Entah mengapa, dalam perjalanan malam menjemput anak gadis kami dari kampus ... (dan ini sudah terjadi sejak pertama dia mulai kuliah), terbersit perbincangan mengenai anak-anak remaja yang lahir pada 10 tahun terakhir abad ke 20 dan generasi yang lahir pada awal abad ke 21, yaitu anak rekan sekerja maupun remaja-dewasa mula dalam rentang usia mahasiswa hingga mereka yang baru lulus 1-2 tahun. Jadi baru masuk dunia kerja.
Kalau diperhatikan, orientasi mereka, baik remaja maupun kedua orangtuanya, terutama mereka yang hidup di kota besar dan berasal dari hampir semua golongan, lebih pada materi atau bahasa jelasnya materialistis. Tentu akan banyak alasan dan teori yang diajukan mengapa generasi sekarang lebih berorientasi materi. Mulai dari kebutuhan hidup yang semakin meningkat karena memang ekspektasi dan gaya hidup (maunya) meningkat dengan orientasi menggapai kehidupan golongan di atas, sampai dengan kekhawatiran akan masa depan kelak, kalau sudah pensiun nanti dan banyak lagi .... Duh berat banget ya... baru mulai kerja, tapi pikirannya sudah jauh melambung... mempersiapkan nanti kalau pensiun, bagaimana memenuhi biaya hidup .....
Maka ..... penghasilan "dipatok" harus "sekian" .... harus punya ini-itu di rumah untuk kemudahan hidup, harus punya tabungan, asuransi pendidikan anak, asuransi kesehatan, asuransi jiwa dan lain - lain. Karena sudah lelah bekerja, tentu ada kebutuhan beristirahat dan istrirahat gaya abad ke 21, sudah tidak cukup lagi hanya sekedar ke kebun binatang atau Ancol... (tergantung status sosialnya). Sudah harus jalan-jalan ke luar negeri... seperti si anu yang foto-foto liburannya heboh diunggah di media sosial. Nggak mau kalah ah ..... Akibatnya, single income sudah tidak memungkinkan lagi untuk membiayai hidup ..... Maka ibu dan bapak harus bekerja mati-matian sepanjang hari ... Melepaskan pengasuhan anak kepada orang lain ... Padahal pada masa emas pertumbuhan anak, sebaiknya anak diasuh oleh orangtuanya sehingga "asupan rohani"nya bisa terkontrol dengan baik....
Yup .... selintas, nggak ada yang salah dengan hal itu.... tetapi kalau diperhatikan, rasanya ada kehidupan sosial-spiritual yang hilang. Waktu kebersamaan menjadi berkurang...., baik di rumah saat sarapan pagi maupun malam hari. Semua di buru waktu. Sarapan pagi seringkali harus dilakukan di dalam mobil .... Makan malam, dilakukan masing-masing karena lapar sudah mendera sementara pasangan atau anak tidak kunjung tiba di rumah. Banyak orang bilang, yang penting kualitas pertemuan, bukan kuantitas.... Tapi, bagaimana pertemuan akan berkualitas, kalau masing-masing sudah lelah dengan padatnya kegiatan atau masalah-masalah yang dihadapi setiap hari?
Di dunia lain yang berseberangan dengan dunia professional alias kaum pekerja, hiruk pikuk yang berkaitan dengan gaya hidup hedonistis dan materialitis tidak kalah hebohnya. Mereka yang termasuk dalam golongan elite penguasa dalam struktur pemerintahan (eksekutif, jucikatif dan legislatif) termasuk para keluarganya ternyata "tidak kuasa" pula lepas dari jeratan "life style". Lihat saja, betapa ramainya media sosial membicarakan gaya istri anggota legislatif menghabiskan uangnya .... entah uang negara atau uang pribadi... Berfoto layaknya anak baru gede yang ingin memamerkan kehebatan (gaya hidup)nya. Bahkan seorang siswa SMA dengan seenaknya membentak-bentak polisi seraya mengancam dan mengaku dirinya sebagai anak jendral.
Entah apa yang ada dalam benak mereka.... tapi satu yang pasti... Rasanya ada yang salah dalam pola pendidikan umum, baik pendidikan formal maupun informal termasuk pendidikan moral, etika dan agama di rumah. Mungkin kita tidak lagi mendidik yang artinya mencakup lebih mencakup pada moralitas, tetapi hanya menyentuh pengajaran saja yang hasilnya hanya dilihat dari sederetan angka rapor atau kelulusan. Itupun kalau hasil ulangan/ujiannya dilakukan dengan jujur. Jadi .... bagaimana sebetulnya pendidikan untuk manusia?
Sebagai orangtua, rasanya mereka akan lebih bangga bila anak-anaknya menurut/patuh pada arahan dan kemauan orangtuan dalam menunjukkan arah sukses di masa depan si anak dalam ukuran materi. Sekolah di fakultas favorit yang kelak menjanjikan posisi/gaji besar.... Begitu umumnya. Jarang ada orangtua yang memberikan kesempatan kepada anak untuk menjadikannya "bebas" jiwa dan raganya. Tidak terjerat pada kebutuhan materi, apalagi sampai diperbudak kebutuhan materi secara membabi buta. Tapi ..... bagaimana sebetulnya pendidikan yang membebaskan?
Pendidikan yang membebaskan sesungguhnya merupakan penyadaran tentang kemanusiaan yang bukan dari kaum penindas, melainkan dari diri sendiri. Maksud pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang diberikan kepada anak didik sesuai dengan perkembangan dan potensi yang dimiliki oleh anak didik agar tumbuh berkembang menjadi manusia yang merdeka.
Tugas orang tua memang mendapatkan amanat dari Tuhan untuk medidik anaknya agar menjadi orang yang baik dan bertakwa kepada-Nya seraya memperhatikan keinginan anak. Minimal ada kompromi antara dua kepentingan tersebut karena bagaimanapun juga, yang dipertaruhkan adalah masa depan anak. Dalam pendidikan yang tidak membebaskan, siswa tidak pernah dipandang sebagai pribadi yang mempunyai pilihan dan kreatifitas.
Siswa dipandang seperti benda yang siap menerima sederet dalil pengetahuan. Pengertian, pemahaman, dan kesadaran terhadap ilmu pengetahuan tidak menjadi hal penting. Lebih parah lagi, sistem ujian dengan pilihan majemuk, membuat siswa cenderung menghafal jawaban dibandingkan dengan "memahami" materi pengetahuan.
Berbeda dengan pendidikan yang membebaskan, anak diberi ruang untuk berdiskusi dan menyampaikan pendapat serta alasan-alasanya. Pasti akan melelahkan bagi guru dan orangtua dalam menghadapi anak-anak seperti itu. Harus siap dengan pertanyaan-pertanyan tak terduga. Tapi .... andaipun orangtua/guru tidak mampu menjawabnya ataupun tidak tahu jawabannya, akui saja untuk kemudian mencari jawaban bersama melalui serangkaian diskusi. Masalahnya ... secara tradisi, para senior (guru dan orangtua) cenderung "harus" merasa lebih tahu dan merasa akan kehilangan muka bila tidak tahu jawaban atau kalau ternyata si anak lebih menguasai masalah.
Pendidikan sebaiknya memang harus bertujuan agar manusia lebih tercerahkan, yang menumbuhkan kesadaran kritis serta mendorong kemampuan anak memliki kedalaman saat menafsirkan persoalan nyata dalam kehidupannya.
Sayangnya, dunia pendidikan di Indonesia saat ini tidak memanusiakan manusia, tetapi menganggapnya sebagai "tempat" mencurahkan pengetahuan atau hanya mengajar dengan tujuan mengubah manusia dari yang sebelumnya tidak tahu menjadi tahu atau dari belum bisa melakukan sesuatu menjadi bisa. Akibatnya, pendidikan model pengajaran begini hanya menciptakan manusia-manusia yang berfungsi seperti robot-robot yang hanya bekerja untuk materi. Mereka dididik menjadi pekerja yang sama sekali tidak mempunyai kebebasan. Mereka kehilangan sisi kemanusiaannya.
Apakah saya berhasil menerapkan pendidikan yang membebaskan pada anak-anak? Entahlah ..... Bisa ya... bisa juga tidak....
Ya.... kalau dilihat bagaimana dalam memutuskan segala sesuatu terutama yang berkaitan dengan kepentingan anak baik dalam kehidupan sehari-hari maupun penentuan pendidikan, kami, kedua orangtua harus beradu argumentasi dengan anak, sebelum mencapai suatu kesepakatan. Kesepakatan itupun belum tentu akan dijalankan sepenuh hati oleh si anak.
Kalau si anak hidup masih dalam "jangkauan" pengawasan orangtua, penerapan pilihan serta konsekuensi atas pilihan yang sudah disepakati masih bisa terawasi. tapi... kalau si anak hidup di luar jangkauan ... maka pelanggaran atas kesepakatan itu bisa saja terjadi... (sambil senyum kecut, ingat betapa si sulung "melanggar" kesepakatan pilihan jurusan kuliah S1 dengan pindah jurusan yang diminatinya serta bagaimana dia menentukan "dengan seenaknya" pilihan-pilihan hidupnya).
Di sisi lain, bisa saja orang menilai bahwa saya tidak berhasil .... Nah ketidak berhasilan ini tentu hanya bisa dijawab oleh anak-anak saya. Apakah saya sebagai orangtua, sudah memberikan pendidikan yang membebaskan mereka. Mungkin mereka akan bilang bahwa saya masih mengekang. Tapi ..... sebagai orangtua, tentu saya menginginkan yang terbaik buat anak-anak... versi orangtua tentunya.
Apapun juga ... di balik dari apa yang dilakukan, rasa sayang orangtua kepada anak, tidak akan pernah lekang oleh waktu.
Kalau diperhatikan, orientasi mereka, baik remaja maupun kedua orangtuanya, terutama mereka yang hidup di kota besar dan berasal dari hampir semua golongan, lebih pada materi atau bahasa jelasnya materialistis. Tentu akan banyak alasan dan teori yang diajukan mengapa generasi sekarang lebih berorientasi materi. Mulai dari kebutuhan hidup yang semakin meningkat karena memang ekspektasi dan gaya hidup (maunya) meningkat dengan orientasi menggapai kehidupan golongan di atas, sampai dengan kekhawatiran akan masa depan kelak, kalau sudah pensiun nanti dan banyak lagi .... Duh berat banget ya... baru mulai kerja, tapi pikirannya sudah jauh melambung... mempersiapkan nanti kalau pensiun, bagaimana memenuhi biaya hidup .....
Maka ..... penghasilan "dipatok" harus "sekian" .... harus punya ini-itu di rumah untuk kemudahan hidup, harus punya tabungan, asuransi pendidikan anak, asuransi kesehatan, asuransi jiwa dan lain - lain. Karena sudah lelah bekerja, tentu ada kebutuhan beristirahat dan istrirahat gaya abad ke 21, sudah tidak cukup lagi hanya sekedar ke kebun binatang atau Ancol... (tergantung status sosialnya). Sudah harus jalan-jalan ke luar negeri... seperti si anu yang foto-foto liburannya heboh diunggah di media sosial. Nggak mau kalah ah ..... Akibatnya, single income sudah tidak memungkinkan lagi untuk membiayai hidup ..... Maka ibu dan bapak harus bekerja mati-matian sepanjang hari ... Melepaskan pengasuhan anak kepada orang lain ... Padahal pada masa emas pertumbuhan anak, sebaiknya anak diasuh oleh orangtuanya sehingga "asupan rohani"nya bisa terkontrol dengan baik....
Yup .... selintas, nggak ada yang salah dengan hal itu.... tetapi kalau diperhatikan, rasanya ada kehidupan sosial-spiritual yang hilang. Waktu kebersamaan menjadi berkurang...., baik di rumah saat sarapan pagi maupun malam hari. Semua di buru waktu. Sarapan pagi seringkali harus dilakukan di dalam mobil .... Makan malam, dilakukan masing-masing karena lapar sudah mendera sementara pasangan atau anak tidak kunjung tiba di rumah. Banyak orang bilang, yang penting kualitas pertemuan, bukan kuantitas.... Tapi, bagaimana pertemuan akan berkualitas, kalau masing-masing sudah lelah dengan padatnya kegiatan atau masalah-masalah yang dihadapi setiap hari?
Di dunia lain yang berseberangan dengan dunia professional alias kaum pekerja, hiruk pikuk yang berkaitan dengan gaya hidup hedonistis dan materialitis tidak kalah hebohnya. Mereka yang termasuk dalam golongan elite penguasa dalam struktur pemerintahan (eksekutif, jucikatif dan legislatif) termasuk para keluarganya ternyata "tidak kuasa" pula lepas dari jeratan "life style". Lihat saja, betapa ramainya media sosial membicarakan gaya istri anggota legislatif menghabiskan uangnya .... entah uang negara atau uang pribadi... Berfoto layaknya anak baru gede yang ingin memamerkan kehebatan (gaya hidup)nya. Bahkan seorang siswa SMA dengan seenaknya membentak-bentak polisi seraya mengancam dan mengaku dirinya sebagai anak jendral.
Entah apa yang ada dalam benak mereka.... tapi satu yang pasti... Rasanya ada yang salah dalam pola pendidikan umum, baik pendidikan formal maupun informal termasuk pendidikan moral, etika dan agama di rumah. Mungkin kita tidak lagi mendidik yang artinya mencakup lebih mencakup pada moralitas, tetapi hanya menyentuh pengajaran saja yang hasilnya hanya dilihat dari sederetan angka rapor atau kelulusan. Itupun kalau hasil ulangan/ujiannya dilakukan dengan jujur. Jadi .... bagaimana sebetulnya pendidikan untuk manusia?
Sebagai orangtua, rasanya mereka akan lebih bangga bila anak-anaknya menurut/patuh pada arahan dan kemauan orangtuan dalam menunjukkan arah sukses di masa depan si anak dalam ukuran materi. Sekolah di fakultas favorit yang kelak menjanjikan posisi/gaji besar.... Begitu umumnya. Jarang ada orangtua yang memberikan kesempatan kepada anak untuk menjadikannya "bebas" jiwa dan raganya. Tidak terjerat pada kebutuhan materi, apalagi sampai diperbudak kebutuhan materi secara membabi buta. Tapi ..... bagaimana sebetulnya pendidikan yang membebaskan?
Pendidikan yang membebaskan sesungguhnya merupakan penyadaran tentang kemanusiaan yang bukan dari kaum penindas, melainkan dari diri sendiri. Maksud pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang diberikan kepada anak didik sesuai dengan perkembangan dan potensi yang dimiliki oleh anak didik agar tumbuh berkembang menjadi manusia yang merdeka.
Tugas orang tua memang mendapatkan amanat dari Tuhan untuk medidik anaknya agar menjadi orang yang baik dan bertakwa kepada-Nya seraya memperhatikan keinginan anak. Minimal ada kompromi antara dua kepentingan tersebut karena bagaimanapun juga, yang dipertaruhkan adalah masa depan anak. Dalam pendidikan yang tidak membebaskan, siswa tidak pernah dipandang sebagai pribadi yang mempunyai pilihan dan kreatifitas.
Siswa dipandang seperti benda yang siap menerima sederet dalil pengetahuan. Pengertian, pemahaman, dan kesadaran terhadap ilmu pengetahuan tidak menjadi hal penting. Lebih parah lagi, sistem ujian dengan pilihan majemuk, membuat siswa cenderung menghafal jawaban dibandingkan dengan "memahami" materi pengetahuan.
Berbeda dengan pendidikan yang membebaskan, anak diberi ruang untuk berdiskusi dan menyampaikan pendapat serta alasan-alasanya. Pasti akan melelahkan bagi guru dan orangtua dalam menghadapi anak-anak seperti itu. Harus siap dengan pertanyaan-pertanyan tak terduga. Tapi .... andaipun orangtua/guru tidak mampu menjawabnya ataupun tidak tahu jawabannya, akui saja untuk kemudian mencari jawaban bersama melalui serangkaian diskusi. Masalahnya ... secara tradisi, para senior (guru dan orangtua) cenderung "harus" merasa lebih tahu dan merasa akan kehilangan muka bila tidak tahu jawaban atau kalau ternyata si anak lebih menguasai masalah.
Pendidikan sebaiknya memang harus bertujuan agar manusia lebih tercerahkan, yang menumbuhkan kesadaran kritis serta mendorong kemampuan anak memliki kedalaman saat menafsirkan persoalan nyata dalam kehidupannya.
Sayangnya, dunia pendidikan di Indonesia saat ini tidak memanusiakan manusia, tetapi menganggapnya sebagai "tempat" mencurahkan pengetahuan atau hanya mengajar dengan tujuan mengubah manusia dari yang sebelumnya tidak tahu menjadi tahu atau dari belum bisa melakukan sesuatu menjadi bisa. Akibatnya, pendidikan model pengajaran begini hanya menciptakan manusia-manusia yang berfungsi seperti robot-robot yang hanya bekerja untuk materi. Mereka dididik menjadi pekerja yang sama sekali tidak mempunyai kebebasan. Mereka kehilangan sisi kemanusiaannya.
Apakah saya berhasil menerapkan pendidikan yang membebaskan pada anak-anak? Entahlah ..... Bisa ya... bisa juga tidak....
Ya.... kalau dilihat bagaimana dalam memutuskan segala sesuatu terutama yang berkaitan dengan kepentingan anak baik dalam kehidupan sehari-hari maupun penentuan pendidikan, kami, kedua orangtua harus beradu argumentasi dengan anak, sebelum mencapai suatu kesepakatan. Kesepakatan itupun belum tentu akan dijalankan sepenuh hati oleh si anak.
Kalau si anak hidup masih dalam "jangkauan" pengawasan orangtua, penerapan pilihan serta konsekuensi atas pilihan yang sudah disepakati masih bisa terawasi. tapi... kalau si anak hidup di luar jangkauan ... maka pelanggaran atas kesepakatan itu bisa saja terjadi... (sambil senyum kecut, ingat betapa si sulung "melanggar" kesepakatan pilihan jurusan kuliah S1 dengan pindah jurusan yang diminatinya serta bagaimana dia menentukan "dengan seenaknya" pilihan-pilihan hidupnya).
Di sisi lain, bisa saja orang menilai bahwa saya tidak berhasil .... Nah ketidak berhasilan ini tentu hanya bisa dijawab oleh anak-anak saya. Apakah saya sebagai orangtua, sudah memberikan pendidikan yang membebaskan mereka. Mungkin mereka akan bilang bahwa saya masih mengekang. Tapi ..... sebagai orangtua, tentu saya menginginkan yang terbaik buat anak-anak... versi orangtua tentunya.
Apapun juga ... di balik dari apa yang dilakukan, rasa sayang orangtua kepada anak, tidak akan pernah lekang oleh waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar