Minggu, 29 Desember 2013

Hari-hari terakhir - in memoriam my little sister

Senin 23 Desember 2013, adalah hari terakhir kerja yang diumumkan secara resmi oleh kantor tempat saya bekerja. Jam menunjukkan angka 10.18 saat pesan singkat dari Blackberry Messenger masuk. Dari adik lelaki saya :
"Aku di RS ruang ICU, kondisi adik kita sudah sangat menurun. Sepertinya sudah harus siap menghadapi kondisi yang terburuk". Begitu isi berita yang masuk.
"Lho ..... bukannya besok rencana operasi?".
"Ya, semula memang begitu, tapi sepertinya semua rencana berubah mendadak. Sekarang aku menuju HCU/ICU. Nanti kalau sudah beres, aku update lagi ya".
***

Adik perempuan saya yang paling kecil, atau nomor 4 dari 6 bersaudara, memang sudah lama diketahui menderita diabetes mellitus. Kalau tidak salah, konon sejak kelahiran anak keduanya. Tapi kami tidak begitu memperhatikannya, karena saat itu dia tinggal di Semarang. 

Saat mereka kembali ke Jakarta dan tinggal di daerah yang tidak terlalu jauh dari rumah ibu saya, kami juga tidak terlalu memperhatikan kondisi kesehatannya. Kelihatannya dia sehat-sehat saja dan penuh aktifitas. Jadi agen tupperware, antar-jemput anaknya sekolah termasuk juga mengurus rumahnya yang sebagian besar waktunya tidak dibantu dengan keberadaan pembantu rumah tangga.Sejak menikah, dia memang tidak bekerja lagi.

Hingga kemudian, entah kapan dimulai, dari yang semula hanya keluhan diabetes saja. Keluhan penyakit yang kemudian menjadi sebab dia menjadi pasien/penghuni tetap rumah sakit, adalah muntah berat yang tidak bisa tertahankan. Dokter mendiagnosa "ada masalah dengan kelenjar pankreas" dan tanpa mencari penyebab mengapa kelenjar pankreasnya "ngadat", langsung saja diberi "sekeranjang" obat-obatan untuk menjinakkan pancreas dan organ pencernaan yang bermasalah tersebut. Begitu berlangsung selama bertahun-tahun. Sekeranjang obat-obatan menjadi teman setia hidupnya.

Begitulah yang sempat terekam dalam ingatan saya, karena sejak saat itu, mungkin sekitar 8 - 10 tahun yang lalu, adik saya mulai menjadi pasien rawat inap yang paling setia di salah satu RS di wilayah selatan Jakarta. Secara bergurau, anaknya selalu menyebut RS sebagai "pesantren" tempat ibunya "berguru". Memang, sejak saat itu, hampir setiap 3 bulan sekali adik saya masuk RS untuk jangka waktu minimal satu minggu. Penyebabnya selalu masalah pencernaan, lambung dan usus. Disertai ikutannya; gula darah dan kreatininnya meningkat tinggi. 

Konon, setelah dilakukan endoscopy, dinding lambung dan ususnya terlihat penuh dengan parut luka sehingga "untuk menyembuhkannya" dokter  seringkali harus mengambil langkah "mengistirahatkan" fungsi seluruh organ pencernaannya dan mengambil alih peran pencernaan dengan mengganti asupan makanan melalui infus. Hal itu berlangsung cukup lama yang kemudian, berakibat organ pencernaan menjadi "malas bekerja". Mogok kerja sehingga untuk memulihkannya kepada keadaan normal, harus dilatih lagi mencerna makanan. Persis seperti bayi yang baru belajar makan makanan "padat".

Singkat kata.... setelah mondar-mandir rumah sakit dengan menghabiskan ratusan juta rupiah, bahkan mungkin lebih dari satu milyar, sebagai ongkos mondok "di pesantren", akhirnya diketahui bahwa sumber segala penyakitnya itu adalah tumor sebesar +19x10x10mm yang menekan syaraf kelenjar pankreas dan rongga mata. Akibatnya kelenjar pankreas tidak mampu memproduksi insulin dan akhirnya adik saya menderita diabetes mellitus, kerusakan organ pencernaan dan secara perlahan mengalami "kebutaan" akibat desakan tumor tersebut.

Maka, setelah konsultasi kesana-kemari, mencari cara terbaik, resiko minimal dan biaya yang "reasonable", diputuskan untuk menghubungi prof Padmo Santjojo yang sangat terkenal dengan operasi fenomenal pemisahan bayi kembar siam, untuk mengetahui bagaimana cara penanganan tumor tersebut. Jadilah, sekitar 6 tahun yang lalu, dalam kondisi yang cukup "buruk", adik saya "dibawa paksa" keluar dari RS di wilayah selatan Jakarta tersebut untuk kemudian dipindahkan ke RSCM, untuk ditangani oleh tim dokter disana. 

Setelah kondisinya berangsur baik, beberapa hari menjelang hari raya Idul Fitri, kalau tidak salah di bulan Oktober beberapa tahun yang lalu, operasi pengangkatan tumor dilaksanakan dan berhasil dengan baik. Walau sempat kritis, adik saya akhirnya bisa pulih. Mungkin karena dampak operasi, kondisi ginjalnya kemudian diketahui memburuk. Namun kondisi ini juga bisa jadi dikarenakan konsumsi obat-obatan secara terus-menerus dan diperparah dengan obat-obatan/anestesi selama proses operasi. 

Apapun juga hasilnya, yang terpenting, operasi berlangsung lancar dan dia terselamatkan, Tinggal saja memulihkan kondisi psikis pasca operasi dan pasca "sakit kronis" yang juga ternyata tidak begitu mudah dilalui baik bagi keluarga inti mereka maupun keluarga besar kami. Tentunya di samping kondisi kesehatannya yang tidak terlalu prima lagi. Artinya, di samping diabetes, fungsi ginjalnya menurun. Paling tidak, keluhan muntah dan kebutaan karena tertekannya syaraf pancreas di rongga otak, bisa mereda karena tumor penyebabnya sudah diangkat. 

Tahun berlalu walau dengan susah payah. Beragam masalah pasca operasi terjadi. Namun kehidupan tampaknya mulai berjalan "normal". Gangguan muntah hebat dan diabetes "mulai bisa teratasi". Komplikasi baru sebagai akibat konsumsi ragam obat-obatan dalam jangka waktu lama, yaitu fungsi ginjalnya yang melemah dan cenderung turun, mungkin hanya tinggal 30% atau bahkan, bisa jadi di bawah itu. adalah resiko pengobatan yang harus dijaga dengan baik. Sudah terbayang, cepat atau lambat cuci darah alias hemodialisis akan menjadi salah satu cara memperpanjang usianya atau cangkok ginjal yang pasti tidak akan mudah pula dilaksanakan. 

Begitulah rasanya, hingga sekitar 3 bulan yang lalu, adik saya mulai mengeluh sering sakit kepala dan muntah beratnya kambuh kembali. Bahkan saat hari raya Idul FItri 1344h bulan Agustus 2013 yang lalu, adik saya tidak kelihatan hadir berkumpul dengan keluarga di rumah peninggalan orangtua kami. Masuk rumah sakit, kemudian menjadi rutinitas kehidupan mereka kembali. 

Memang, saking seringnya mendengar beritanya masuk rumah sakit, membuat kami, kakak-kakaknya menjadi kurang sensitif terhadap perkembangan kesehatannya. Apalagi kelelahan usai bekerja dan kemacetan luar biasa di Jakarta, menjadi alasan kurangnya waktu bertemu, yang mau tidak mau harus dimaklumi siapapun yang tinggal di wilayah Jabodetabek. 

Mungkin kami masih beruntung. Masih ada adik lelaki saya yang begitu sigap, ringan tangan dan selalu siap sedia melakukan apapun yang kami minta untuk dilakukannya, sejauh dia tidak sedang sakit. Maklum juga ... usianya yang sudah di atas 50 tahun tentu sudah sangat rentan untuk dilanda penyakit degeneratif. Dialah yang menjadi satu-satunya sambungan silaturahim keluarga besar kami. Bukan hanya keluarga kami saja tetapi juga kepada keluarga besar kedua orangtua kami almarhum.
***
Senin 23 Desember 2013 itu. Pada hari terakhir masuk kantor di tahun 2013 itu, saya pulang lebih cepat agar masih ada waktu menjenguknya ke HCU/ICU. Tiba di RS, saya segera menuju HCU/ICU. Suami dan anak-anaknya ada semua disana. Ngeri saya melihat kondisi dan penampilannya. Seluruh badannya bengkak, sangat berbeda jauh dengan kondisi 1 bulan sebelumnya saat saya menjenguknya di ruang rawat umum di RS yang sama. 

Di lehernya sebelah kanan menjuntai pipa, entah untuk apa. Hampir di seluruh lehernya yang bengkak dan pucat itu terlihat titik-titik bekas tusukan jarum. Di bagian kiri ranjang tidur tempatnya berbaring terpasang kantong yang tersambung dengan pipa kateter ke kandung kemihnya. Masih ada cairan pekat. Tidak sampai 100ml.  

Dari hasil MRI, diketahui bahwa di rongga otaknya tumbuh tumor baru dengan dimensi yang hampir sama dengan yang terdahulu. Bedanya, tumor kali ini jenis ganas dengan "tangan" yang mencengkeram bola matanya, Itu sebabnya, sakit kepalanya kali ini tidak tertahankan dan karenanya adik saya sudah tidak mampu lagi membuka mata, saking sakitnya. Itu juga yang menyebabkan dokter memberi suntikan morphin, penghilang rasa sakit. Mungkin pula suntikan itu yang membawanya pada kondisi "tidak sadar" hingga akhir hayat.

Saat itu, napasnya sudah dibantu dengan oksigen. Botol infus bergelantungan di sekitar tempat tidur begitu juga dengan beragam alat monitor. Badannya pucat kekuningan dan dingin sekali. Sambil menggenggam tangannya, saya memintanya untuk pasrah, tawakal dan terus mengingat Allah SWT sambil berdzikir. Matanya membuka dan terlihat bola matanya bergerak, namun tidak ada reaksi sama sekali saat kita mendekatkan tangan di depan bola matanya. Dia sudah tidak bisa melihat apapun juga. Saya juga memintanya untuk menggenggam tangan saya, bila mendengar ucapan saya, tapi tidak terasa ada reaksi. Mungkin reaksinya terlalu lemah dan saya kurang peka untuk itu. 

Apa yang terjadi ... terjadilah .... Bila memang waktunya sudah dekat semoga Allah SWT memudahkan jalannya.
***

Selasa 24 Desember 2013, sore, usai shalat ashar yang agar terlambat karena kemacetan di hampir seluruh ruas jalan di Jakarta Selatan. Hari pertama libur tersebut, saya memang mengalokasikan waktu untuk menunaikan janji pada anak gadis saya yang sedang libur. Saya bergegas ke RS, untuk menjemput adik perempuan yang khusus datang menjenguk langsung dari Bandung. Agak lama kami berdua di ruang rawat HCU/ICU mengamati dan mendiskusikan kondisi adik kami. Adik saya yang kebetulan berprofesi dokter itu mengatakan, kondisinya sudah sangat berat. Sepertinya sudah masuk fase terminal. Kelihatannya jauh lebih berat dibandingkan dengan kondisi almarhumah ibu kami menjelang akhir hayatnya.

"Sepertinya, ini sudah masuk fase terminal. Paru-parunya sudah penuh cairan sehingga O2 tidak bisa terserap. Lihat deh ..., sama sekali tidak terlihat gerakan nafasnya. Kalau pompa ini di tekan, maka gerakan pompa ini terlihat sama dengan gerakan dada. Kalau dilepas, hilang pula gerakan dadanya. Padahal almarhumah mami, dulu, bernafas dengan paru-parunya sendiri, tenang dan teratur. Aku melihat dengan sangat jelas tarikan nafas terakhirnya", komentarnya sambil menekan bola pemompa O2
"Lalu ... bagaimana?"
"Tadi dokter jaga sudah mengusulkan untuk dipasang ventilator. Aku serahkan keputusan pada keluarga, walau secara medis, rasanya tidak terlalu banyak manfaat. Selama tumornya tidak diangkat, maka dia tidak bisa sembuh. Tapi kondisinya yang kritis ini juga sangat tidak memungkinkan untuk melaksanakan operasi pengangkatan tumor. Dokter anestesinya pasti menolak melakukan tindakan. Operasi ini seperti mengantar nyawa pada kematian dan dokter pasti tidak akan mau pasien meninggal di meja operasi. Menunggu kondisinya membaik, sama juga memberi waktu pada tumor yang ganas itu membesar. Akhirnya kita cuma adu cepat dengan perkembangan tumor. Lokasi tumornya juga sangat rawan. Pembesaran tumor akan mendesak syaraf gerak organ vital tubuhnya. Akhirnya ..., cepat atau lambat, akan tetap sama, meninggal dunia!"
"Lalu, apa fungsi ventilator?"
"Menggantikan perawat yang ogah2an mompa", sinis adik saya menjawab.
"Pasien punya pilihan, mau pasang ventilator atau manual dengan pompa seperti ini. Di RS tempatku praktek, kalau pasien memilih tidak memasang ventilator, maka satu perawat akan disiagakan membantu pernafasan pasien, bergantian sepanjang malam. Begitu SOPnya", sambungnya lagi.
"Berapa lama bisa bertahan hidup dengan ventilator? Satu bulan?"
"Entahlah ... tanpa mendahului takdir Allah SWT, rasanya hanya beberapa hari saja. Tidak lebih dari satu minggu. Kita lihat saja, kalau malam ini keluarganya memutuskan untuk memasang ventilator, besok (Rabu 25 Desember 2013), aku pulang ke Bandung. Di rumah nggak ada yang bantu urus bayi".

Adik saya ini memang baru mendapat cucu. Baru 1 minggu. Cucu perempuan lagi...! Tentu dia lebih suka pulang ke Bandung, mengurus cucu selama cuti akhir tahun ini, sambil praktek dan visit ke RS.
***

25 Desember 2013, setelah mengantar adik saya ke tempat pemberangkatan minibus jurusan Bandung, kami tinggal di rumah, sambil memonitor kondisi. 2 adik lelaki yang lain, saya suruh pergi memancing. Menghibur diri, daripada ikut stress memikirkan yang sedang dirawat di ICU, sambil tetap diingatkan agar sambil pulang dari pemancingan, mampir dulu ke RS, melihat perkembangan.

Malam itu, kami berencana makan malam bersama di luar, kebetulan ada keluarga adik bungsu saya, juga dari Bandung yang memanfaatkan waktu libur sekolah di Jakarta.
"Bagaimana perkembangan terakhir?", tanya saya melalui blackberry messenger. 
Saat itu jarum jam menunjukkan waktu sekitar jam 17.27, saat itu adik lelaki saya, sang komunikator, saya minta mampir ke RS dalam perjalanannya pulang ke rumah.
"Berangsur membaik..."
"Oh .... syukurlah ...."

Bersamaan dengan saya membaca pesan tersebut, adik ipar saya juga menerima pesan yang isinya sangat bertolak belakang. Kali ini pesan dari Evi, kakak dari ipar lelaki saya yang kebetulan saat itu sedang menjenguk di RS..
"Kondisi menurun, keluarga sudah dipanggil dokter untuk dijelaskan perkembangannya", begitu isi pesan yang diterima dari ipar adik saya.
"Lho ... kok beda banget sih pesannya? Yang satu bilang membaik, satu lagi memburuk! Coba cek lagi!", sahut saya sambil pergi untuk menuntaskan jahitan blus batik yang belum terselesaikan.

Adzan maghrib sayup-sayup masih terdengar baik dari TV maupun pengeras suara masjid, saat dering telpon di ruang keluarga, berbunyi.
"Yuli meninggal dunia tepat saat adzan mulai berkumandang, beberapa waktu yang lalu....", telpon singkat dari adik lelaki saya.

Inna lillahi wa inna illaihi rojiun ............



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...