Bunga jatuh dari pohon peneduh |
19 tahun memang bukan rujukan waktu yang tepat. Ini lebih pada pilihan pribadi. Tentu dengan suatu alasan tertentu. Pertama karena negara atau tepatnya ibukota negara yang saya bandingkan, saya kunjungi terakhir kali pada bulan April 1996. Jadi tepatnya 19 tahun 1 bulan saya mengunjunginya kembali dan tentunya sangat terkejut dengan kemajuan yang amat sangat dan luar biasa pesatnya.
Alasan kedua .... ini karena beberapa tahun sebelum pak Harto dilengserkan pada Mei 1998, beliau menyatakan bahwa perekonomian Indonesia sudah siap sedia untuk lepas landas. Jujur, saya lupa kapan pertama kali pak Harto menyatakan Lepas Landas tersebut, maka saya memperkirakannya tahun 1996. Lagi-lagi tentu dengan suatu alasan.
Menurut telaah akademis tentang pembangunan ekonomi pada masa orde baru, tahun 1996 berada di tengah masa Pelita ke VI, dimana Pelita ke VI merupakan periode lima tahun pertama Pembangunan Jangka Panjang (25 tahunan) Indonesia tahap kedua yang ditetapkan sebagai tahap lepas landas.
1996 juga adalah tahun PEMILU yang kemudian tetap memilih Suharto sebagai presiden RI untuk yang ke 6 kalinya. Pemilu yang kemudian tetap memilih Suharto sebagai presiden RI untuk yang ke 6 kalinya dimana Indonesia menganggap diri sedang berada di puncak "kejayaan". Itu sebab, Suharto kemudian dengan percaya diri, menetapkan para kroni dan orang dekatnya pada jajaran executive, legislative dan judicative dan bahkan anaknyapun masuk dalam jajaran menteri.
Sayangnya optimisme Indonesia untuk lepas landas itu malah kandas dan harus terkubur dalam-dalam setelah negara-negara Asia mengalami krisis ekonomi yang mulai terasa pada bulan September-Oktober 1997. Krisis yang berlangsung terus menerus hingga akhirnya Suharto memutuskan untuk mengundurkan diri setelah dikhianati oleh para menteri dan orang-orang dekatnya.
Kembali pada cerita awal tersebut, negara yang ingin saya bandingkan dengan Indonesia adalah Thailand dan Bangkok sebagai ibukota negara yang dikenal dengan sebutan Siam, khususnya dalam kemajuan infrastruktur dan pariwisata.
***
Saya mengunjungi Bangkok untuk pertama kali, mungkin awal-awal tahun 1990an. Saat itu suami menjadi pembicara dalam sebuah seminar yang diselenggarakan di Universitas Chulalongkorn, di pusat kota Bangkok. Universitas ini menggunakan nama salah satu raja Siam yang meletakkan dasar pada Thailand modern. Kalau ada kesempatan berarti waktu dan dana, saya memang beberapa kali ikut suami seminar di luar Indonesia, ambil cuti dan berlibur ... Kalau jadwal seminar agak panjang, biasanya menyusul, menjelang kembali ke Jakarta. Atau berangkat bersama tetapi tidak mengikuti Ladies Program yang seringkali menyertai berbagai acara seminar atau raker/conference/congress.
tampak luar Suvarnabhumi Airport - Bangkok |
Bangkok di awal tahun 1990an terkenal sangat macet dan tentunya sering kebanjiran. Transportasi seperti biasa, hanya ada bus, taxi dan tuktuk. Tidak banyak berbeda dengan Jakarta saat itu. Bahkan Jakarta di tahun 1990 terasa lebih nyaman dibandingkan dengan Bangkok.
Perjalanan ke 2 ke Bangkok bulan April tahun 1996 dilakukan dalam rangka persiapan Sea Games tahun 1997 dan dilakukan dengan private jet dan hanya menginap semalam untuk kemudian dilanjutkan meninjau pembangunan airport baru Kuala Lumpur - Malaysia yang saat itu masih dalam tahap pembangunan. Perjalanan kedua memang tidak memberikan kesan apa-apa karena waktu yang terbatas sehingga tidak sempat memperhatikan kondisi/kemajuan Bangkok, Namun... perjalanan inilah yang saja jadikan tolok ukur untuk membandingkan kemajuan Bangkok/Thailand pada umumnya dengan apa yang ada di Indonesia. Untuk alasan yang sudah dijelaskan di awal tulisan ini
Bangkok dengan airport Don Muang nya yang sederhana, sama sekali tidak meninggalkan kesan mendalam, kecuali keindahan sutra, bunga, seni ukir buah dan kerajinan tangan/interior serta komposisi warna yang sangat saya kagumi. Ingatan juga dibatasi oleh MBK yang mirip pasar pagi, walau pernah mendengar bahwa Bangkok sudah berhasil mengatasi kemacetan, namun sama sekali tidak dapat membayangkan bagaimana keberhasilan yang sudah dilakukan pemerintah kota Bangkok untuk mengatasi keruwetan kota tersebut.
Menunggu bus di pick up area Suvarnabhumi Airport |
Pesawat GA 866 yang membawa 29 orang dalam rombongan kantor kami untuk berlibur di negeri Gajah Putih ini mendarat mulus di Suvarnabhumi airport. Nama yang agak familiar bagi masyarakat Indonesia ini digunakan sebagai nama airport baru.
Jadi ... ini adalah kunjungan ke 3 ke negara Siam yang dilakukan 19 tahun kemudian sehingga, menjadi wajar bila mata uzur ini agak terperangah melihat bentuk airport yang kalau tidak salah diresmikan sekitar 7 tahun yang lalu itu. Megah dan sangat modern dengan gaya arsitektur yang hampir mirip dengan Dubai International Airport
Walau sepertinya dibangun "di tengah kota", dalam arti begitu keluar dari airport, kita sudah langsung terkepung dengan bangunan-bangunan tinggi, gedung parkir bertingkat dan fasilitas lainnya, mirip suasana airport modern di negeri Eropa, namun suasananya sangat nyaman, bersih dan teratur.
Entry Gate |
Point pertama kelebihan Thailand ...... INFRASTRUKTUR sudah terbangun dengan baik ...... Walau belum seluruh jalan selesai, namun pekerjaannya sangat rapih. Nyaris tidak ada kotoran atau tumpukan material konstruksi yang mengganggu perjalanan. Satu point kelebihan Thailand dari prosedur pengerjaan proyek di Indonesia .....
penjual makanan di atas perahu |
Walau hanya pasar "biasa" .... floating market di Pattaya ini isinya adalah souvenir kerajinan tangan, kaus/fashion dan kuliner namun beragam atraksi di gelar di beberapa spot floating market dan bahkan ada 2 buah sampan berisi pemain musik dan penari meliuk-liuk menyusuri celah-celah antara bangunan.... dan yang paling menarik, untuk membantu pengunjung menyusuri lika-liku pasar terapung ini, pada lantainya diberi tanda panah berbeda warna untuk membantu pengunjung menelusuri floating market dan kembali ke arah pintu ke luar. Dengan demikian tidak akan ada penunjung yang tersesat.
Dari Floating Market, kami diajak photo stop di Hard Rock Cafe Pattaya. Hadeuh ..... ngapain ya mampir ke Hard Rock Cafe? Beli merchandise ....? Bikin pemilik merek dagangnya tambah kaya ya....?
Malam hari, kami melihat Alcazar Show .... Cabaret show yang penampilnya adalah para transgender yang luar biasa cantik dan trampil. Jenis tariannya pasti modern dance seperti yang biasa kita lihat di Lido atau Moulin Rouge di Paris. Atau di Indonesia pernah dipopulerkan oleh Guruh Soekarnoputra melalui Swara Mahardikka di tahun 1980 - 1990an dulu.
Hari ke 2, usai makan pagi di hotel acara dimulai dengan mengunjungi Laser Buddha, yaitu pahatan gambar Buddha pada bukit batu yang pada pembuatannya menggunakan sinar laser. Setelah peserta seperti biasa melepaskan "hajat narsis"nya, kami diajak ke Nongnooch Village untuk melihat modern dance/cabaret show dan elephant show yang sangat menarik. Sayangnya, kunjungan ke Nongnooch Village hanya untuk menyaksikan ke 2 atraksi tersebut dan tidak untuk menikmati koleksi tanaman dan penataan lingkungannya yang tidak kalah menarik.
Satu hal yang tidak dapat dilupakan dan sangat disesalkan adalah ......... di toilet umum bagian wanita ..... sekali lagi bagian WANITA, karena sudah diyakini dengan mata kepala berulang kali sebelum masuk ke toilet yang berada di area Elephant Show ini, terdapat ...... ayo apa ......??? Urinoir ..... tahu kan apa urinoir .....? Aneh dan bikin agak - agak risi melihat urinoir ada di toilet wanita ...
Usai mengunjungi Bee Honey shop dan dry food shop, bus langsung menuju Bangkok until makan malam, kali ini di restoran halal Sophia.
Hari ke 3 di Bangkok, wisata dimulai untuk mengunjungi Grand Palace, Wat Arun dan "berlabuh: di Ma Boon Krong alias MBK. Sebagian lagi memisahkan diri untuk melihat Museum Lilin Madam Toussauds. Ini adalah kunjungan ke 3 setelah pertama kali di London dan di Amsterdam jauh sebelumnya. Tentu pesohor yang ditampilkannya berbeda walau ada beberapa pesohor "tetap" yang mungkin bisa dilihat di berbagai museum lilin di segala penjuru dunia.
Akan halnya MBK dan lingkungan sekitarnya di tahun 2015, kondisinya sungguh mencengangkan. Bayangan MBK yang "tidak jauh" berbeda dengan pasar pagi Mangga Dua, pupus sudah, berganti dengan bangunan modern yang dihubungkan melalui jembatan layang super luas dan bersih ke mall lainnya yang berada di seberang jalan tempat kami menuju museum lilin tersebut. Keadaan di dalam MBK sendiri sudah jauh lebih rapih dan bersih.
Perjalanan wisata hari ke 3 ditutup dengan dinner cruise di Chaopraya river yang sangat heboh karena demikian padatnya peminat dinner cruise. Sementara hari terakhir di Bangkok, diisi dengan lagi... dan lagi - lagi belanja. Kali ini sasaran utamanya adalah pasar Chatuchak dan beberapa diantaranya memisahkan diri untuk belanja buah2an di sebuah pasar buah di seberang Chatuchak.
***
Pelajaran apa yang bisa kita peroleh dari Thailand, khususnya Bangkok di bidang pariwisata? Terlepas dari sejarah "terbentuknya citra" Pattaya sebagai kawasan wisata sex dan sensual bagi tentara USA selama perang Vietnam pada dekade 1960an, namun daya tarik pariwisata Thailand ternyata begitu besar. Kunjungan wisata ke Thailand baik ke Pattaya maupun Bangkok dan pasti juga ke beberapa daerah tujuan wisata lainnya seperti Phuket danChiang Mai, sangat besar dengan dukungan atraksi wisata dan infrastrukturnya yang prima. Tidak kalah dengan infrastruktur dan fasilitas wisata termasuk yang terpenting adalah sanitasi lingkungan di negara maju.
Akan hal destinasi wisata, terutama wisata alam (asli), Indonesia tentu tidak ada duanya dan inilah kekuatan pariwisata Indonesia. Sayangnya .... di dalam negeri, akomodasi, infrastruktur, sanitasi lingkungan, dan pengelolaannya belum ditangani dengan baik. Sementara pemasaran ke luar negeri masih dan terlalu BALI oriented dan melupakan kekuatan kekuatan wisata lainnya.
Menjaring minat wisata asing berkunjung ke Indonesia, memerlukan perencanaan dan waktu yang panjang, seraya memulainya dengan perbaikan di dalam negeri; yaitu akomodasi, infrastruktur (tentu termasuk transportasi yang aman dan nyaman), sanitasi dan lainnya untuk kemudian secara bersama-sama memasarkannya di dalam maupun di luar negeri. Mental para aparat imigrasi, bea cukai serta pengelola bandara internasional juga harus diperbaiki.
Ah ... masih banyak kerja keras untuk meningkatkan daya tarik pariwisata Indonesia.... Masih panjang perjalanannya agar Indonesia menjadi daerah tujuan wisata alam yang mumpuni di kawasan katulistiwa .... Mampukah ...?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar