Sabtu, 14 Juni 2014

Ramadhan Jadul 2 - persiapan lebaran

Puasa di paruh pertama tahun 1960an dalam ingatan saya kegembiraan yang “suram”. Gembira karena kami semua menikmati libur panjang hampir selama 1,5 bulan sehingga setiap malam, selama orangtua menunaikan shalat tarawih, anak-anak bisa bermain di halaman rumah atau ditengah jalanan yang memang masih sepi dari kendaraan bermotor.
Namun, tidak bisa dipungkiri, kehidupan masa itu memang suram. Konon ekonomi Indonesia memang sudah menunjukkan arah kebangkrutan yang di kemudian hari baru saya tahu disebabkan oleh proyek-proyek yang disebut kaum Orba” sebagai proyek mercusuar. Namun di balik pengetahuan anak usia SD kelas 2 – 4, saat itu, saya hanya mengenangkannya melalui beberapa peristiwa sehari-hari.
Saat itu, Indonesia memang sedang memasuki periode konfrontasi dengan Malaysia. Coretan-coretan anti Malaysia seperti “Ganyang Malaysia”, Malaysia boneka Inggris atau Malaysia antek Inggris bertebaran dimana-mana. Pada malam hari yang temaram, bisa jadi tiba-tiba terdengar sirine yang dibarengi dengan suara sirine dan pemadaman lampu. Kalau sudah begini, maka anak-anak wajib masuk ke kolong tempat tidur atau dimana saja mencari perlindungan. Ini dinamakan latihan bila ada serangan udara pada malam hari.
Saya ingat sekali, pernah pada bulan-bulan tertentu, ayah saya membawa sekarung jagung pecah jatah pembagian kantor untuk makan kami serumah sebagai pengganti beras. Maka, hari-hari kemudian, selama sebulan kami akan menyantap nasi jagung tersebut. Di lain waktu, ayah membawa sekarung bulgur yang berwarna kecoklatan. Bagaimana rasanya…? Jujur saja, saya sudah lupa bagaimana rasa bulgur. Kalau rasa jagung, tentu masih tahu karena saya masih sering dan suka menyantap cenil lengkap dengan getuk dan jagungnya. Apalagi perkedel jagung manis merupakan salah satiu santapan kesukaan saya.
Nah bagaimana masyarakat Betawi mempersiapkan lebaran? Pada paruh kedua bulan puasa, ibu-ibu mulai mempersiapkan kue lebaran. Umumnya mereka membuat kue semprit atau nastar. Kalau nastar, tahu kan? Itu lho, kue kering umumnya berbentuk bulat kelereng yang isinya selai nanas. Ada juga yang berbentuk bulat panjang seperti biji kenari. Membuatnya agak repot, karena kita harus terlebih dahulu menyiapkan dan membuat selai nanas. Kastengel…? Aduh… jauh deh… itu makanan orang kaya, karena keju sudah pasti sukar diperoleh.
Kalau kue semprit, ada nggak yang tahu benda seperti apa itu? Sekarang kue semprit disebut cookies terbuat dari adonan tepung mentega, telur dan gula. Kenapa disebut semprit? KArena untuk mencetak kue, adonan dimasukkan ke dalam contong kertas minyak yang ujungnya sudah di sisipkan corong kecil yang ujungnya berlubang. Ada yang lubangnya datar, ada juga yang bersegi. KAlau sudah terisi sekitar ½ contong, maka ujung kertas akan dipelintir dan didorong agar kue keluar dari corong. Itu sebabnya disebut semprit. Mungkin diimaginasikan seperti saat kita meniup sempritan/peluit.
selongsong ketupat
Corong yang lubang datar akan membentuk kue yang lurus-lurus saja, sedang corong bersegi akan mengeluarkan adonan bergelombang seperti helai bunga. LAlu bagian tengahnya diberi bulatan kecil, biasanya adonan yang diberi coklat.
Karena saat itu belum ada mixer, maka suara kopyokan telur ramai bersahut-sahutan dari rumah kerumah membentuk simpony indah khas ramadhan di perkampungan. Kadang-kadang ada beberapa tetangga yang saling bergotong-royong saling menyumbang bagian bahan kue yang dimiliknya, lalu memasaknya bersama untuk kemudian dibagikan.
Nenek saya yang keturunan Sunda-Betawi, selalu membuat geplak, kue satu khas betawi dan kue lapis legit selain tape ketan dan uli. Makanan buatan nenek saya itu legit dan enak sekali. Apalagi tape ketan dan ulinya. Duh, rasanya sampai sekarang saya belum pernah menemukan tape ketan selezat buatannya..
Geplak adalah makanan kesukaan nenek saya. Diluar lebaran, beliau seringkali membuatnya. Tahukan anda apakah geplak itu? Makanan ini dibuat dari bahan tepung beras dan kelapa parut yang disangrai, lalu dimasukkan ke dalam cairan gula merah atau biasa disebut kinca. Diaduk secukupnya dengan porsi tepung beras yang sangat banyak sehingga membentuk adonan basah sekedarnya dan bisa dipipihkan. Sudah… begitu saja. Sederhana sekali pembuatannya. Tapi, walaupun sederhana, persiapannya cukup lama karena kita harus membuat sendiri tepung beras. Saya lebih suka makan tepung beras yang sudah tercampur kelapa parut itu lalu ditambahkan gula pasir. Ini disebut sagon. Enak lho…, karena bahan-bahannya alami dan tepung berasnyapun masih baru.
Ibu saya, biasanya sibuk menjahit. Beliau memang bisa menjahit baju perempuan. Jadi semua baju anak-anaknya adalah buatannya. Apalagi, pada saat itu belum ada industry pakaian jadi. Bahan bajunya, seperti juga beras, adalah berasal dari penukaran kupon. Sayang, saya nggak tahu bagaimana ayah saya memperoleh kupon tersebut. Apakah pembagian kantor atau membelinya. Dari pembagian itu, biasanya bisa dibuat baju untuk semua anak-anaknya. Jadi jangan heran kalau pada saat lebaran kami sekeluarga memakai baju seragam. Bukan karena disengaja seperti sekarang, tetapi dulu, karena itulah jatah yang diperoleh setiap keluarga.
Saya dan adik-adik hanya bisa memiliki baju dan sepatu baru saat lebaran. Biasanya ibu saya akan menjahitkan 3 buah rok seragam dengan adik-adik. Bukan hanya seragam motifnya tetapi juga modelnya. Begitu berlangsung hingga saya duduk di bangku kelas 6 SD, saat saya mulai melakukan protes-protes kecil agar tidak dibuat seragam lagi. Saat itu ibu saya mulai membedakan warna dan model baju namun bahannya tetap sama untuk menghindari rasa iri di antara kami.
Begitulah cari kami dan sebagian besar masyarakat Jakarta yang saat itu masih menjadi the big village, menyiapkan lebaran. Mungkin saat itu sudah terjadi perbedaan kelas sosial, sama seperti sekarang. Jurang pemisah antara kaum berpunya dan kaum proletar. Namun keterbatasan media informasi dan komunikasi menyebabkan dunia kami terbatas pada lingkungan kecil saja. Beruntungkah…? Entahlah! Setiap jaman memiliki problematikanya sendiri dan saya merasa kenikmatan menjalankan puasa pada masa kecil dulu, jauh lebih bermakna daripada apa yang dialami anak saya sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...