga sering makan malam, berupa nasi goreng Joger, kalau tidak salah di depan RS Setia Mitra, atau makan soto ayam di halaman kantor pos, masih di Jalan RS Fatmawati. Belakangan ini sudah agak jarang dilakukan karena macet di ruas jalan RS Fatmawati membuat kami agak malas keluar rumah.
Terakhir, ada pedagang kue semprong di Lotte Mart jalan RS Fatmawati, yang bekas kompleks Golden Trully/D'best. Setiap kali kami bertemu, rasanya miris sekali melihat tumpukan dagangannya yang masih penuh. Entah kenapa dia masih tetap setia berdagang kue semprong. Padahal ..... sudah jarang orang yang suka dengan makanan itu. Jangankan remaja ..., orangtua saja, sudah jarang yang membeli. Mereka tentu lebih suka jajanan semacam roti, donut atau fried chicken.
Mereka semua adalah orang-orang kecil dengan segala keunikan sifat, karakter dan penampilan. Saya patut mengagumi keuletan mereka mencari sesuap nasi, termasuk juga "driving force" nya untuk bertahan hidup di tengah belantara kehidupan yang keras di Jakarta. Mengumpulkan seribu demi seribu keuntungan dari setiap dagangannya. Rasanya... mereka jauh lebih bermartabat daripada para pengemis dan bahkan koruptor sekalipun.
***
Ramadhan kali ini, bagai berkah buat saya. Masih di tengah bulan Ramadhan, sepulang kantor, PRT di rumah lapor ...
"Bu ...., tadi Naih datang, bawa dodol, tape ketan hitam dan uli". katanya. Naih adalah asistennya bang Manan si tukang sayur. Dia sudah seringkali ke rumah membawakan pisang tanduk dari pekarangan rumah bang Manan.
Alhamdulillah ........., tape ketan dan uli adalah makanan khas Betawi yang saya kenal sejak kecil dulu dan menjadi salah satu makanan tradisional kesukaan saya. Tape ketan dan uli mengingatkan saya kepada almarhumah nenek saya dari pihak bapak, yang saya panggil mamah. Perempuan Menak asal Sunda, konon dari Warung Kondang - Cianjur, menikah dengan kakek saya yang Betawi itu. Setiap pertengahan bulan Ramadhan dulu, beliau selalu membuat penganan khas Betawi seperti Tape ketan+uli, geplak dan kue satu, disamping kue-kue kering yang disebut kue semprit, nastar, kastengel bahkan kue lapis legit dengan peralatan dan oven yang sangat sederhana. Persediaan untuk sajian lebaran.
"Masya Allah ......."
Kaget betul saya melihat kiriman Naih itu. 1 bungkus besar uli, ditambah dengan 2 buah dodol berukuran diameter 20cm dan 1 stoples tape ketan hitam. Keesokan harinya ... tetangga di ujung jalan masuk rumah saya, mengirimkan penganan. Keluarga Betawi itu, juga mengirim tape ketan + uli, buras dan dodol.
Andai jumlah penganan itu terkirim secukupnya saja, saya tentu dengan senang hati menghabiskannya. Tapi ....., akumulasi jumlah penganan khas Betawi itu sungguh luar biasa banyaknya. Terpaksa sebagian saya tawarkan kepada adik-adik saya yang mau membawanya ke rumah masing-masing. Begitu juga kepada PRT yang mau mudik. Saya sisakan secukupnya saja untuk disantap. Bukan tidak menghargai pemberian orang, tapi saya pikir, begitu lebih baik daripada mubazir.
Lain halnya dengan bang Manan. Hari Minggu 4 Agustus 2013 adalah hari terakhir saya belanja ke pasar Pondok Labu. Kepada bang Manan, saya memesan 10 papan petai dan 3kg kacang panjang untuk sayur pendamping ketupat lebaran, agar di antar pada hari Rabu pagi. Saya belum membayarnya, karena bang Manan sendiri belum tahu berapa harga sayuran tersebut. Biasanya mendekati Lebaran, harga bisa naik tak terkendali. Jadi kesepakatannya adalah ...., saya akan membayar saat sayur diantar ke rumah.
Rabu pagi, saya terlambat bangun. Kacang panjang pesanan saya ternyata sedang dipotong-potong adik ipar di dapur. Kepada Yudi, tukang kebun yang sedang bersiap-siap pulang kampung, saya tanyakan hal tersebut.
"Siapa yang antar sayur tadi, jam berapa?"
"Sekitar jam delapan bu ... Bang Naih yang antar!", sahutnya
"Kenapa nggak bangunin saya?"
"Kata bang Naih ..., sayur ini cuma disuruh antar ke rumah ibu aja ....bang Manan nggak ngasih harganya...!"
Halah ....... saya betul-betul kehilangan kata-kata mendengar jawaban Yudi.
Cepat saya ambil telpon genggam, Di situ ada nomor telpon bang Manan yang diberikannya beberapa minggu yang lalu. Saya tekan nomornya ...ada nada sambung, tapi tak diangkat. Berulang kali nomor tersebut di redialed tapi tetap tak diangkat. Padahal, saat nomor itu saya peroleh, sudah ditest dulu supaya tidak salah sambung.
Telpon bang Manan tidak diangkat dan memang tidak pernah diangkat. Dikirimi sms pun tak pernah dijawab. Ini sudah yang kedua kali saya menghubunginya melalui telpon dan selalu tidak diangkat.
Dan ...... inilah peristiwa paling konyol saat lebaran....... saya berhutang, entah berapa besarnya, kepada bang Manan untuk harga 3kg kacang panjang dan 10 papan petai yang kemudian menjadi sepanci sayur pelengkap ketupat lebaran.
Minal Aidin wal Faidzin
Taqobalallahu minna wa minkum
Selamat Idul Fitri 1434H
Saya bukan ahli demografi dan nggak terlalu memperhatikannya. Menurut saya, untuk kondisi kehidupan di Indonesia, penggolongan masyarakat berdasarkan penghasilan tidak mencerminkan kondisi rielnya. Yang saya ingat dan pernah baca di Tempo, orang yang membelanjakan USD 2 per hari atau sekitar Rp.550.000,- per bulan per orang sudah termasuk golongan menengah, walaupun golongan ini masih cukup rentan untuk "jatuh" ke golongan bawah/rendah alias miskin.
Coba deh perhatikan ... kalau 1 keluarga terdiri dari 4 orang, artinya mereka membelanjakan atau mengeluarkan biaya Rp.2.200.000,-/keluarga/bulan untuk seluruh kebutuhan hidupnya. Ini persis sebesar UMR yang pada awal tahun 2012 yang lalu dituntut buruh dan akhirnya disetujui pemerintah. Coba lihat, apakah kehidupan para buruh sudah sangat layak dan mereka sudah mampu mencukupi kebutuhan sandang pangannya secara layak. Lalu ... apakah ini juga berarti bahwa mereka yang membelanjakan kebutuhan rumah tangganya sebesar Rp.3.000.000,- per bulan per keluarga sudah termasuk golongan menengah?
Apapun dan bagaimanapun definisi mengenai golongan/strata sosial masyarakat, saya hanya ingin bercerita soal hubungan dan komunikasi dengan mereka, di luar petugas kantor (office boy, satpam, kurir dan supir) yang secara jujur harus diakui sangat terbatas.
***
Kehidupan sosial saya memang tidak terlalu banyak bersentuhan dengan masyarakat golongan bawah. Walau kami tinggal di kawasan/lingkungan perumahan rakyat, yang bukan berbentuk town house atau real estate, tetapi, masyarakat "asli" Betawi di lingkungan kami memang sudah agak "minggir". Berpindah tinggal di gang-gang di belakang rumah besar di sepanjang jalan setelah tanah-tanahnya yang luas di tepi jalan berpindah tangan kepada para pendatang. Masyarakat Betawi yang tidak memiliki tanah lagi akhirnya pindah ke pinggiran Jakarta seperti Meruyung atau Limo. Jadi, tidak terlihat lagi interaksi antara penduduk asli dengan pendatang seperti kami. Namun mereka tetap kompak di lingkungannya, yang terlihat dengan adanya rombongan ibu2 berseragam pengajian atau kegiatan-kegiatan sosial khas "kampung" lainnya. Yang pasti, kepengurusan RT/RW di lingkungan tempat tinggal kami tetap di tangan penduduk asli...
Kontak dan komunikasi yang rutin terjadi dengan masyarakat "kebanyakan" adalah dengan 2 orang petugas parkir Pondok Labu, penjual majalah/tabloid yang ke tiganya tidak saya ketahui namanya. Lalu ada bang Manan, Naih dan Yadi penjual sayur langganan, Aceng, yang bukan Aceng Fikri mantan bupati Garut peleceh perempuan, dengan bapaknya. Yang ini adalah penjual buah. Lalu ada mbak Ati yang dikejar-kejar majikannya untuk dinikahi dan si uda keduanya adalah bekerja di kios penjahit dan obras/neci. Kesemua orang yang saya sebut tadi berada di kawasan pasar Pondok Labu.
Di Lotte Wholesale Ciputat, ada banyak "fans" saya hehehe ...... Itu istilah yang diberikan suami saya kepada para petugas pengumpul trolley yang sangat ringan tangan membantu kami membawakan trolley belanjaan dan memindahkannya ke dalam mobil. Lucu juga kalau diingat, seringkali isi trolley yang tidak seberapa itu dilayani sekaligus oleh dua orang petugas.
Beberapa tahun yang lalu, kami juga sering makan malam, berupa nasi goreng Joger, kalau tidak salah di depan RS Setia Mitra, atau makan soto ayam di halaman kantor pos, masih di Jalan RS Fatmawati. Belakangan ini sudah agak jarang dilakukan karena macet di ruas jalan RS Fatmawati membuat kami agak malas keluar rumah.
Terakhir, ada pedagang kue semprong di Lotte Mart jalan RS Fatmawati, yang bekas kompleks Golden Trully/D'best. Setiap kali kami bertemu, rasanya miris sekali melihat tumpukan dagangannya yang masih penuh. Entah kenapa dia masih tetap setia berdagang kue semprong. Padahal ..... sudah jarang orang yang suka dengan makanan itu. Jangankan remaja ..., orangtua saja, sudah jarang yang membeli. Mereka tentu lebih suka jajanan semacam roti, donut atau fried chicken.
Mereka semua adalah orang-orang kecil dengan segala keunikan sifat, karakter dan penampilan. Saya patut mengagumi keuletan mereka mencari sesuap nasi, termasuk juga "driving force" nya untuk bertahan hidup di tengah belantara kehidupan yang keras di Jakarta. Mengumpulkan seribu demi seribu keuntungan dari setiap dagangannya. Rasanya... mereka jauh lebih bermartabat daripada para pengemis dan bahkan koruptor sekalipun.
***
Ramadhan kali ini, bagai berkah buat saya. Masih di tengah bulan Ramadhan, sepulang kantor, PRT di rumah lapor ...
"Bu ...., tadi Naih datang, bawa dodol, tape ketan hitam dan uli". katanya. Naih adalah asistennya bang Manan si tukang sayur. Dia sudah seringkali ke rumah membawakan pisang tanduk dari pekarangan rumah bang Manan.
Alhamdulillah ........., tape ketan dan uli adalah makanan khas Betawi yang saya kenal sejak kecil dulu dan menjadi salah satu makanan tradisional kesukaan saya. Tape ketan dan uli mengingatkan saya kepada almarhumah nenek saya dari pihak bapak, yang saya panggil mamah. Perempuan Menak asal Sunda, konon dari Warung Kondang - Cianjur, menikah dengan kakek saya yang Betawi itu. Setiap pertengahan bulan Ramadhan dulu, beliau selalu membuat penganan khas Betawi seperti Tape ketan+uli, geplak dan kue satu, disamping kue-kue kering yang disebut kue semprit, nastar, kastengel bahkan kue lapis legit dengan peralatan dan oven yang sangat sederhana. Persediaan untuk sajian lebaran.
"Masya Allah ......."
Kaget betul saya melihat kiriman Naih itu. 1 bungkus besar uli, ditambah dengan 2 buah dodol berukuran diameter 20cm dan 1 stoples tape ketan hitam. Keesokan harinya ... tetangga di ujung jalan masuk rumah saya, mengirimkan penganan. Keluarga Betawi itu, juga mengirim tape ketan + uli, buras dan dodol.
Andai jumlah penganan itu terkirim secukupnya saja, saya tentu dengan senang hati menghabiskannya. Tapi ....., akumulasi jumlah penganan khas Betawi itu sungguh luar biasa banyaknya. Terpaksa sebagian saya tawarkan kepada adik-adik saya yang mau membawanya ke rumah masing-masing. Begitu juga kepada PRT yang mau mudik. Saya sisakan secukupnya saja untuk disantap. Bukan tidak menghargai pemberian orang, tapi saya pikir, begitu lebih baik daripada mubazir.
Lain halnya dengan bang Manan. Hari Minggu 4 Agustus 2013 adalah hari terakhir saya belanja ke pasar Pondok Labu. Kepada bang Manan, saya memesan 10 papan petai dan 3kg kacang panjang untuk sayur pendamping ketupat lebaran, agar di antar pada hari Rabu pagi. Saya belum membayarnya, karena bang Manan sendiri belum tahu berapa harga sayuran tersebut. Biasanya mendekati Lebaran, harga bisa naik tak terkendali. Jadi kesepakatannya adalah ...., saya akan membayar saat sayur diantar ke rumah.
Rabu pagi, saya terlambat bangun. Kacang panjang pesanan saya ternyata sedang dipotong-potong adik ipar di dapur. Kepada Yudi, tukang kebun yang sedang bersiap-siap pulang kampung, saya tanyakan hal tersebut.
"Siapa yang antar sayur tadi, jam berapa?"
"Sekitar jam delapan bu ... Bang Naih yang antar!", sahutnya
"Kenapa nggak bangunin saya?"
"Kata bang Naih ..., sayur ini cuma disuruh antar ke rumah ibu aja ....bang Manan nggak ngasih harganya...!"
Halah ....... saya betul-betul kehilangan kata-kata mendengar jawaban Yudi.
Cepat saya ambil telpon genggam, Di situ ada nomor telpon bang Manan yang diberikannya beberapa minggu yang lalu. Saya tekan nomornya ...ada nada sambung, tapi tak diangkat. Berulang kali nomor tersebut di redialed tapi tetap tak diangkat. Padahal, saat nomor itu saya peroleh, sudah ditest dulu supaya tidak salah sambung.
Telpon bang Manan tidak diangkat dan memang tidak pernah diangkat. Dikirimi sms pun tak pernah dijawab. Ini sudah yang kedua kali saya menghubunginya melalui telpon dan selalu tidak diangkat.
Dan ...... inilah peristiwa paling konyol saat lebaran....... saya berhutang, entah berapa besarnya, kepada bang Manan untuk harga 3kg kacang panjang dan 10 papan petai yang kemudian menjadi sepanci sayur pelengkap ketupat lebaran.
Minal Aidin wal Faidzin
Taqobalallahu minna wa minkum
Selamat Idul Fitri 1434H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar