Kamis, 20 Maret 2014

Kehebohan PBB yang bukan Perserikatan Bangsa Bangsa di Jakarta.

Kalau tidak salah, pada bulan terakhir tahun 2013 wakil gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama berancang-ancang akan menaikkan NJOP atas tanah dan bangunan di Jakarta. Ada berbagai alasan yang mendasarinya, tentu. Salah satunya karena pada saat terjadi transaksi,harga pasar tanah di Jakarta memang sangat tinggi. Berkali lipat dari nilai jual objek pajak yang ditentukan oleh pemerintah.

Hampir satu tahun yang lalu, harga tanah di beberapa jalan di kawasan Kebayoran Baru sudah melambung hingga menyentuh nilai Rp.100.000.000,- Bayangkan betapa tidak berartinya nilai 100 juta bagi segelintir manusia super kaya di ibukota negara ini. Itupun masih diimbuhi ucapan ...
"Iya kalau ada yang pasokannya. Masalahnya, tidak ada yang menjual tanah di prime location nya Kebayoran Baru. Kalau ada, pasti langsung ditubruk", begitu cerita yang saya dengar dari salah satu "pemain" property yang sering membeli dan menyewakan rumah-rumah di bagian lokasi "super prestigeous" nya Kebayoran Baru.

Ok .... Anda mungkin hanya akan berkomentar bahwa itu hanya kabar berita saja, kan ...
Nah, pada tahun lalu juga saya melihat sebuah transaksi rumah di kawasan yang tadi saya sebut itu. Rumah mewah dengan luas tanah sekitar 350m2 dan bangunan bertingkat dua, katakanlah seluas 500m2 itu dijual dengan harga tidak kurang dari 35 miliar rupiah.

Mari kita berhitung. Kalau harga bangunan mewah itu kita nilai dengan 10juta/m2 saja maka harga bangunannya hanya 5 Milyar rupiah. Dengan demikian .... maka harga tanahnya adalah 30milyar dibagi 350m2 alias delapan puluh lima juta tujuh ratus lima belas ribu rupiah = Rp.85.715.000,- (harga pembulatan). Ini tentu belum termasuk BPHTB yang merupakan akronim dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan serta biaya-biaya lainnya seperti akta notaris dan pengurusan balik nama sertifikat.

Padahal .......... nilai jual objek pajak yang tertera mungkin hanya 1/20 nya saja atau sekitar 4-5juta/m2. Saya rasa kenyataan itulah yang menjadi salah satu dasar pertimbangan mengapa pemerintah DKI mengambil keputusan untuk menaikkan nilai jual objek pajak di wilayah Jakarta.
***

Kenapa masyarakat harus membayar pajak .....? Dalam satu talk show di radio, pakar keuangan Aidil Akbar menjelaskan bahwa PBB dikenakan kepada masyarakat pemilik tanah? Konon ada beberapa alasan.
Yang pertama, pemerintah memerlukan dana untuk menyelenggarakan pemerintahan yaitu membayar gaji pegawai negeri.
Keduanya untuk melaksanakan berbagai program pelayanan masyarakat dan meningkatkan fasilitas umum yang bisa dinikmati oleh masyarakat baik secara gratis seperti taman-taman umum, jalan raya tidak berbayar dan lainnya. 

Masyarakat kan selalu bergerak. tidak mungkin tinggal sepanjang waktu di area lahan miliknya. Nah begitu dia keluar rumah, ada bagian tanah yang dimiliki negara yang digunakannya secar gratis. Jadi, tentu ada baiknya ikut berpartisipasi membiayai kenikmatan yang diperolehnya dari penggunaan tanah/bangunan umum milik pemerintah. Begitu logika berpikirnya.
Penjelasan itu, terdengar sangat logis.

Masalahnya .....
Masyarakat sudah terlanjur tidak percaya dengan aparat pemerintah terutama aparat pajak yang korup. Citra PNS di mata masyarakat memang sudah terlanjur buruk. Bekerja tidak effisien, pelayanan buruk dan lain-lain. Bayangkan saja ... mengurus kartu tanda penduduk yang katanya gratis, tidak akan selesai pada waktunya kalau tidak ada "salam tempel".

Kenyamanan orang berjalan kaki sama sekali tidak ada. Jalan raya di Jakarta masih banyak yang tidak dilengkapi dengan saluran. Keindahan kota hanya milik jalan protokol dan lokasi-lokasi premium saja. Di wilayah bagian kota lainnya kekumuhan dan ketidak teraturan amat sangat terasa. Tidak terjamah oleh perbaikan apapun. Apakah karena pemukiman tersebut dihuni oleh masyarakat golongan berpenghasilan rendah yang seyogyanya dibebaskan dari pembayaran pajak bumi dan bangunan sehingga pemerintah tidak merasa berkewajiban memperhatikan wilayah tersebut. Ibaratnya ada uang (bayar pajak) ...... kita disayang .... tidak ada uang (tidak bayar pajak). Tentu bukan itu maksudnya .... karena pemerintah harus memperlakukan rakyatnya dengan adil. Tapi ..... saat kita bicara soal adil ... maka, hal itu menjadi sangat relatif.

Di kantor ... saya seringkali berdebat soal keadilan terutama kalau kita bicara soal tunjangan/fasilitas. Keadilan memang tidak bisa diartikan bahwa setiap karyawan mendapat fasilitas, tunjangan dan kenyamanan yang sama. Kalau semua mendapatkan yang sama, maka itu menjadi sangat tidak adil. Bagaimana mungkin .... orang yang dalam pekerjaan harus "menghasilkan" uang dan keuntungan bagi perusahaan agar perusahaan berjalan dengan lancar dan berkembang diberi fasilitas, tunjangan dan kenyamanan yang sama dengan mereka yang tugas dan tanggung jawabnya hanya membersihkan ruang kerja dan menyediakan minuman. 

Jenis fasilitasnya bisa jadi sama.... tetapi standarnya berbeda terutama dalam kualitas. Dari sini, akan terlihat bahwa walau semua mendapat tunjangan/jenis fasilitas yang sama tetapi nilai uang yang diterimanya berbeda karena "dasar/standar" perhitungannya berbeda sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya.

Nah kembali pada soal Pajak Bumi dan Bangunan, memang sangat bisa dimengerti kalau daerah yang tertata baik, nyaman dan terutama yang berada di pusat kota/komersial dikenakan pajak yang lebih tinggi. Masalahnya ..... apakah penduduk yang tinggal di daerah tersebut mampu untuk membayar pajak sesuai dengan nilai yang ditetapkan pemerintah. Tidak semua mereka yang tinggal di wilayah prestisius itu adalah orang-orang kaya yang berlebihan uang. Banyak dari mereka adalah keluarga pensiunan atau jandanya yang memiliki rumah tersebut saat kawasan terkait masih berupa "lokasi tempat jin buang anak". Pada saat tidak ada orang yang mau tinggal di daerah tersebut. Perkembangan kotalah yang menjadikan lokasi tempat jin buang anak itu menjadi lokasi premium. Tentu sangatlah tidak adil kalau para pensiunan atau jandanya harus menyingkir entah kemana hanya karena tidak mampu membayar pajak rumah yang ditinggalinya. Bukan salah mereka kalau pada akhirnya mereka tidak mampu membayar pajak.

Saya sendiri cukup kaget saat menerima lembar tagihan PBB rumah ibu saya tahun ini. Secara total, PBB yang harus dibayar meningkat 50%, Yang tidak kalah mengagetkan ... NJOP sebidang tanah yang saya miliki naik lebih dari 200% dari NJOP awal.

Memang, setahu saya, ada mekanisme permintaan keringanan pajak yang bisa diajukan masyarakat yang merasa tidak mampu. Itulah yang biasa dilakukan oleh almarhum ibu saya selama masa hidupnya. Masalahnya .... sosialisasi tentang adanya mekanisme pengurangan pajak memang sangat kurang, sehingga masyarakat cenderung mengambil langkah protes langsung "TIDAK MEMBAYAR PBB". Padahal .... keringanan itu memang harus dimintakan dan andaikan masyarakat tahu, maka orang yang betul-betul tidak mampu tentu akan melakukan prosedur ini. Direktorat Pajak atau Dinas Pendapatan (asli) Daerah alias Dispenda yang menangani PBB harus rajin mensosialisaikan prosedur pengajuan keringanan pajak ini. Jangan karena "dikejar" setoran .... karena konon ada persentase biaya pungut yang bisa dperoleh ... maka hak orang yang tidak mampu membayar PBB atau pajak apapun juga diabaikan.

Jangan terlalu naif juga berasumsi bahwa pemerintah seharusnya tidak semena-mena mengenakan pajak terutama PBB karena terlena dengan jargon ..... 
"tanah ... tanah gue, kok masih harus bayar pajak...? 
atau pendapat lain yang mengatakan bahwa
"bumi dan tanah ini milik Allah ... jadi pemerintah tidak berhak memungut pajak semena-mena"

Sekali lagi ... untuk prinsip keadilan ... pajak "tinggi" yang dikenakan untuk wilayah tertentu apapun yang diatur oleh pemerintah dan untuk tujuan jalannya roda pemerintahan serta pemeliharaan, perbaikan dan penambahan sarana/prasarana kota tidak bisa dielakkan. Penduduk wilayah kota yang mampu, yang memiliki uang berlebih memang wajar dan wajib membayar PBB yang tinggi dan bagi mereka yang tidak mampu membayarnya .... ajukan keberatan dengan cara yang benar.

Pemerintah - dalam hal ini Dispenda tentu harus dengan "legowo" memberikan keringanan untuk mereka yang bisa membuktikan diri tidak mampu tanpa harus mempersulit mereka.
***

Saya kemudian teringat kejadian lebih dari 30 tahun yang lalu. Saat itu ... pada suatu siang, saya mendapat surat ancaman harus segera membayar pajak. Semacam PBB atas satu unit apartemen sederhana seluas 49m2 yang kami sewa. Ancaman tersebut masih saya ingat betul bahwa bila dalam waktu 1 minggu kami belum juga melunasi PBB, maka petugas pajak akan menyita "barang berharga" yang ada di dalam apartemen kami.

Sebagai orang asing dinegeri 4 musim itu, surat berbau ancaman tersebut tentu membuat kami merasa sangat tidak nyaman. Bayangan buruk dideportasi karena melakukan pelanggaran peraturan pemerintah setempat sangat menghantui. Saat itu, sebetulnya kami sudah menulis surat permohonan penghapusan pajak. Bukan sekedar keringanan pajak, tetapi langsung saja permintaan penghapusan pajak. Dasar permintaan tersebut rasanya cukup valid karena penghasilan satu-satunya yang kami peroleh adalah beasiwa yang nilainya hanya sekitar 50% dari nilai upah terendah yang berlaku. Kongkritnya, nilai beasiswanya hanya 50% UMR. Itu sebabnya kami bersikeras tidak membayar PBB, sampai kami mendapat jawaban atas surat permohonan yang kami ajukan melalui pos tercatat.

Sayangnya .... "ancaman" datang lebih dahulu dan membuyarkan ketenangan hidup kami. Maka keesokan hari, demi ketenangan hidup, terpaksa kami mengirim cek senilai PBB yang harus dibayar. Apa boleh buat .....

Hari berlalu, sedih dan sedikit kecewa karena permintaan kami tidak mendapat tanggapan dari pemerintah. Berbagai dugaan buruk berkecamuk. Bahwa pemerintah negara yang memiliki semboyan liberte - egalite - fraternite itu ternyata tidak memperlakukan sama pada penduduk negerinya. Ada perbedaan perlakuan antara warganegaranya dengan warga negara asing. Tapi, andaipun benar begitu ... seharusnya dan sewajarnya kami akan memakluminya.

Hingga .... seperti biasa, suatu siang sepulang belanja di sebuah toko milik seorang yang berasal dari Vietnam sekitar 2 minggu setelah saya mengirimkan cek pembayaran PBB, saya kembali menerima surat "cinta" dari kantor pajak. Gemetar dan tidak sabar untuk membukanya.... Ancaman apalagi yang akan kami terima...?

Saya segera naik lift menuju lantai 14, lantai dimana apartemen tempat kami tinggal berada.  Tidak sabar, saya segera menyobek sampul surat ..... dan isinya adalah .......
........ selembar cek, yang besarnya sama dengan nilai cek yang kami kirimkan sebagai pembayaran PBB. Tidak ada potongan apapun dan tanpa prosedur yang berbelit. Semua dilakukan melalui surat-menyurat ... tanpa ada verifikasi berlebihan atas kondisi keuangan dan atau apartemen tempat kami tinggal. Mereka sangat percaya pada akurasi dokumen yang kami kirimkan ....

Kalaupun ada kekurangan .... itu adalah karena kami menunggu terlalu lama sehingga harus mengalami "tekanan/ancaman" walau hanya melalui surat saja ....

Rabu, 19 Maret 2014

Musuh Bersama Partai Politik Indonesia di tahun 2014

Hari ini, Rabu 19 Maret 2014, saya baca berita di harian Republika bahwa Pendiri Pusat Data Bersatu - PDB, Didik J Rachbini yang profesor itu menyatakan bahwa pemerintahan Jokowi meninggalkan banyak masalah di Jakarta. Pendapat ini dilontarkan dalam diskusi "Nasib Jakarta pasca Jokowi", dan pendapat/kesimpulan itu diambil dari data riset yang dilakukan PDB pada bulan Oktober 2013.

3 masalah besar yang ditinggalkan Jokowi bila yang bersangkutan terpilih menjadi presiden Republik Indonesia ke 7 pada pemilihan presiden 2014 yang akan datang antara lain macet, banjir dan pengangguran. Menurut saya, pendapat Ini bisa dikategorikan sebagai penyesatan opini yang luar biasa. 

Siapapun tahu bahwa kemacetan Jakarta sudah terjadi sejak lama. Itu sebabnya pada akhir pemerintahan Sutiyoso, dia membangun jaringan bus Trans Jakarta koridor 1 Blok M - Kota dan angkutan air dari Manggarai menyusuri kali sepanjang jalan sultan Agugung hingga di samping gedung BNI. Pada masa pemerintahan Fauzi Bowo, pembangunan koridor Trans Jakartapun dilanjutkan berikut dengan rencana pembangunan Monorail yang sampai sekarang masih berupa kerangka terbengkelai. Walaupun kemudian angkutan air menjadi tidak jelas kelanjutannya. 


Akan halnya MRT yang sejak lama didengungkan dan bahkan sudah ada dalam Rencana Umum Tata Ruang - RUTR Jakarta 65-85 tak kunjung dibangun, justru mulai dilakukan pembangunannya awal tahun 2014 ini. Pada masa pemerintahan Jokowi-Ahok. Jangan dilupakan pula bahwa pada saat Jokowi-Ahok mulai membenahi transportasi Jakarta dengan "segudang" rencana, pemerintah pusat melalui Departemen Perindustrian malah memberi ijin bagi pemasaran low cost green car - LCGC yang lantas memicu pertumbuhan luar biasa atas penjualan mobil "murah" tersebut. 


Bagaimana mungkin menimpakan kemacetan akibat peningkatan laju penjualan mobil kepada gubernur kepala daerah. Bahwa ada kelambanan pertumbuhan infrastruktur kota, itu pasti. Tapi dalam upaya mengurangi kemacetan Jakarta, selain harus membangun jaringan transportasi massal juga harus dibarengi dengan kebijakan nasional mengenai transportasi umum. Untuk kota besar patut diingat sekali lagi .... harus dibangun jaringan transportasi massal...... bukan infrastruktur untuk kendaraan pribadi berupa jalan raya/jalan layang baik berbayar atau tidak.

Berkenaan dengan banjir, mungkin perlu diingatkan lagi bahwa pembangunan besar-besaran pada akhir 80 sampai dengan sebelum masa krisis moneter, dimana pertumbuhan property di Indonesia sangat tinggi menyebabkan peraturan bahwa kawasan Puncak (Bopunjur) yang seharusnya dikelola sebagai wilayah penyangga hujan, berubah total dan malah dipenuhi dengan pembangunan kawasan villa/perumahan demi yang namanya pertumbuhan ekonomi atau kongkalikong antara pejabat dengan pengusaha. Belum lagi perkembangan tidak terkendali di seluruh wilayah Jakarta. Wilayah Jakarta Selatan yang seharusnya merupakan wilayah pemukiman "hijau", yaitu wilayah pemukiman yang sekaligus merupakan wilayah penyangga air hujan dengan koefisien dasar bangunan - KDB hanya 20%, sudah semrawut. 


Jakarta Selatan tumbuh menjadi wilayah pemukiman "elite" dan mahal. Berbagai kluster perumahan yang menamakan diri sebagai townhouse dengan luas kavling di bawah 150 meter menjamur bahkan hingga ke wilayah perkampungan dengan lebar jalan hanya 4-5 meter saja. Hal ini tentu memperkecil

area resapan air hujan karena kavling kecil seluas di bawah 150m tidak mungkin dibangun hanya dengan KDB 20%. Kluster-kluster ini tentunya menjadi beban buat pemerintah, karena dengan kecilnya luas "pengembangan" lahan, maka si pengembang yang pada umumnnya menyiasatinya dengan memakai nama pribadi menjadi terbebas dari kewajiban penyediaan fasilitas umum dan fasilitas sosial. Kalau sudah begini ... tentu ada yang tidak beres pada instansi pemberi ijin. Penyimpangan pembangunan fisik seperti ini sudah berlangsung jauh sebelum Jokowi - Ahok menduduki jabatan tertinggi di DKI Jakarta.

Pembangunan di Indonesia pada umumnya tidak pernah dilakukan secara terpadu tetapi hanya dilakukan pada satu bidang, yaitu pembangunan fisik. Kita melupakan bahwa pengelolaan, penjagaan dan mempertahankan keseimbangan lingkungan dengan tetap mempertahankan lahan hijau entah secara mikro (perkotaan) ataupun secara makro dalam tata ruang nasional juga merupakan pilar pembangunan. Bahwa kerusakan alam yang kemudian berakibat kepada makin seringnya terjadi musibah alam berupa banjir, longsor dan sebagainya adalah akibat ketidakmampuan kita menjaga dan mempertahankan keseimbangan lingkungan. Pola pikir bahwa pembangunan adalah menambah sarana, prasarana dan bangunan secara fisik namun mengabaikan dan tidak mempedulikan keseimbangan lingkungan secara makro.

Begitu juga dengan masalah pengangguran di Jakarta.....

Rasanya amat sangat lucu menimpakan semua kesalahan dan berbagai masalah aktual di Jakarta kepada Jokowi. Siapapun tahu bahwa Jokowi - Ahok baru 1,5 tahun menduduki jabatan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta dan selama itu sudah banyak pembenahan yang dilakukannya. Itupun dengan banyak gangguan dan hambatan bukan saja oleh masyarakat yang "kenyamanan dan peruntungannya" terganggu. Gangguan itu bahkan dilakukan oleh segelintir orang yang menamakan dirinya sebagai wakil rakyat di DPRD dan mengatasnamakan kepentingan rakyat secara membabi-buta.

Lha .... apakah prestasi gubernur sebelumnya memang lebih spektakuler daripada apa yang dilakukan pemerintahan Jokowi - Ahok sehingga mereka seolah tidak berdosa atas kesemrawutan yang ada di Jakarta? Atau apakah "kerusakan" yang ada di Jakarta dan perusakan selanjutnya hanya terjadi pada 1,5 masa pemerintahan Jokowi-Ahok?

Saya bukan pendukung Jokowi tapi saya sebal betul kalau ada orang pintar bergelar profesor pula memberikan opini menyesatkan dan membodohi rakyat.... Apalagi pendapat ini dilontarkan setelah Joko Widodo ditunjuk partainya sebagai calon presiden RI pada pemilihan raya yang akan datang.

Nuansa pesanan, kampanye hitam dan pembunuhan karakter Joko Widodo terlalu nyata untuk diabaikan dan ironinya hal ini dilakukan oleh "orang pintar"

Jumat, 14 Maret 2014

BUNTU dan karenanya jadi buta segalanya

Sepertinya, bulan Maret ini menjadi bulan yang membuat pikiran saya menjadi buntu. Kebuntuan itu menyebabkan saya tidak mampu menuangkan apapun dalam bentuk tulisan walau berbagai peristiwa datang menyapa aktifitas keseharian untuk kemudian seharusnya pergi dengan membawa kesan mendalam yang layak dituliskan.

Sepertinya, aktifitas mendesain untuk kemudian membangun rumah dengan hanya mengandalkan tukang kepercayaan menyita hampir seluruh waktu luang di malam hari, usai bekerja. Ternyata masih banyak gambar-gambar detil yang harus diselesaikan dalam waktu yang hanya tersedia maksimal 2 jam setiap malam. Apalagi ... sebagai orangtua, kemampuan mengadopsi perangkat canggih untuk menggambar sama sekali tidak saya miliki. Maklum selama masa kerja profesional, hanya 5 tahun pertama saja saya bekerja sebagai arsitek  dan masa itu, perangkat/software autocad belum dikenal orang. Selebihnya walau bidang kerja saya masih bersinggungan dengan dunia arsitektur, namun saya sama sekali tidak bersentuhan langsung dengan gambar menggambar kecuali mengevaluasi gambar yang diajukan konsultan.

Upaya menuangkan ide dan keinginan pribadi dalam sebentuk rumah tinggal pribadi, kelak akan saya tuliskan dalam suatu cerita sendiri. Kali ini saya hanya akan mentautkan cerita saat dengan tulisan di blog "tetangga" .... tanpa ijin .... maaf buat pemilik blog, tapi saya yakin yang bersangkutan tidak akan berkeberatan sama sekali. Inshaa Allah

https://koestoer.wordpress.com/2014/03/13/buta-mata-buta-warna-dan-buta-hati/

Senin, 10 Februari 2014

WISUDA Sarjana di Universitas Indonesia

Wisuda Sarjana, adalah waktu yang sangat ditunggu, bukan saja oleh semua anak muda yang baru saja menyelesaikan kuliahnya tetapi juga ditunggu oleh para orangtuanya .... oleh pacar dan mungkin juga calon mertua .... Walau belum tentu segera akan menikah, tetapi wisuda ternyata menjadi salah satu langkah penentu para pasangan kasmaran.

Sejujurnya .... saya tidak pernah merasakan greget suasana wisuda sarjana seperti apa yang dirasakan semua orang. Tidak merasakan luapan kegembiraan yang luar biasa untuk akhirnya berhasil menyelesaikan kuliah, kecuali "lepas beban berat" atas "kecelakaan" selama masa kuliah, sehingga saya harus menyelesaikan waktu kuliah yang amat sangat teramat panjang .... Walau diselingi cuti selama 4 tahun...., ternyata masa kuliah saya masih lebih pendek dari masa kuliah salah satu mantan menteri era Suharto yang berasal dari kampus yang sama hehe.... # ini salah satu cara pembenaran atas kesalahan diri.

Saya juga tidak sempat dan tidak memiliki kesempatan hadir saat anak sulung menyelesaikan kuliahnya baik pada strata 1 maupun 2. Semoga si anak tidak merasa kecewa ataupun bersedih karena tidak didampingi orangtuanya pada saat yang mungkin sangat berarti baginya. Anak itu terlalu mandiri dan kalaupun ada rasa "kehilangan" di hati orangtua karena kemandiriannya, tapi kami tetap bangga dan merasa sangat berarti memiliki anak seperti dia.
***

Awal bulan Februari dan akhir September setiap tahun, seperti biasa selama hampir 10 tahun ini, saya akan menerima beberapa undangan untuk hadir di acara wisuda. Tentu tidak selalu dihadiri, tergantung kepentingannya. Kalau ada keponakan yang di wisuda dan saya tidak sedang merasa malas untuk pergi, maka kami akan hadir bersama. Tetapi lebih sering suami saja yang hadir. Itupun kalau dia sedang tidak merasa malas untuk bermacet ria di sepanjang jalur Pasar Minggu - Kampus UI dan sebaliknya. 

Kadang-kadang, undangan itu digunakan teman yang membutuhkannya, karena kerabat yang ingin hadir melebihi jumlah undangan yang diperoleh wisudawan. Apalagi, undangan yang kami miliki itu memberikan kami kesempatan untuk hadir di ruang utama upacara. Di dalam Balairung Universitas Indonesia.

Kali ini, tiba-tiba saja saya merasa ingin membawa suasana kehidupan kampus kepada anak saya yang saat ini masih duduk di bangku kelas XI SMA. Tentu ada alasan tertentu mengapa keinginan tersebut timbul.

Dalam berbagai kesempatan bicara dengan si anak, seringkali dia bercerita, betapa teman-temannya ingin sekali berkunjung ke perpustakaan UI yang konon kabarnya terbesar di Indonesia dan hal ini akhirnya sudah beberapa kali dilakukan baik dari sekolah maupun secara individual. Sementara anak saya sendiri sama sekali tidak memperlihatkan rasa tertariknya untuk diajak mengunjungi dan mengikuti beberapa acara di kampus UI yang sejuk itu. Tentu bukan hadir di acara resmi, tetapi memang ada beberapa acara kekerabatan baik untuk staff pengajar maupun alumni yang memungkinkan anggota keluarga hadir. JAdi memang agak ironi. Sementara teman-temannya "iri" akan adanya kesempatan itu, anak saya malah acuh tak acuh.

Mungkin karena tahun ini, dia sudah duduk di kelas XI dan berbagai masalah mengenai universitas, fakultas dan program study sudah mulai ramai dijadikan topik pembicaraan siswa sebagai persiapan mereka kelak, maka topik yang sama sudah mulai muncul dalam beberapa kesempatan makan bersama yang hanya ada di setiap akhir minggu saja. Itu sebabnya pada saat saya lontarkan maksud untuk mengajaknya hadir pada acara wisuda sarjana, dia segera menyambutnya. Tentu ajakan tersebut saya sampaikan setelah beberapa hari sebelumnya melakukan konfirmasi kehadiran. 
***
Sudah beberapa tahun, karena terjadi peningkatan jumlah wisudawan yang luar biasa serta adanya berbagai jenjang kependidikan, maka acara wisuda sarjana UI dilakukan 2 kali dalam satu hari yang pasti sangat melelahkan bagi pejabat UI yang terlibat langsung serta seluruh pendukung acara. Belum lagi acara gladi resik yang biasanya diselenggarakan sehari sebelumnya.

Biasanya, wisuda Sarjana strata 1 - S1 dan  program diploma diselenggarakan pada pagi hari dan wisuda jenjang S2 - S3, program profesi diselenggarakan pada siang hari. Seingat saya, acara wisuda yang diselenggarakan pada pagi hari di bulan Februari selalu dibarengi dengan acara Dies Natalis sementara wisuda yang diselenggarakan pada bulan September dibarengi dengan penerimaan mahasiswa baru yang pasti gegap gempita. Ada nuansa berbeda dari ke dua kesempatan tersebut. Rasanya ... acara yang dibarengi dengan penyambutan mahasiswa baru lebih meriah, karena kebanggaan menjadi mahasiswa baru begitu kental mewarnai seluruh rangkaian acara.
***

Hari itu .... Sabtu 8 Februari 2014, kami berangkat dari rumah sekitar jam 12.45 - usai makan siang dan shalat dhuhur, Mestinya, cukup waktu untuk mengejar acara yang dimulai tepat jam 14.30 dengan ketentuan wajib hadir 30 menit sebelumnya. Waktu tempuh dari rumah ke kampus UI, biasanya hanya 45 menit. Itu sudah memperhitungkan kemacetan. Ternyata .... kemacetan siang itu sangat luar biasa. Bukan karena adanya kemacetan akibat lalu lintas keluar-masuk kampus UI, tetapi karena adanya beberapa genangan air. Maka ...  kami baru memasuki gedung PAU pada jam 14.10 ... 


Sebetulnya masih ada waktu 20 menit sebelum acara dimulai. Tetapi .... gedung PAU, yang biasanya ramai, sudah relatif kosong. Penghuninya sudah bersiap, berdiri dan berbaris rapi untuk mengikuti upacara di koridor antara gedung PAU denga Balairung tempat penyelenggaraan acara Wisuda Sarjana. Agak, salah tingkah juga melihat keadaan ini. Beruntung ada petugas acara, mungkin yang bertugas untuk membimbing undangan memasuki ruang acara. Dialah yang mengantar kami memasuki Balairung dan mencarikan tempat duduk. Alhamdulillah......

Duduk di ruang utama upacara, tentu merupakan suatu keberuntungan yang tidak semua orang bisa memilikinya. Itu pula yang menghadirkan getar dan nuansa yang sangat berbeda selama mengikuti acara tersebut.

***

Tepat jam 14.30, Rektor dan pejabat universitas dan Fakultas disertai dengan para guru besar memasuki Balairung UI dengan diiringi lagu Godeamus Igitur yang dibawakan oleh orkestra dan paduan suara UI .... Lirih namun penuh hikmat ....., lalu upacara "standar" dimulai ....., yaitu dari seremoni menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, mengheningkan cipta, doa, pembacaan lulusan dan lain-lain. Standar dan buat saya, cenderung menjemukan .... biasalah... sesuatu yang rutin dan standar, akan cenderung menjemukan terutama bagi yang seringkali menghadiri acara serupa.

Usai, acara standar seremonial, penyanyi-penyanyi "jawara" dari berbagai fakultas menyanyikan lagu pop pilihan. Rupanya dari generasi Aning Katamsi ... sekarang sudah banyak bermunculan mahasiswa dan mahasiswi pemilik suara emas yang apik. Merekalah yang menggantikan para seniornya menyanyikan beberapa lagu  pop yang terasa anggun karena diiringi orkestra.


Usai upacara wisuda, acara bagi undangan dilanjutkan dengan resepsi di ruang PAU sementara para wisudawan biasanya memiliki acara lanjutan yang mereka rancang sendiri dan pasti sangat heboh. Dari mulai membuat foto standar dengan keluarga dan pacar, Umumnya dengan latar gedung rektorat UI atau mungkin sekarang ditambah dengan gedung perpustakaan pusat. Yang terakhir biasanya di gerbang masuk kampus dimana terletak tulisan besar UNIVERSITAS INDONESIA. Kapan lagi orangtua bisa berkunjung ke kampus tempat anak-anaknya kuliah, bukan?

Semoga, generasi muda Indonesia yang baru saja menyelesaikan kuliahnya di salah satu kampus termegah di Indonesia, pada universitas penyandang nama negara, mampu membawa Indonesia menuju kemandirian di berbagai bidang dan melepaskan bangsa dan negara ini dari belitan neokolonialisme dan praktek KKN kelak.

Sabtu, 01 Februari 2014

Bukan rasis atau sara

Hari ini 1 Februari 2014. Hari ke 2 di tahun kuda menurut penanggalan Cina. Kemarin malam, pas tahun baru, kami sempat keluar rumah. Tepatnya ke PIM untuk memanfaatkan waktu kebersamaan keluarga. Mumpung anak gadis kami ada di rumah, yaitu setiap akhir minggu. Jadi kami memanfaatkannya untuk makan malam di luar rumah dalam suasana yang sedikit berbeda. Bukan saja suasana ruang tetapi juga menu makanannya.

Tulisan ini tentu bukan untuk menulis apa yan kami makan, yang kebetulan juga menu masakan Cina di salah satu resto Cina halal. Minimal menurut tulisan di dindingnya ... no pork & no lard. Atau juga bukan untuk mengulas hiasan yang tergantung di PIM terutama di PIM2 yang semuanya bernuansa merah. Saya hanya ingin menulis tentang lafal atau pengucapan kata dalam suatu bahasa.
***

Sudah beberapa waktu ini saya baru menyadari bahwa di radio atau televisi, kata CINA ternyata tidak diucapkan dengan suara "cina" dengan ucapan bahasa Indonesia tetapi diucapkan "caina" (China) dalam lafal bahasa Inggris. Semula, hanya satu atau beberapa penyiar televisi saja, yaitu di salah satu stasiun tv berita. Tetapi ..... lama kelamaan, ternyata semua penyiar televisi dan bahkan penyiar radio tidak lagi menyebut Cina dengan lafal bahasa Indonesia, tetapi China dengan lafal bahasa Inggris, yaitu "caina".

Andai saja lafal menurut bahasa Inggris itu diucapkan ketika membawakan berita berbahasa Inggris, saya masih bisa memakluminya. Tetapi .... tampaknya, saat ini ucapan kata Cina dengan lafal Inggris sudah menjadi lafal standar pemberitaan. Saya tidak tahu apakah di stasiun televisi itu ada orang/editor yang bertugas melatih dan mengkoreksi pelafalan setiap kata dalam berbagai bahasa agar pengucapannya sesuai dengan bahasa yang dibawakan penyiar tersebut. Kalau ada .... bagaimana dia bisa meloloskan pengucapan kata yang bertentangan dengan kaidah pengucapan dalam bahasa Indonesia.

Jelasnya ....... kalau penyiar sedang membawakan acara berbahasa Indonesia, maka seluruh ucapan bahasanya harus sesuai dengan kaidah ucapan/lafal bahasa Indonesia. Begitu pula kalau sedang berbahasa Inggris, Cina, Arab, Perancis atau bahasa lainnya. Tentu pengucapannyapun harus sesuai dengan kaidah pengucapan bahasa terkait. Karena, apabila kita salah mengucapkannya maka para penutur bahasa tersebut tidak akan mengerti apa yang diucapkan/diberitakan.

Berkenaan dengan kata Cina, saya ingat sekali bahwa saat saya kecil dulu, saya selalu dilarang oleh orangtua menyebut kata Cina kepada tetangga, kenalan atau siapapun yang berasal dari etnis Cina. Saya selalu dianjurkan untuk membahasakannya dengan kata Tionghoa. Saya memang tidak terlalu mengerti dan tidak juga mempertanyakan sebabnya. Cukup dipatuhi saja, namun saya menduga bahwa penyebutan kata Cina itu selalu dilakukan orang saat marah atau dengan nada menghina, terutama pada awal tahun pemerintahan era Suharto. Mungkin itu sebabnya, orangtua saya melarang penggunaan kata Cina untuk penyebutan teman, tetangga, kenalanan atau siapapun yang berasal dari etnis/suku bangsa Cina.

Saya sendiri merasakan suka duka, dampak dari kata Cina tersebut.
Konon .... nenek dari kakek saya, jadi saya adalah keturunan ke 5nya; adalah perempuan Cina totok yang masih memiliki kaki pendek yang terbelenggu oleh sepatu besi (?), sebagai bentuk tradisi Cina jaman dahulu kala. Perempuan yang konon kabarnya anak dari penguasa klenteng (sekarang) di kawasan Ancol ini menikah dengan lelaki keturunan Jerman yang memiliki nama keluarga Muller. Dari pernikahan 2 orang berbeda bangsa itu, beranak pinak, dimana anak-anaknya, yang berjumlah 3 orang, kebetulan berjenis kelamin perempuan semua, keseluruhannya menikah dengan lelaki Indonesia asli. Mereka konon menyebar di 3 wilayah pulau Jawa. Jawa bagian barat yaitu di Jakarta berbaur dengan masyarakat Betawi sehingga keturunannya merasa dan tentunya mengaku sebagai etnis Betawi..... Lalu yang di Jawa Tengah beranak-pinak di kawasan Rembang serta di Jawa Timur, menyebar dari Malang. Mereka yang beranak pinak di Jawa Tengah dan Jawa Timur tentu lekat dengan budaya Jawa.

Akibat dari leluhur Cina tersebut atau mungkin sayangnya .... ternyata ada gen kuat dari perempuan Cina tersebut yang menurun pada saya dan bahkan kepada anak perempuan saya ........, walau anak perempuan saya memiliki kulit sawo matang, yaitu .... saya dan anak perempuan saya bermata sipit. Padahal .... adik saya lainnya ada yang berkulit sawo matang. Kalaupun ada yang berkulit "putih", maka matanya tidaklah sipit, sehingga mereka "lolos" dari olok-olok sebagai orang Cina.

Bayangkan  .... kalau anak saya saja, pada abad ke 21 ini, era dimana diskriminasi terhadap etnis Cina sudah dihapuskan oleh Gus Dur saat menjabat presiden, sering diledek teman2nya sebagai Cino Ireng ... apalagi saya yang memiliki kulit agak kuning ... Orang bilang kulit saya "putih" dan bermata sipit. Kloplah kalau disangka sebagai perempuan Cina.
***

Ibu saya cerita, saat saya kecil dulu, kalau saya dibawa ke pasar untuk belanja, maka encik penjual telur selalu menghadiahkan saya sebutir telur. Untuk si amoy .... begitu katanya untuk menyebut nama saya. 

Sebetulnya, saya sama sekali tidak menyadari bahwa mata sipit saya itu bermasalah. Masa sekolah saya yang selalu berpindah-pindah mulai TK-SD ibu Su, Muhamadiyah Jakarta, lalu ke Daya Susila - Garut dan seterusnya hingga akhirnya lulus dari SMA Fons Vitae Jakarta saya lalui tanpa sekalipun merasa adanya perbedaan etnis dengan teman sekolah lainnya karena bentuk mata sipit. Masalah tersebut justru baru timbul saat saya masuk kuliah. 

Ketika itu, saat posma alias pekan orientasi mahasiswa, saya ingat betul ... sempat diinterogasi oleh salah seorang kakak senior. Dia menanyakan asal-usul saya. Untuk meyakinkan bahwa saya ... mahasiswa baru bermata sipit ini bukan berasal dari etnis Cina, tetapi betul-betul lahir dari pasangan bapak beretnis Betawi-Sunda dan ibu dari Sumatera Barat seperti pengakuannya.

Mungkin saya beruntung, ada salah satu senior yang sudah kenal keluarga saya. Tapi .... sebagai akibatnya, selama posma tersebut saya "disuruh" menempelkan celotape pada kelopak mata agar mata saya menjadi sedikit lebih bulat. Tidak terlihat sipit. Lama setelah itu suami saya yang saat itu berstatus pacar, sempat bercerita bahwa dia juga ditanyai beberapa temannya...
"Kok pacaran sama perempuan Cina sih ....?"
Lho .... apakah salah....?

Ketidaknyamanan menjadi orang yang dianggap mengaku Indonesia tetapi memiliki wajah seperti perempuan Cina, tidak berhenti sampai disitu. Terus berlanjut ketika akhirnya saya masuk ke dunia kerja. Memang ada enaknya, karena saya menjadi mudah diterima di kalangan etnis Cina tetapi .... saya sungguh merasa sangat lelah justru tatkala masuk ke lingkungan masyarakat berkulit sawo matang karena seringkali harus menjawab berbagai ragam pertanyaan untuk mengkonfirmasi asal usul keluarga. Rasanya sungguh sangat menyakitkan..... Adakah yang salah dengan saya? 

Baru setelah saya memakai jilbab, maka pertanyaan tersebut, hilang. Atau bahkan sangat mungkin, sekarang ini ada yang menganggap saya sebagai muallaf... dan kalau benar, alangkah ironinya hidup saya....

Eits.... kembali ke topik awal ....
***

Kini ...., entah sejak kapan, pengucapan Tionghoa malah sudah sangat jarang terdengar. Kita sudah terbiasa mendengar kata Cina di mana saja. Konon, menurut mas Saptono, senior saya di masa kuliah dulu, penyebutan Cina atau China merupakan imbauan pemerintah Cina kepada pers di seluruh dunia untuk menggantikan kata Tiongkok

Sebagai orang yang mengalami sendiri berbagai suka duka berkenaan dengan etnis Cina. Pernah mendapat berbagai penolakan dan perlakuan rasisme di negara yang memiliki semboyan liberte, egalite & fraternite, sesungguhnya saya berusaha untuk tidak melihat dan memperlakukan siapapun berdasarkan warna kulit atau asal muasalnya. Saya merasakan betul sakitnya menerima perlakuan rasis.

Jadi kalau saya menyoal tentang Cina atau China (dengan lafal Inggris), bukan karena unsur rasisme tetapi hanya sekedar lontaran pertanyaan .... Mengapa kita harus melafalkan Cina dengan lafal bahasa Inggris dalam pemberitaan bahasa Indonesia.

Para pakar bahasa Indonesia ... editor/korektor bahasa di stasiun televisi dan radio ... ayo dong, koreksi pengucapan para penyiarnya. Kalau sedang berbahasa Indonesia ..., ucapkanlah segala sesuatunya dalam lafal dan kaidah bahasa Indonesia. 

Kita perlu bangga dengan bahasa persatuan ini... Kalau buka kita yang merawatnya dengan menggunakannya dengan baik dan benar ... siapa lagi dong?

Kamis, 23 Januari 2014

Prestasi buruk

Ini prestasi buruk betul ....
Perjalanan tahun 2014 diawali dengan prestasi 
yang sangat buruk.
Januari 2014 sudah hampir habis ...., 
Hari ini, sudah tanggal 23
dan
Halaman blogku belum bertambah apapun juga

Padahal ...
Ada banyak peristiwa terjadi
Sinabung masih melambungkan isi perutnya
Tak tertahankan
Persis seperti perempuan hamil, 
mual di sepanjang pagi
memuntahkan segalanya

Jakarta dilanda banjir
walau gubernur dan wakilnya sudah berupaya banyak
namun alam sepertinya tidak lagi peduli
sudah tidak mampu pula menahan muak
ulah manusia yang sudah terakumulasi panjang
yang tak mungkin terobati 
hanya dengan satu - dua upaya perbaikan

Sayangnya
akupun terkena imbas
beku karena dinginnya cuaca
lemas karena awan gelap kelabu
melumatkan segala daya

dan yang pasti ...
semua mencari kambing hitam
alibi dari prestasi buruk awal tahun
yang tak mampu dikendalikan

Selasa, 31 Desember 2013

I share, because I care

Pagi tadi, hari terakhir di tahun 2013, hujan gerimis yang mengiringi terbitnya matahari membuat kita agak malas memulai aktifitas rutin. Apalagi hari-hari ini adalah liburan bagi hampir seluruh penduduk dunia. Jadi, usai membuat zuppa soup dan menyantapnya sebagai sarapan pagi, maka saya mulai membuka facebook dan menemukan artikel yang sangat menarik, yaitu How to avoid cancer.

Artikel tersebut menjadi menarik perhatian  saya karena cancer atau kanker sekarang sudah menjadi penyakit menakutkan bagi penderitanya yang menyebabkan si penderita seolah langsung divonis "mati", begitu mendengar bahwa dirinya didiagnosis menderita cancer. Belakangan ini, di "lingkungan" saya memang banyak yang menderita kanker, baik mereka yang dinamakan  dan diberi "label" survivor, warrior maupun yang sudah lepas dari penderitaannya alias akhirnya meninggal dunia.

Mereka; yaitu para penderita kanker, adalah rekan kerja, istri atau suaminya, teman kuliah dulu bahkan juga keluarga dekat. Mereka "memperoleh" kanker, konon karena keturunan tetapi juga karena gaya hidup atau lingkungan. Bahkan ada teman kuliah dulu yang terkena kanker paru-paru hanya karena dia bekerja di lingkungan dan ruangan dimana penghuninya perokok berat semua. Ironinya, si teman sama sekali tidak pernah menyentuh rokok. Begitu juga salah satu rekan kursus yang sudah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Dia terkena kanker paru, konon karena suaminya perokok berat dan lingkungan hidup/rumah terpolusi asap rokok. Jenis kanker yang umumnya diderita rekan, keluarga atau teman wanita, biasanya kanker payudara alias breast cancer. Kalau penderita lelaki biasanya kanker hari atau prostat.

Tanpa disadari, ternyata, adik saya yang baru saja meninggal dunia itu juga salah seorang penderita kanker. Entah kanker jenis apa ..... Selama ini, kami hanya tahu bahwa dia memiliki tumor di rongga otak, di antara ke dua rongga mata. Itupun telah diangkat sekitar 6 tahun yang lalu. Tumor mana sempat membuatnya kehilangan penglihatan. Merasa sembuh, karena dokter tidak memberikan signal bahwa tumor tersebut ganas, maka tidak seorangpun yang menyadari bahwa, mungkin akibat operasi tersebut, sel tumor menyebar dan berubah menjadi ganas serta tumbuh kembali. Walau masih di rongga otak namun serangan tumor kali ini, selain induknya, terdapat pula akar-akar yang mencengkeram bola matanya. 

Rupanya, tumor yang sudah bermutasi menjadi ganas tersebut berkembang dengan sangat cepatnya dan sayangnya, hal itu baru disadari tidak lebih dari 2 minggu sebelum dia menghembuskan napas terakhirnya. 
***

Konon .... setiap manusia memiliki potensi untuk menderita kanker, yaitu berasal dari sel tubuh kita sendiri yang "bermutasi". Mutasi sel normal menjadi sel kanker dipicu oleh berbagai sebab, antara lain gaya hidup, asupan makanan, stress, polusi dan banyak lagi sebab-sebabnya. Makanan jaman sekarang yang serba instant dan transgenic ditengarai juga menjadi salah satu sebab meruyaknya mutasi sel normal menjadi sel kanker.

Namun dari pengamatan selama ini, baik dari bacaan dan sekaligus belajar dari kejadian alam; saya termasuk orang yang anti pengangkatan sel kanker. Logikanya adalah fenomena alam. Ketika sebuah batang pohon ditebang, perhatkan dengan baik, maka tidak lebih dari 1 bulan setelahnya, dari setiap "mata" pada kulit batang pohon, akan timbul tunas batang baru yang jauh lebih banyak dan dahsyat jumlahnya. Bayangkan .... kalau tumor dalam tubuh kita diangkat, maka dari puluhan, ratusan dan bahkan mungkin ribuan serabut akar dimana tumor tersebut tumbuh, dalam waktu yang unpredictable, akan tumbuh lagi puluhan, ratusan dan bahkan ribuan tunas kanker. Persis seperti tunas tanaman pada dahan yang sudah ditebang.

Bukan itu saja, logikanya; dari "bukaan" yang terjadi saat tumor terlepas dari "pegangannya" karena aksi pisau operasi, akan "berloncatan" ratusan, ribuan bahkan jutaan sel kanker ke dalam jaringan aliran darah dan dibawanya sel kanker tersebut ke seluruh tubuh manusia melalui peredaran darah. Maka .... tanpa disadari, menurut saya yang awam ini, peristiwa mengangkat sel tumor/kanker adalah peristiwa penyebaran sel kanker ke seluruh tubuh kita, yang sadar atau tidak sadar, sudah kita lakukan dan ijinkan kepada dokter atas nama pengobatan kedokteran modern.

Memang ... segera setelah operasi, akan dilakukan chemotherapy, proses "mematikan" sel kanker yang sejatinya, bukan saja sel-sel abnormal itu saja yang "dimatikan" tetapi seluruh sel tubuh kitapun "dimatikan" oleh obat yang sangat beracun tersebut. Bahkan ... salah satu rekan saya pernah bercerita bahwa kenalannya yang ahli oncology terkenal menyatakan bahwa andai dia terkena kanker, maka dia tidak akan pernah mengijinkan dilakukan kemoterapi, karena itu berarti dia secara sadar sudah "meracuni" diri sendiri dan karenanya cepat atau lambat akan mematikan sel-sel tubuhnya. Bukan hanya sel kanker, tetapi juga sel-sel normal tubuhnya. Karena racun yang dimasukkan ke dalam tubuh, tidak akan pernah bisa memilih sel yang akan dimatikannya. Apakah itu sel kanker atau sel normal.

Lalu, mengapa MRI dan pet scan, prosedur standar yang selalu dilakukan dalam pengobatan kanker, seringkali tidak mendeteksi penyebaran sel kanker dan karenanya dokter dengan sangat percaya diri menyatakan pada pasien bahwa tidak ada penyebaran. Aman .... tetapi sekonyong-konyong, suatu ketika sel kanker si pasien diketahui sudah menyebar dan sudah sulit diatasi? Itu, karena alat secanggih apapun bahkan dengan teknologi nano sekalipun belum bisa mendeteksi keberadaan sel kanker hingga sel kanker tersebut mencapai dimensi tertentu. Hal itu karena konon, kalau tidak salah 1 buah sel besarnya hanya 1- 4 nano alias satu pangkat minus 4 nano. Tentu undetectable, belum dapat dideteksi. 
Ini menjelaskan, mengapa sekonyong-konyong, pasien yang sangat rajin kontrol sekalipun akan terperangah mendapati penyebaran kanker di seluruh tubuhnya.

Mengerikan ya .....? 
Sangat....!!! 
Jadi, sangat dimaklumi kalau menderita kanker, seperti mendapat vonis mati pelan-pelan.

Sering terpikir, mengapa di Indonesia, tidak pernah terdengar upaya kemoterapi melalui suntikan langsung ke dalam tumor terkait. Dengan demikian, kerja racun "kelas berat" yang berlabel "kemoterapi" itu langsung kepada obyek yang dituju. Tidak merusak sel tubuh yang masih sehat. Konon kabar yang saya dengar dari dokter gigi yang menangani anak saya, ada salah satu dokter di negeri jiran yang sudah mencoba kemoterapi dengan cara seperti ini dan ibunya adalah salah satu pasien dokter tersebut.

Dengan berbagai masalah tersebut, pengobatan kanker memang pengobatan yang sangat dilematis. Namun sebaiknya, jangan berpikir untuk melakukan "peperangan" melawan kanker. 

Lebih baik kita menghindar saja .... 
Yuk kita baca link di atas dan terapkan dalam kehidupan kita,
karena
Prevention is better than curing ....

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...