Jumat, 13 Juni 2014

RAMADHAN JADUL 1

Awal tahun 60 an, sebelum coup d'etat tahun 1965, Jakarta masih sejuk, pepohonan, kebun sayur dan bahkan sawah masih mudah ditemui. Jangankan shopping mall yang modern, bus kotapun belum beroperasi. Kendaraan angkutan umum yang biasa digunakan warga kota hanya oplet dan becak. Tapi, kami lebih sering berjalan kaki saja. Studio TVRI yang hitam putih yang beroperasi sejak tahun 1963 baru memulai acaranya jam 18.00.

Walaupun masih jadoel banget, Ramadhan (dulu sebutan Ramadhan dan segala yang berbau bahasa Arab belum lazim digunakan ... Jadi orang lebih sering menggunakan istilah bulan puasa) merupakan bulan yang ditunggu-tunggu anak sekolah. Ayo tebak, kenapa.....?
Karena selama bulan puasa, sekolah tutup dan kami mendapat libur lebih dari satu bulan. Walaupun begitu, Jakarta yang sepi tidak bertambah sepi seperti hari-hari lebaran jaman sekarang. Maklumlah ... istilah mudik, belum dikenal orang secara luas, karena Jakarta betul-betul dihuni oleh orang Jakarta/Betawi. Kalaupun ada masyarakat yang berasal dari Jawa, Sumatera atau pulau-pulau lainnya, itupun terbatas pada kaum intelektual. Kecuali orang yang berasal dari Jawa, orang yang berasal dari Sumatera atau pulau lainnya, sepengetahuan saya tidak mengenal tradisi mudik. Kan pameo "Mangan ora mangan, Kumpul" hanya dikenal oleh masyarakat yang berasal dari Jawa saja.

Nah,sebelum balik ke bulan puasa lagi, saya mau cerita dulu keadaan kami ya...,
Dulu, saya tinggal di rumah nenek di bilangan Kayumanis I. Bapak saya anak satu-satunya yang hidup hingga berkeluarga dan beranak pinak dari 14 orang anak nenek saya. Rumah nenek saya termasuk rumah yang paling besar di lingkungannya. Halamannya luas (dilihat dari perspektif anak kecil). Ada 2 batang pohon rambutan yang selalu ramai ditunggu orang kampung untuk berbagi saat dipanen. Ada pohon jambu air, yang selalu saya panjat sepulang sekolah, pohon jeruk bali dan pohon mangga di belakang rumah, dekat sumur timba.

Rumah yang besar itu ditinggali kami berdelapan karena bapak saya punya anak 6 orang dan nenek. Rumah bergaya betawi itu memiliki 3 buah kamar. Sebagaimana lazimnya rumah betawi... selalu ada teras selebar rumah tempat bertenggernya dua set kursi tamu. Disinilah tempat pemilik rumah menerima tamu. 

Masuk ke dalam, ada ruang yang sama besar dan sama lebar dengan teras. Disini juga ada dua set sofa jadoel. Di ruang ini, saya dan anak-anak kampung kami biasa nonton tv. Maklum saja, waktu itu di kampung kami hanya ada beberapa gelintir rumah saja yang memiliki tv.

Lalu ada lorong menuju dapur, dimana kiri kanannya ada kamar tidur berderetan, lalu ruang makan dan dapur. Kalau rumah induk menggunakan lantai semen berwarna abu-abu kehijauan dengan border kuning, maka dapur yang letaknya lebih rendah dari rumah induk hanya berlantaikan tanah yang diperkeras.

Jaman dulu, dapur, kamar mandi dan sumur memang diletakkan di belakang rumah. Bagian rumah ini dianggap kotor jadi tidak lazim diletakkan di bagian depan seperti rumah-rumah jaman sekarang. Di dapur ada tempayan yang selalu diisi air sumur yang jernih dan dingin. Nenek saya biasa minum air tempayan yang segar itu, langsung tanpa dimasak dulu. Kami juga menyimpan air minum di dalam kendi. Segar alamiah.

Selama bulan puasa, selalu ada tetangga yang mendadak berjualan kolak atau asinan betawi. Asinannya khas, pakai daun tikim dan kuahnya bukan kuah kacang seperti asinan yang kita kenal sekarang. Lebih seperti asinan Bogor.

Depot es selalu ramai oleh orang yang membeli es-sirop. Biasanya anak-anak membawa rantang untuk membelinya. Biasanya penjual akan menuangkan sekitar 1/10 isi botol sirop (biasanya berwarna merah atau hijau), lalu diberi es batu. Nanti di rumah baru ditambah air. Maklum, jaman itu belum banyak orang yang memiliki kulkas. Hanya orang-orang kaya saja yang memilikinya. Siropnya juga belum memiliki macam-macam rasa seperti sirop sekarang.

Nah, kalau bulan puasa, anak-anak tetangga tidak bisa menonton tv di rumah. Ruang yang biasa kami gunakan untuk nonton tv sudah dibersihkan dari meja dan kursi. Berganti dengan lembaran tikar pandan yang lembut dan harum. Entah sejak kapan, rumah kami memang selalu digunakan sebagai tempat shalat tarawih bagi perempuan kampung kami. Imamnya nenek saya bergantian dengan mak Khadijah yang biasa kami panggil mak Dije atau mak Odah (Saodah) guru mengaji di kampung. Jadi selama bulan puasa, kami kuga libur mengaji.

Anak-anak seumuran saya (kelas 2 - 3 SD) biasanya hanya ikut-ikutan satu dua rakaat sambil cekikikan di shaf paling belakang.  Sesudahnya, biasanya kami keluar rumah, bermain di halaman. Biasanya main galasin, ular naga atau petak umpet hingga para ibu selesai tarawih. Seru, rame.... Malam-malam pada bulan puasa di kampung-kampung selalu ramai dengan anak-anak yang bermain, apalagi karena anak sekolah libur selama sebulan penuh.

Entah bagaimana kesenangan anak lelaki di mushala. Oh ya, istilah mushola juga baru sekarang saja populer. Dulu kami biasa menyebutkan sebagai Langgar, atau kalau di Sumatera Barat disebut surau. Yang paling menyenangkan adalah saat Nuzulul Qur'an, karena sebagian ibu-ibu yang Shalat Tarawih membawa kue-kue untuk disantap usai shalat. Karena, mereka shalat di rumah kami, maka saya sering bolak-balik ruang makan untuk "mencuri" kue dan dibagikan kepada teman-teman yang sudah menunggu di depan rumah. 

Pada malam-malam itu juga banyak pedagang keliling. Yang paling ditunggu adalah pedagang es krim. Es puter sebetulnya, karena dibuat dari santan. Di jualnya dalam angkring dan yang sangat khas, gelas sajinya adalah gelas berkaki dari plastik bening. Rasanya enak lho. Selain pedagang es krim, ada pedagang rebusan, yang dijual adalah kacang, ubi, singkong jagung dan pisang rebus, masih di letakkan pada dandang berisi air panas. Jadi masih ngebul hangat.

Yang namanya Fried Chicken, aduh jauh deh.... kebanyakan masyarakat jaman itu, hanya makan ayam (opor atau semur ayam) setahun sekali, ya saat lebaran saja. Mie baso juga belum dikenal umum. Kalaupun ada yang menjual, masyarakat Betawi tradisional tidak akan pernah membelinya. Itu makanan khas etnis Cina.... Maklum baso atau ba' dikonotasikan dengan babi. Ya jadi, haramlah dia. Padahal konon kabarnya baso tidak mungkin dibuat dari daging babi yang sangat berlemak. Tapi kuah kaldunya sangat mungkin dibuat dari kaldu babi sehingga gurih berminyak.

Nanti ya, saya cerita lagi tentang lebaran jadoel dan persiapannya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...