Kamis, 12 Juni 2014

Kita dan bahasa asing

Indonesia
Perkenalan pertama saya dengan bahasa asing, terjadi saat saya duduk di kelas 4 SD di sebuah sekolah dasar swasta di kota kecil yang sejuk, terletak di tatar Parahyangan yang indah. Saat itu ... pembelajaran bahasa asing di sekolah dasar masih sangat tidak umum. Bahkan sekolah dasar negeri masih memberlakukan bahasa lokal/daerah sebagai bahasa pengantar dalam pengajaran seluruh mata pelajaran di kelas 1 hingga kelas 4. Baru di kelas 5 dan 6, murid diajar dengan bahasa pengantar bahasa nasional, bahasa Indonesia. Jadi "boro-boro" bahasa Inggris ... wong bahasa Indonesia saja tidak/belum menjadi bahasa pengantar resmi pembelajaran di SD kok. 

Itu sebabnya, walau SD Negeri letaknya hanya sekitar 100m dari rumah tempat kediaman kami saat itu, kedua orangtua saya, memasukkan saya ke sekolah swasta yang lokasinya lumayan jauh. Istimewanya ... murid Sekolah Swasta yang baik di berbagai kota manapun di Indonesia, umumnya berasal dari etnis Cina dan ini, sepertinya tetap berlangsung hingga sekarang. Bedanya dengan sekolah swasta abad ke 21, walau sama kualitasnya ... tanpa berminat untuk bicara soal SARA, sekolah swasta yang baik dan berlabel Islam hanya akan dimasuki hanya oleh murid yang beragama Islam.... Namun sekolah swasta berlabel Kristen/Katholik ... walau mayoritas muridnya beragama kristen/katholik, namun tetap ada yang beragama Islam, walau jumlahnya tentu minoritas. Mungkin ada sekitar 10% jumlahnya. Ini berarti murid beragama Islam harus konsekuen dengan pilihan sekolah untuk wajib ikut ibadah mingguan ke gereja. Lepas dari apakah di gereja dia hanya duduk diam saja dan tidak mengikuti ritual ibadah. Namun kehadiran atau masuk gereja pada jam pelajaran pertama 1 kali/minggu adalah suatu keharusan.

Nah ... kembali kepada pengajaran bahasa.
Jadi, definisi bahasa asing buat saya adalah bahasa selain bahasa ibu atau bahasa tutur sehari-hari. Bisa bahasa yang benar-benar asing, yaitu bahasa dari negeri luar atau bahasa daerah selain bahasa ibu yang kita kenal sejak lahir.

United Kingdom
Pada saat saya duduk di bangku SMP, masih di wilayah Jawa Barat, bahasa Sunda masih masuk ke dalam mata ajaran "wajib" ada dalam kurikulum. Bahasa Sunda "tinggi" dalam arti bukan bahasa sehari-hari menjadi santapan pelajaran minimal 2 jam pelajaran per minggu. Bayangkan saja ... murid yang "asli" Sunda saja kesulitan mengikuti pelajaran tersebut, apalagi saya. Repot betul menghafal pupuh kinanti dan beragam bahasa Sunda kelas tinggi yang seperti bahasa Jawa, memiliki 'tingkatan/derajat" penggunaannya.

Pelajaran bahasa Indonesia, walau masih tetap diperkenalkan pada tata bahasa, namun murid juga dilatih untuk "menulis", menuangkan isi pikiran dalam bentuk tulisan. Pelajaran atau lebih tepatnya tugas yang paling menyenangkan bagi sebagian orang dan menyebalkan bagi sebagian yang lain adalah mengarang. Tugas ini menjadi ciri khas "pengantar - pembuka" sesi pelajaran bahasa Indonesia. Setiap awal pelajaran setelah libur panjang, maka murid alias siswa diberi tugas mengarang bebas. Umumnya menceritakan kegiatan selama libur atau karangan bebas lainnya.

Tugas lainnya adalah kewajiban membaca buku kesusastraan yang masuk kategori " sastra klasik" Indonesia, seperti karangan-karangan dari Nur St Iskandar, Marah Rusli, STA alias Sutan Takdir Alisyahbana, Amin Dt Madjoindo, Utuy T Sontani, Pramoedia Ananta Toer, Hamka dan lainnya. Adalah suatu keberuntungan bagi saya, karena almarhumah ibu adalah penggemar kesusastraan sehingga buku-buku tersebut tersedia lengkap di rumah. Sayang ... tugas ayah yang selalu berpindah kota menyebabkan buku-buku sastra klasik Indonesia itu hilang tak berbekas, entah dimana.

Itu juga, mungkin sebab... siswa jaman "baheula" cukup akrab dengan kesusastraan klasik Indonesia, sementara siswa abad 21 ini lebih akrab dengan cerita model chick-lit alias chicken literature (adakah yang tahu mengapa disebut chicken literature?)

Bahasa asing pertama yang saya kenal tentu saja bahasa Inggris, dimulai dari kelas 4 SD hingga SMA. Pengenalan bahasa Inggris di sekolah lebih pada tata bahasa dan kesempatan untuk berbicara relatif tidak ada. Fasilitas laboratorium bahasa belum dan sangat tidak umum. Saya hampir yakin, bahkan hingga abad ke 21 ini belum semua sekolah terutama di tingkat SMA memiliki laboratorium bahasa. Bedanya, generasi sekarang atau minimal generasi yang lahir pada tahun 1980an masih memiliki kesempatan menonton film anak-anak tanpa dubbing sehingga mereka bisa belajar bahasa asing, terutama bahasa Inggris dengan pengucapan "asli" dari penutur bahasanya. Apalagi ditunjang dengan tempat kursus bahasa asing dan pada abad 21 ini banyak sekolah berlabel asing yang sangat menjamur dan "mensyaratkan" penggunaan bahasa asing/Inggris sebagai bahasa pengantar penuh. 

USA
Sekolah model begini banyak diminati orangtua "muda" perkotaan dari kalangan menengah atas. Itu sebabnya saat ini banyak ditemukan anak-anak sekolah terutama pada tingkat SD yang lebih mahir berbahasa Inggris daripada bahasa ibunya, walau kedua orangtua mereka asli Indonesia.

Bahasa asing ke 2 yang saya kenal adalah bahasa Jerman, saat duduk di bangku SMA. Pengajarnya seorang Frater berasal dari Jerman yang kebetulan juga menjadi pastor penanggung jawab paroki yang menaungi sekolah katholik di sebuah kota Sumatera. Saat itu, saya memang bersekolah di SMA Katholik hingga tamat SMA yang saja jalani di dua kota. Bahasa Jerman yang hanya selintas, sama sekali tidak berbekas di alam pikiran saya. Di kelas 2 SMA, siswa memang seolah wajib mengenal bahasa asing lainnya, selain bahasa Inggris dan sekolah saya "memilih" bahasa Jerman. 

Bahasa asing ke 3 yang saya kenal dan tetap akrab hingga kini adalah bahasa Perancis. Mungkin ini takdir dan jalan hidup saya. Saat baru beberapa bulan kuliah, saya pernah menulis "wish list", salah satunya adalah mengunjungi Paris "tanpa tujuan" pasti untuk apa. Bahasa Perancis kemudian menjadi wajib dipelajari ketika suami meminta saya cuti kuliah dan ikut "nyantri" di negerinya Valerie Giscard d'Estaing. Presiden Perancis kala itu. Apa boleh buatlah, demi suami saya mewajibkan diri bersengau-sengau sambil stress luar biasa.

Stress pertama, ketika baru 3 bulan belajar seadanya di Jakarta, kami harus tinggal di asrama mahasiswa di suatu kota kecil sekitar 500km di sebelah barat daya Paris sebelum akhirnya tinggal di sebuah studio au rez de chaussée keluarga asli Perancis. Saat itu, hanya ada 3 orang Indonesia, satu di antaranya seorang dosen dari ITB, malah sudah hampir selesai thesis doktornya. Beragam pengalaman sedih dan lucu dialami gara-gara komunikasi yang kurang lancar. Satu yang paling saya ingat dan membekas adalah saat membeli tiket bus kota, dengan dialog yang masih saya ingat persis


Perancis
"Un billet de quinzaine s'il vous plaît!"
(Minta tiket 15 hari-an ..)
"Quoi ...?"
(apa?)
"Quinzaine ....!"
(15 hari-an)
"Repetez, s'il vous plaît ...!
(tolong ulangi)
"Quinzaine ....!"
(15 hari-an)
"Je ne comprends pas!"
(saya nggak ngerti)
"Quinzaine ....!"
(15 hari-an)
"Non .... desole madame ....!"
(maaf bu .....!)

Entah apa yang didengar penjual tiket bus itu, sampai dia tidak mengerti apa yang saya ucapkan. Sedih ... sebal .... ingin marah ..., tapi mau apalagi...? Saya sendiri berdiri di depan kios penjualan tiket. Untung tidak ada antrian di belakang... Sampai akhirnya timbul akal untuk menyebutkannya dengan angka yang artinya paling mendekati.
"Un billet de deux semaines, s'il vous plaît!"
("saya ingin tiket dua mingguan)
"Ah ..... c'est ça ce que vous vouliez dire ....!"
(ah .... itu yang anda maksud ...!)

Akhirnya ... mengerti juga dia, apa yang saya maksud ..... Tiket bus untuk 15 harian atau 2 mingguan. Hadooooohhhhh ...... 
Rupanya aksen pengucapan saya untuk kata Quinzaine (15an) sangat tidak tepat. Mungkin terdengar cempreng seperti aksen orang Asia pada umumnya.

Cerita tentang aksen pada pengucapan suatu kata memang tidak bisa lepas dari mulut setiap orang yang bukan penutur asli. Coba saja kita dengar.... Penutur bahasa Jawa sebagai bahasa ibu akan selalu memulai suatu kata dengan huruf N untuk kata yang dimulai dengan huruf D. Seperti misalnya kata "duwe" akan terdengar sebagai "nduwe" atau "delok" sebagai "ndelok" dan "deso" sebagai "ndeso".

Saya masih ingat, suatu hari, seorang mantan penjaga bagian souvenir di Toserba Sarinah-Thamrin yang menikah dengan guru matematika berasal dari Perancis dan kemudian tinggal di suatu kota kecil tidak jauh dari Poitiers datang berkunjung. Setelah ngobrol panjang lebar, dia bercerita tentang resep-resep makanan sederhana dengan bahan makanan yang bisa kita peroleh di kota kecil itu. Yang paling berkesan dan tidak akan pernah terlupakan adalah saat dia mengucapkannya dalam bahasa Perancis yang sangat fasih tapi dalam aksen Jawa pedalaman yang sangat kental ...


"Alors ..... arroser avec nde l'eau bouillon....!" 
Ciri khas pengucapan huruf N di depan kata berawalan D sangat jelas terdengar ... Antara ingin tertawa karena terdengar lucu, tapi maklum ... karena, aksen pengucapan dalam bahasa ibunya memang sukar hilang.

Jadi ..... sebetulnya, tidak perlu minder dan juga tidak perlu mentertawakan orang yang dalam mengucapkan bahasa asing terdengar lucu dan kurang tepat. Dengarkan saja dengan baik bagaimana pengucapan orang-orang yang berasal dari Cina-Jepang-Korea-Vietnam tatkala berbahasa Inggris. Begitu juga mereka yang berasal dari bagian tengah  Afrika tatkala berbahasa Perancis, padahal sebagian dari mereka adalah negara Francophone

Kalau kita bisa memaklumi aksen ajaib para penutur bahasa asing yang berkulit bule itu saat berbicara dalam bahasa Indonesia, mengapa kita harus mentertawai aksen lokal bangsa Indonesia yang terdengar kurang pas pada saat bicara dalam bahasa asing? Bukankah itu suatu hal yang wajar ...?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...