Selama bulan Desember 2018 ini, berita tentang massifnya penyesatan opini terhadap paslon salah satu capres bertebaran baik di wag maupun media sosial lainnya. Alih-alih melakukan politik mencerdaskan masyarakat dalam menilai paslon, tim pemenangan sepertinya cenderung untuk membodohi masyarakat. Apalagi, masyarakat Indonesia memang masih masuk pada golongan "malas membaca" termasuk kalangan "terpelajar" sekalipun. Lebih suka mendengar dan percaya omongan orang dan gosip. Tidak melakukan cross check atau mencari rujukan lain sebagai penyeimbang berita, apalagi berpikir kritis atas berätta dan rujukan yang diterima/dibaca.
Menyimak berita-berita yang breeder baik di wag maupun media sosial dan kemudian kalau berpatokan dengan polling yang dilaksanakan secara sporadis, pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin hampir selalu mengungguli pasangan Prabowo - Sandiaga. Jangan terlena pada hasil polling karena berita tersebut kemudian juga disusul dengan tambahan berita lain yang menyatakan bahwa tingkat keterpilihan pasangan Prabowo Subianto - Sandiaga Uno bergerak naik, sementara keadaan sebaliknya terjadi pada paslon lawannya.
Ingat kasus pilkada DKI Jakarta 2017, saat polling menyatakan bahwa pasangan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok - Djarot Saiful Hidayat mengungguli ke 2 passion lainnya apalagi saat tersebut Ahok sedan dibelit kasus "penistaan agama" yang konon kabarnya di "endorse" oleh suatu kelompok/golongan pendukung salah satu paslon.
Menjelang pilpres 2019 yang akan datang, di banyak daerah, bahkan di Jakarta sendiri, dukungan kepada paslon no 2 begitu kuat. Hal ini bisa saja merupakan sisa-sisa dukungan saat pilkada DKI 2017 yang lalu, tetapi ada kecenderungan bahwa terjadi penyesatan opini terhadap program pemerataan pembangunan yang dilaksanakan pemerintah saat ini dan kondisi disruptif ekonomi yang melanda di seluruh dunia, yatu perubahan perilaku transaksi ekonomi sebagai akibat dari perkembangan teknologi.
Di sisi lain, program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah seperti harga BBM yang sama untuk seluruh Indonesia, pembangunan infrastruktur (jalan, bandar utara, dermaga kapal laut, waduk dll), program tax amnesti, program tol laut, akuisisi saham Freeport Indonesia dan lain-lain yang dilaksanakan oleh pemerintahan Joko Widodo, bukanlah program populis untuk menyenangkan masyarakat khususnya masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa yang terbiasa dimanjakan. Hasil pembangunan tersebut baru akan dan bisa dinikmati oleh generasi yang akan datang, paling cepat 10 tahun lagi. Itupun dengan kondisi kalau Jokowi masih mendapat kesempatan untuk menuntaskan pekerjaannya dengan menerima amanah utk 5 tahun yang akan datang.
Ternyata harus disadari bahwa bila merujuk pada teori Maslow, masyarakat Indonesia, termasuk sebagian besar elite, masih berada pada level terbawah, yaitu memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup dan pemenuhan kebutuhan dasar tersebut dilakukan secara berlebihan sehingga bertambah dengan keserakahan menumpuk kekayaan. Atau paling banter masih pada taraf memenuhi keamanan dan kenyamanan diri sediri Belum memikirkan kebutuhan yang lebih luas dan kebersamaan. Apalagi untu kemajuan bangsa dan negaranya. Itu sebab pemerataan pembangunan yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi ketimpangan antara wilayah Barat, terutama pembangunan di pulau Jawa dengan pembangunan di widayat timur, tidak/kurang diberikan apresiasi.
Selain itu, ada beragam program yang dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik, justru "diingkari" oleh pelayan publik itu sendiri. Itu juga yang menjadi sebab, kenapa 72% ASN-aparatur sipil negara yang dulu dikenal sebagai PNS alias pegawai negeri sipil tidak mendukung pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin. Ditengarai bahwa upaya peningkatan pelayanan publik yang dilakukan pemerintah justru tidak disukai para ASN karena akan mengurangi bahkan menyumbat sumber-sumber pendapatan non gaji yang mereka peroleh dari suap perijinan, mark-up - perjalanan dinas dan lain-lain. Dengan kata lain, para ASN, mungkin tidak seluruhnya, dan ternyata juga sebagian pengusaha, pemasok dan rekanan pemerintah lainnya yang sexual biasa "bermain" merasa dipersulit dengan diberlakukannya online procurement, e-budgeting dan lain-lain.
Begitulah kenyataan dan sebab-sebab mengapa selalu terjadi ketimpangan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa. Program populis, BLT dll, pembiaran mark-up, suap, spj fiktif ternyata efektif untuk mendulang suara kemenangan paslon presiden, karena Jawa merupakan pulau terpadat di indonesia .....
Sedih .....? Sudah pasti .... terutama bagi orang yang menginginkan masa depan Indonesia yang lebih baik dan mampu mengejar ketertinggalannya dari negara Asia lainnya.
Sedih .... Bukankah Cina, baru membuka diri kepada "dunia luar" sekitar tahun 1985, yaitu pada masa pemerintahanb Deng Xiau Ping. Lihatlah ...... dalam waktu "Hanna" sekitar 30 tahun saja, Cina sudah menjadi kekuatan ekonomi dunia yang memporak-porandakan dominasi Amerika dan kini, kekuatan ekonomi Cina ditakuti oleh hampir seluruh negara di dunia. Jepang, tidak lagi menjadi kekuatan ekonomi yang menggetarkan Barat, tergantikan oleh sang Naga yang kekuatannya demikian "mengerikan".
Begitu juga dengan kemajuan yang dilakukan Korea Selatan. Jangan heran bila dalam waktu tidak lama lagi, mungkin Indonesia akan terkejar oleh Vietnam, bila masyarakat Indonesia masih saja "berperang" antar mereka dan dengan menggunakan issue primordial yang sangat berpotensi memporak-porandakan NKRI, untuk memperebutkan kekuasaan, yang berarti akses kepada sumber kekayaan negeri semata.
Kalau kita memang ingin Indonesia maju di masa yang akan datang, tentu salah satu cara adalah memberikan kesempatan pada pemerintah saat ini untuk menyelesaikan pekerjaan menyiapkan segala sesuatu untuk "take off" menyusul ketertinggalan Indonesia dibandingkan negara lain. Membenahi infrastruktur pada periode pertama pemerintahannya dan pembenahan sumber daya manusia pada periode ke dua pemerintahan agar setelahnya bangsa Indonesia siap melaju meraih kemajuannya, siapapun kelak yang menjadi presiden.
Bukankah dulu kita selalu dibekali dengan peribahasa "Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian"?
Atau ....
kita memang sudah melupakan peribahasa tersebut karena sudah terlalu lama terlena dengan perilaku koruptif dan segala sessuata yang serba instant sehingga kepekaan kita sebagai elemen bangsa terhadap masalah ketimpangan pembangunan di Jawa dan pulau-pulau lainnya, semakin tumpul?
Mari introspeksi diri untuk kemajuan Indonesia.
Untuk pendukung pasangan Joko Widodo - Ma'ruf Amin, jangan terlena dengan polling yang menyatakan keunggulan pasangan tersebut terhadap lawannya. Sadari bahwa memang kebutuhan masyarakat Indonesia masih sebatas kebutuhan sandang-pangan dan tumpukan kekayaan. Mereka masih jauh dari taraf "memberi dan berbagi".
Waspada ... jangan sampai tragedi pilkada dki 2017 terulang pada pilpres 2019.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar