Rabu, 25 November 2015

Black FRIDAY 13 November 2015

13 November 2015, serangkaian serangan teroris terencana yang terdiri dari penembakan massal, bom bunuh diri dan penyanderaaan terjadi di Paris, Perancis dan Saint-Denis, kota pinggiran sebelah utara Paris. Sejak pukul 21:16 waktu setempat, enam penembakan massal dan tiga bom bunuh diri terjadi di berbagai tempat terpisah dekat Stade de France Saint Denis. Serangan paling mematikan terjadi di gedung teater Bataclan yang berlokasi di 50 Boulevard Voltaire, 75011 Paris dimana terjadi penyanderaan dan tembak-menembak antara pelaku dan polisi hingga berakhir pada pukul 00:58 tanggal 14 November.
Sedikitnya 129 orang tewas, 89 di antaranya di teater Bataclan. 352 orang lainnya cedera dalam serangan ini termasuk 99 penderita luka serius. Selain korban sipil, enam pelaku tewas dan pihak berwenang masih terus memburu pelaku lain.

Sebelumnya, pada bulan Januari 2015 yang lalu, Paris juga menerima serangan yang telah menewaskan 17 orang, termasuk warga sipil dan polisi. Sejak itu, sebetulnya pemerintah Perancis mulai meningkatkan kewaspadaan walau ternyata tidak mampu mendeteksi adanya serangan paling mematikan pada tanggal 13 Nopember 2015 tersebut. Akibat serangan beruntun tersebut, François Hollande, sang presiden mengumumkan keadaan darurat untuk pertama kalinya sejak kerusuhan 2005, dan menutup perbatasan Perancis untuk sementara. Jam malam diberlakukan di Paris untuk pertama kalinya sejak 1944.

Bagi mereka yang pernah tinggal di Perancis, khususnya Paris, serangan teroris berupa pengeboman, sesungguhnya bukanlah sesuatu yang aneh. Sudah sejak puluhan tahun yang lalu, negara dengan penduduk berkisar sekitar 64,6 juta jiwa berdasarkan sensus tahun 2010Perancis memang menjadi tempat yang "pas" bagi para teroris untuk mencuri perhatian "dunia". Mengapa? 

Maraknya kedatangan imigran di Perancis, yang sebagian besar berasal dari bekas negara jajahannya di benua Afrika, membuat Perancis menerima banyak permintaan untuk menjadi warga negaranya. Secara keseluruhan, setiap tahun ada lebih dari 100.000 pelamar menerima kewarganegaraan Perancis dan ini merupakan angka tertinggi di Eropa. Akibatnya, jumlah penduduk Perancis meningkat dari 64,6 juta pada tahun 2010 menjadi, 65,8 juta orang pada tahun 2013. Ada peningkatan sebesar 1,86% dalam 3 tahun dibanding dari dekade sebelumnya dimana pertumbuhan penduduk Perancis nyaris 0%.

Tidak heran bila di kota-kota besar Perancis, kita dengan mudah menemui beragam ras dan etnis penduduk. Kulit putih, kulit kuning, kulit hitam dan Arab bercampur baur dan kerap memicu masalah akibat perbedaan budaya dan kebiasaan. Namun secara umum, kondisi kehidupan dan interaksi penduduk dari beragam etnis dan ras di Perancis, dapat dikatakan relatif aman. Hampir tidak ada isu demografi yang benar-benar mengganggu. Hal ini didasari oleh pemikiran masyarakat Perancis yang menganggap bahwa semua warga negara Perancis harus diperlakukan dengan sama, tidak peduli ras dan agamanya. Salah satu sebabnya juga karena pemerintah Perancis mengeluarkan kebijakan bahwa Di Perancis hukum melarang untuk membuat dan mengumpulkan data statistik mengenai ras atau agama demi mencegah timbulnya isu yang disebabkan oleh perbedaan ras dan agama. 

Budaya politik Perancis sendiri dekat dengan prinsip sekularisme dan nasionalisme. Rakyat Perancis sangat mengagumi sejarah dan bangga atas eksistensi bangsanya di Eropa. Oleh karena itu, pertanyaan seperti "berapa banyak orang kulit hitam di Perancis?", "berapa banyak penganut Protestan?", "berapa jumlah orang asal Arab?", atau "di mana orang-orang Yahudi Perancis hidup?"  atau "apa agama anda?" tidak pernah dipertanyakan. Pengakuan kewarganegaraan berdasarkan paham "ius solis" atau siapa yang lahir di Perancis secara otomatis adalah orang Perancis dan menjadi sama atau sederajat dengan semua rekannya, dari manapun asalnya, menjadi sebab secara legal bahwa tidak ada diskriminasi dapat dibuat di Perancis hanya berdasarkan warna kulit atau keyakinan agama. Sesuai dengan prinsip  liberté - égalité - fraternité atau kebebasan - kesetaraan - persaudaraan

Tidak salah bila harian The New York Times menulis :

Prancis adalah penjelmaan semua hal yang dibenci oleh kaum fanatik agama : keceriaan hidup melalui hal-hal kecil yang tak terhitung : aroma secangkir kopi dan croissants di pagi hari, wanita-wanita cantik dengan rok mini yang tersenyum bebas di jalan, semerbak roti panas, berbagi sebotol champagne dengan sesama teman, percikan parfum yang menguar di udara, anak-anak yang bermain di taman Luxembourg, hak untuk tidak mempercayai satu tuhanpun, menggoda, merokok, dan menertawakan kalori, menghargai sex diluar nikah, pergi berlibur, hak untuk membaca buku apapun, pergi ke sekolah gratis, bermain, tertawa, bertengkar, mengejek rohaniwan juga politikus, untuk tidak mengkhawatirkan kehidupan sesudah mati. Tak ada satupun negara dibumi ini punya definisi hidup yang lebih baik daripada orang-orang Prancis. 

Dalam kondisi budaya dan keterbukaan seperti itu, sangatlah dipahami bahwa Perancis menjadi tempat favorit bagi para exile (pelarian politik) untuk menyusun kekuatan dan strategi politik tanpa gangguan baik dari lingkungan sekitar maupun pemerintah.
***

Pada era 1980 sampai dengan 1985, hampir setiap minggu, terjadi ledakan bom di Paris. Sasaran utama ledakan bom umumnya café, kantor-kantor "yang berbendera" negara tertentu atau kawasan tertentu tempat bermukim/berkumpul etnis/ras tertentu yang saat itu sedang bertikai. Misalnya saja Turki yang sedang "bertikai" dengan suku Kurdi (sampai sekarang juga masih belum terselesaikan...), kawasan permukimam atau tempat berkumpulnya kaum Yahudi, juga kerap menjadi sasaran teror bom. Atas nama perjuangan kemerdekaan, atau konflik agama/golongan ... Begitu juga perjuangan atau lebih tepatnya pertikaian yang terjadi di Libanon, sering menjadikan Paris sebagai tempat mengekpresikan perjuangannya agar dilihat dan didengar dunia. Beritanyapun selalu diliput dan menghiasi media televisi, koran maupun majalah ...
Dibandingkan dengan era 1980an, sebetulnya, sekarang Paris sudah relatif jauh lebih tenang dan aman..... Kecuali keributan pada beberapa tahun lalu yang melibatkan etnis kulit hitam/immigran dari Afrika, teror bom, keributan dan bahkan greve alias pemogokan, "jarang" terjadi... Hanya saja, karena pola komunikasi sudah berubah seiring dengan era kemajuan teknologi telekomunikasi serta berkembangnya jurnalistik independen dan blogger, berita apapun menyebar dengan mudahnya hanya dalam hitungan detik dan seringkali tanpa batas ataupun mengindahkan prinsip jurnalistik resmi berupa check and balance .... Siapapun merasa berhak meliput dan memberitakan apa yang dilihat atau apa yang dirasakan. Tidak peduli atau tidak pula merasa adanya suatu keharusan untuk mendalami atau mengetahui permasalahannya dengan lebih dalam. Maka, dunia seisinya serasa terkena teror pula ...

Inilah konsekuensi dan resiko kemajuan teknologi dan kebebasan berekspresi sehingga berita seringkali menjadi bias dan berlebihan. Dalam bahasa terangnya, kurang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Di sisi lain, dominasi teknologi dan media oleh pers barat juga membuat berita menjadi tidak seimbang. Referensi yang digunakan lebih mencerminkan sudut pandang serta orientasi politik barat dalam menganalisa dan menyimpulkan bahan pemberitaan. Jadi.... tidak mengherankan bila kepentingan dunia barat terganggu,  berita dengan sangat cepat menyebar dan mempengaruhi seluruh penjuru dunia. Sangat berbeda tatkala kepentingan dunia ketiga yang terganggu. Tidak ada atau hampir tidak ada media yang memberitakannya. Bahkan di negara-negara sesama dunia ketigapun tidak memberitakannya karena tidak ada rujukan yang digunakan
***

Berkenaan dengan black friday alias Vendredi noir 13 November 2015, yang ditengarai didalangi oleh ISIS, hal ini memberi dampak sangat buruk pada umat Islam bukan saja di Paris dan Perancis, tetapi di seluruh dunia. Stigma bahwa Islam identik dengan teroris semakin menguat. Ini tentu sangat tidak menyenangkan dan sangat bertentangan dengan ajaran Islam sebagai rahmatan lil alamin atau rahmat bagi seluruh alam semesta.

Rasanya ada yang salah dalam pemahaman agama terutama dalam implementasinya di kehidupan sehari-hari. Intensitas kehidupan beragama yang semakin meningkat, rupanya terbelah dalam beragam pemahaman. Ada yang menjalankan ajaran agama semata-mata hanya sebagai ritual dan seremonial. Atau seperti apa yang dikatakan seorang teman sebagai "pamer keshalihan. Tentu ada juga yang beragama dengan niat tulus semata-mata karena keimanannya.

Entah pengertian dan ajaran apa yang ditangkap oleh para militan dari agamanya sehingga keimanan yang berlebihan tersebut menjadi salah arah. Ajaran yang rahmatan lil alamin, karena dirasakan kebenarannya, ingin disebarkan ke seluruh alam dengan cara apapun. Dari sinilah mungkin timbul militansi sebagai akibat dari "rasa berkewajiban" untuk menegakkan ajaran agama yang dianggap paling benar dan ini terjadi pada semua agama.

Pengertian jihad kemudian menjadi kunci untuk menutupi mata hati nurani terhadap kejahatan kemanusiaan seperti pembunuhan manusia yang tidak berdosa. Padahal, sudah jelas bahwa Rasulullahpun pernah mengajarkan tata krama dalam berperang. Semacam do and don't yang sewajarnya dipatuhi oleh umat Islam.

Sebetulnya, bila kita ingin berjihad, tidak perlu pergi jauh, apalagi bergabung dengan isis . Ada banyak hal yang perlu diperangi mulai dari dalam diri sendiri. Bagaimana kita menjaga perilaku agar sesuai dengan tuntunan yang ada dalam al Qur'an maupun hadist. Atau tuntunan agama bagi masing-masing pemeluk agama lainnya. di sekitar kita  ....
Kalau mau jujur dan introspeksi, ada beragam masalah yang terjadi di negeri ini. Atau, kalau mau, mulailah dari diri sendiri. Sudahkah kita berperilaku baik, di dalam keluarga. Bagaimana hubungan kita dengan suami/istri, anak dan pembantu rumah tangga atau siapapun yang berada di dalam rumah. Lalu selama kita berada di luar rumah, yaitu kepada tetangga dan sesama manusia dan keluarga besar kita baik dari pihak suami/istri dan bahkan kepada orangtua kita sendiri. Tanpa disadari, seringkali perilaku atau perlakuan kita kepada mereka, terutama kepada orangtua, tidak selamanya menyenangkan hati mereka.

Tanyalah pada diri sendiri, apakah kita sudah berperilaku santun dan tidak mendzalimi sesama, selama dalam perjalanan ke kantor ataupun  di lingkungan pergaulan lainnya. Seringkali perilaku kita di jalan raya sama sekali tidak santun. Menyerobot jalur orang lain, seolah hanya kita sendiri yang tergesa-gesa.
Apakah, di lingkungan kerja, atau saat diberi kepercayaan oleh siapapun juga kita sudah mampu jujur dan amanah? Melaksanakan segala tugas dan tanggung jawab dengan sepenuh hati, tidak korupsi baik waktu, jabatan apalagi uang?
Apakah kita tidak pernah sadar bahwa orang seringkali menilai kita dari penampilan. Apakah kita berpenampilan yang sesuai dengan pendapatan yang kita miliki? Pada era hedonis dan materialistis ini, masyarakat seringkali berpenampilan sangat berlebihan, agar dianggap "masuk" dalam status sosial tertentu dan karenanya pamer akan apa yang dipakai...
Jihad yang sebenarnya adalah melawan nafsu syahwat yang dikuasai setan ...
Yang ada dalam diri sendiri ...
Jadi ...
Jangan hancurkan agamamu ...
Karena perilaku dan ketidakmampuanmu
Berjihad melawan angkara
Dalam otak dan jiwamu sender

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...