Tahun ini, dia minta ijin untuk kembali ke Jakarta agak lambat, karena dia ingin bertemu dengan kakaknya yang sudah beberapa tahun ini tinggal di Batam, mengikuti anak/menantunya yang sudah lebih dulu tinggal disana. Saya, mau tak mau mengijinkannya. Apalagi, si anak yang juga tinggal bersama kami, baru akan masuk sekolah pada hari Senin 19 Agustus 2013. Jadi ada alasan kuat bagi mereka untuk kembali, paling lambat Minggu 18 Agustus.
Ya sudahlah .... setahun sekali mereka beristirahat .... menjadi dirinya sendiri setelah 50 minggu lainnya bekerja hampir tiada henti dengan ruang lingkup antara dapur dan tempat cuci-jemur dan seminggu sekali menemani saya ke pasar.
Maka, untuk mengantisipasi keperluan lebaran, biasanya dia sudah menyiapkan piring - sendok, pyrex, gelas, mangkok dan kawan-kawannya untuk tamu selama lebaran. Dia sudah tahu persis, bahwa rumah kediaman saya, yang nota bene rumah peninggalan orangtua adalah tempat singgah, mudik dan pastinya tempat menginap 2 keluarga adik saya yang bermukim di Bandung. Mereka, biasanya akan tinggal di Jakarta antara 3 - 4 malam. Dua atau tiga malam sebelum D-day dan kembali ke Bandung pada tanggal 2 atau 3 Syawal.
Selain itu ...., sudah 2 kali lebaran ini, sejak ibu mertua saya meninggal dunia, kediaman kami seakan mengambil alih tempat pertemuan keluarga besar suami pada hari lebaran, 1 Syawal yang biasanya diselenggarakan di rumah ibu mertua.
Jadi .... 1 Syawal di tempat kami memang jadi sangat heboh. Siang hari dipenuhi keluarga besar suami yang paling tidak ada 10 pasang adik/kakak suami saya, termasuk kami sekeluarga ditambah sebagian keponakan-keponakan suami. Sekarang ditambah lagi dengan istri/suaminya masing-masing serta beberapa anak mereka yang menjadi "cucu" alias generasi ke 4, dihitung dari generasi ibu/bapak mertua. Untungnya ... ada tradisi potluck sehingga kami hanya menyediakan ketupat+sayur kacang panjang+opor ayam ditambah dengan apa yang sempat saya sediakan.
Malam hari, setelah shalat maghrib, giliran adik-adik saya yang berkumpul di rumah. Yang ini, lebih sedikit jumlahnya. Tahun ini hanya hadir 5 pasang suami-istri ditambah dengan 12 anak saja. Menu makannya standar saja .... rendang Padang, wajib ada. Selain sebagai sajian saat lebaran, dulu ibu saya selalu membekali anak2nya minimal 20 potong rendang yang setara dengan 1 kg daging mentah. Tradisi ini "terpaksa" saya lanjutkan juga, dengan harapan semoga rendang itu menjadi pengikat dan pengingat kehadiran almarhumah ibu kami karena rendang bisa dikatakan makanan kebangsaan keluarga kami. Masakan khas yang berasal dari ranah kelahiran dan negeri asal muasal nenek moyang ibu saya. Apalagi sajian ini memang hanya hadir saat lebaran saja.
Niat itu sempat terbersit dalam hati, yaitu saat ibu saya mulai sering mendapat gangguan dari komplikasi diabetesnya. Sayang ... niat itu belum sempat terlaksana hingga ibu saya meninggal dunia persis di hari terakhir bulan Sya'ban dua tahun lalu. Ada saja alasan untuk menunda-nunda pekerjaan itu. Alasan utamanya tentu karena membuat rendang walau sederhana caranya, tapi memakan waktu yang panjang untuk memasak hingga menghasilkan rendang berwarna hitam tanpa menghancurkan dagingnya serta, tentunya, tenaga yang besar untuk mengaduk masakan/daging agar tidak gosong dengan berbagai tips dan trick agar daging tidak hancur.
Jadi saya memang harus mengucap syukur, bahwasanya PRT kami cukup cekatan mewarisi kepandaian membuat rendang, bahkan tanpa campur tangan saya sekalipun, kecuali tentunya campur tangan dalam membeli bahan mentahnya saja dan tahun ini .... saya bertekad harus mampu membuat rendang asli Padang sebagaimana yang dicontohkan ibu saya.
Berkenaan dengan rendang ini pula, kemarin saat salah satu ipar suami saya yang berasal dari Semarang berkenan membawakan rendang buatannya. Karenanya rendang dari dapur saya, tidak disajikan di atas meja. Bukan pelit ... tapi tentu dengan niat untuk menghargai masakannya yang tentu sudah dibuatnya dengan sangat hati-hati untuk mendekati rendang yang sesungguhnya. Selain itu agar tidak terjadi "persaingan" antar masakan sejenis.
Tapi .... memang masakan harus diinterpretasikan dan dimasak dengan cara dan dicicipi sebelumnya oleh orang yang mengetahui dengan persis selera dan original taste nya. Maka .... walau sama-sama dinamakan rendang ....., maka dengan mengucapkan permintaan maaf kepada kakak yang sudah bersusah payah memasaknya, rendangnya terpaksa disebut "rendang Jawa". Rendang yang dimasak dengan interpretasi selera kuliner Jawa.
buah rendang |
"Rendang Jawa banget .... manis dan ada rasa kayumanis"
Tapi ..... suami juga menambahkan bahwa rendang buatnya identik dengan buah rendang. Mungkin sekarang sudah menjadi buah langka. Seingat saya. buah rendang bentuknya bulat berdiameter 1cm bergetah. Pohonnya berdaun kecil agak kemerahan. Ini ingatan masa kecil saya
Warnanyapun agak berbeda .... kalau buatan PRT kami, warnanya coklat pekat dengan bumbu yang sarat/pekat dari santan kering, tampa tambahan bubuk kelapa sangrai yang sering ditambahkan orang untuk mempersingkat waktu masak tetapi tetap menghasilkan bumbu yang banyak.
Gila ...... kok ceritanya nglantur ke rendang ya....?
Nah ..... apa yang terjadi saat PRT pulang kampung untuk berlebaran? Yang sudah sangat pasti ... H -2 menjelang lebaran, saya harus membuat selongsong ketupat. Ngrepotin diri banget ya? Hehe .... iya ngrepotin diri sendiri karena di pasar sesungguhnya sudah ada selongsong siap pakai. Tapi .... saya kurang suka bentuknya karena agak gendut bagian bawahnya sehingga merepotkan saat membuat potongan ketupat yang besarnya konsisten. Saya lebih suka bentuk ketupat Padang yang bentuknya "belah ketupat sempurna" dengan ketebakan yang konsisten sehingga saat dibelah dan dipotong menghasilkan potongan ketupat yang konsisten besarnya.
H -1, pagi hari saya mulai mengisi selongsong ketupat dan memasaknya. Biasanya ketupat baru akan selesai dimasak dan diangkat, sesuai "pakem dan ajaran" ibu saya, setelah 8 jam dimasak, dihitung sejak airnye mendidih pertama kali. Kacang panjang untuk sayur ketupat, masih menurut pakem dan ajaran ibu saya, harus diiris tipis setebal 1mm saja. Nah .... urusan iris-mengiris kacang panjang dan petai, saya serahkan pada ipar atau adik saya, bila dia sudah tiba di Jakarta. Rempela ayam, biasanya sudah direbus PRT sebelum dia pulang kampung, jadi tinggal diiris tipis saja. Bumbu sudah beli siap pakai di pasar, dilabeli pula oleh PRT, sehingga memudahkan saya untuk menggunakannya.
Malam hari, usai buka puasa dan makan malam, tugas selanjutnya adalah membuat sayur kacang panjang dan opor ayam. Urusan mengangkat ketupat, bisa diserahkan kepada adik-adik lelaki yang kesemuanya cukup ringan tangan membantu pekerjaan rumah.
Kehebohan biasanya terjadi saat ada kekurangan peralatan dapur atau sayuran/bumbu. Maklum saja .... walau sudah disiapkan sesuai kebutuhan, selalu ada hal tak terduga. Maka ..... bingunglah sang nyonya rumah .... Namanya saja nyonya rumah .... "pemilik" rumah, di atas kertas ..... de jure .... tapi pada kenyataannya, dalam praktek dan de facto .... ternyata sang nyonya rumah KO saat PRT mudik. Dia tidak tahu dimana "spare" piring, sendok, gelas dan peralatan lainnya berada. Dimana bumbu ini-itu tersimpan ..... Bahkan sama sekali tidak tahu stop kontak mana untuk lampu ruang luar atau pompa air, sehingga kehebohan selalu dan pasti terjadi. Teriakan air mandi dari keran tidak mengalir karena ternyata air dalam tabung cadangan kosong karena kesalahan mematikan stop kontak lampu/pompa kerap terjadi.
Maklum saja ... penghuni rumah bertambah minimal 8 orang dari Bandung. Belum lagi keponakan lainnya yang tinggal di Jakartapun ikut bergabung menginap di rumah. Jadi suasana makin kacau balau.
D-day .... kehebohan pasti terjadi .... Untung ada ipar yang paling kecil rajin membantu di dapur untuk mencuci piring-piring menggunung saat keluarga suami berkumpul. Walau dilengkapi juga dengan piring/gelas plastik untuk makanan potluck dan minuman gelas/kotak, tetapi piring untuk makanan utama tetap menggunakan piring asli. Nggak tega rasanya membiarkan tamu makan dengan piring kertas atau styrofoam. Terasa kurang sopan dan tidak menghargai tamu.
Lebaran kali ini saya tidak membuat ketupat terlalu banyak. Targetnya, ketupat harus habis pada D-day. Kalaupun tersisa, cukuplah untuk dimakan hingga waktu makan siang di hari ke 2. Nggak sehat dan sangat membosankan kalau berhari-hari kita memakan masakan yang sama.
Hari ke 2 lebaran, saya harus mulai mencuci pakaian. Kalau tidak ... entah berapa tinggi tumpukan pakaian yang harus dicuci .... Harus mulai membagi waktu untuk memasak sekedarnya, menyirami tanaman di halaman rumah, memberi makan ikan .... mensetrika pakaian, yang buat saya adalah pekerjaan yang paling menyebalkan.
PRT saya ini memang pandai. Bukan karena dia memang pandai memasak dan mengurus rumah, tetapi memang dari segi pendidikannya. Dia lulusan SMA di kampungnya. Pernah bekerja sebagai tenaga administratif di salah satu pabrik di kawasan Cimareme. Hanya nasiblah yang akhirnya membawanya bekerja menjadi PRT. Semoga anaknya yang sekarang masih bersekolah di SMK Grafika Jakarta kelak mampu mengangkat derajat ibunya ke tempat yang layak.
***
Mempekerjakan pembantu sementara bagi saya tidak menjadi solusi. Bukan karena biayanya yang juga relatif tinggi, tetapi saya memang tidak suka ada orang asing yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah. Dengan adanya berbagai konspirasi antara oknum PRT dengan komplotan perampok, saya tidak ingin membuka peluang tersebut.
Di samping alasan tersebut, bisalah dianggap bahwa bekerja saat PRT mudik merupakan kesempatan untuk lebih banyak bergerak, menguras tenaga dan keringat sehingga kelebihan makanan yang disantap pada saat merayakan Idul Fitri cepat larut dan tidak menyebabkan kegemukan.
Alasan lainnya adalah dengan kita mengerjakan pekerjaan tersebut, sekaligus merupakan ajang untuk mendidik anak-anak agar mereka lebih menghargai pekerjaan rumah tangga. Menghargai jerih lelah para PRT sehingga kita mampu dan mau menghargai mereka sebagaimana layaknya kita ingin diperlakukan oleh perusahaan/instansi tempat kita bekerja. Itu teorinya .....
Tapi prakteknya ...... Alamak .... pusing tujuh keliling. Badan rasanya pegal-pegal dan tulang belulang terasa seperti mau rontok... Betul-betul harus tabah sampai akhir .... Mungkin memang begitulah apa yang dirasakan oleh para PRT. Tabah sampai akhir....
Maka ..... nikmati saja suasana hari-hari tanpa pembantu .... dan kita akan bisa merasakannya
فَبِأَيِّ آلَاء رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
Maka ni’mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar