Ketemu tulisan menarik yang bisa dijadikan referensi dalam menentukan pilihan dalam pemilihan presiden pada tanggal 9 Juli 2014 yang akan datang.
"CALON PRESIDEN MUSUH ISLAM...
Ditulis Oleh : Fahd Pahdevie
“Cilaka, Kyai! Cilaka!” Aku baru saja tiba di
Pondok Kyai Husain. Setelah mencium tangannya, aku tak bisa membendung rasa
kesalku yang telah kutahan cukup lama. Kegelisahanku tiba–tiba membrudal di
hadapan wajah teduh Kyai Husain yang selama ini selalu mendengarkan keluh
kesahku.
“Cilaka apanya, Nak?” Tanya Kyai Husain.
“Pilpres!” Aku tak punya jawaban lain yang
lebih panjang lagi. Aku yakin Kyai Husain akan mengerti.
Kyai Husain terkekeh. “Ndak usah dipikir!” Katanya,
“Nanti juga reda sendiri. Ndak usah dipikir!” Kyai Husain kemudian mulai melinting tembakaunya.
“Nanti juga reda sendiri. Ndak usah dipikir!” Kyai Husain kemudian mulai melinting tembakaunya.
“Tapi ini sudah menyangkut keselamatan ummat,
Kyai. Ini sudah genting! Jika calon yang didukung para pengusaha hitam dan
musuh–musuh Islam yang menang, bisa habis ummat Islam di negeri ini. negeri ini
akan hancur dan mendapatkan azab dari Gusti Allah!”
Kyai Husain mengangguk–angguk. Wajahnya tampak
prihatin.
“Kamu sudah shalat?” Tanyanya.
Aku menggelengkan kepala.
“Ambillah air wudhu, lalu shalatlah terlebih
dahulu. Waktu ashar hampir habis.” Kata Kyai Husain.
Pelan–pelan keresahanku ciut. Aku malu pada
diriku sendiri. Betapa bebalnya imanku, aku berteriak–teriak mengkhawatirkan
nasib ummat tetapi aku sendiri lupa menjalankan kewajibanku.
Aku pamit pada Kyai Husain untuk ke surau. Kyai
Husain mengangguk–angguk perlahan. Beliau sedang asyik dengan tembakaunya. Selang
delapan atau sepuluh menit, aku sudah menghadapkan wajahku lagi pada Kyai
Husain.
“Bagaimana shalatmu?”, tanya Kyai Husain tiba–tiba.
Aku terkejut ditanya demikian. Bagaimana
shalatku?
“Eh, begitu, Kyai. Begitu saja. Alhamdulillah
saya sudah shalat sekarang.” Aku menjawab pertanyaan itu dengan terbata–bata.
“Apa yang kaupikirkan dalam shalatmu?” Kyai
Husain bertanya lagi.
Sebenarnya aku agak tersinggung ditanya–tanya
begini. Apa urusan Kyai Husain tentang shalatku? Bukankah itu urusanku dengan
Gusti Allah? Untuk apa Kyai Husain tanya–tanya segala? Tapi, karena aku sangat
menghormati Kyai Husain, mau bagaimana lagi? Aku tak mungkin mengatakan
kepadanya bahwa aku tersinggung. Aku juga tak mungkin menjawab, Bukan urusan
Anda, Kyai! Bisa–bisa nanti beliau yang tersinggung. Jika begitu, celakalah
aku. Bisa kualat aku. Apalagi Kyai Husain inilah yang dulu mengajari aku
shalat. Dari alif–ba–ta Al–Fatihah
sampai rukuk sujud gerakan shalat dia ajarkan kepadaku dengan penuh kesabaran.
“Eh… Anu, begini, Kyai… Soal shalat, biarlah
itu menjadi komunikasi batin antara saya dan Gusti Allah.”
Astagfirullah. Mengapa kata–kata itu juga yang keluar dari mulutku?
Astagfirullah. Mengapa kata–kata itu juga yang keluar dari mulutku?
Kyai Husain terkekeh. Kemudian agak terbatuk.
“Ya sudah… Soal agama, biarlah itu juga jadi urusan pribadi–pribadi dengan Tuhannya” Katanya, lalu beliau menghisap tembakaunya.
“Ya sudah… Soal agama, biarlah itu juga jadi urusan pribadi–pribadi dengan Tuhannya” Katanya, lalu beliau menghisap tembakaunya.
“Tapi, dalam shalatmu, kamu mikirin
copras-capres atau tidak?” Sambung Kyai Husan, kemudian tertawa lebar.
Aku jadi kikuk. Aku tersenyum–senyum malu.
“Iya, Kyai.” Aku memang tak khusuk dalam
shalatku tadi. Kepalaku dipenuhi kekhawatiran–kekhawatiran dan semacam
kebencian. Khawatir karena elektabilitas capres yang kubenci, yang begitu
membahayakan bagi umat Islam, terus saja tinggi dan sulit tersaingi. Maunya apa
sih ummat Islam Indonesia ini? Aku gelisah luar biasa dalam shalatku.
“Coba kamu ingat–ingat lagi,” kata Kyai Husain,
“Capres mana yang paling membuatmu gelisah dalam shalat?”
“Jelas dia yang musuh ummat, Kyai! Jelas dia
yang dikendalikan cukong–cukong asing! Jelas dia yang tidak pro kebijakan
syariah! Jelas sekali dia yang diharamkan para ulama untuk dipilih!” Aku
menjawab pertanyaan Kyai Husain dengan berapi–api.
Kyai Husain terkekeh. “Shalatmu begitu berat,”
katanya.
Aku kebingungan.
“Shalatmu penuh beban,” lanjut Kyai Husain.
“Aku tak pernah mengajarkan shalat yang penuh
beban.”
“Tapi, Kyai…” Aku berusaha memotong Kyai Husan,
“Mohon maaf. Ini memang masalah genting yang
sedang kita hadapi sebagai bangsa. Pemilihan presiden tinggal 20 hari lagi,
musuh–musuh Islam hampir saja menang!”
“Siapa yang kau sebut musuh–musuh Islam?”
“Capres boneka! Juga orang fasik di
belakangnya!” Jawabku dengan penuh semangat.
“Bukankah dia juga seorang Muslim?” Tanya Kyai
Husain.
“Saya meragukan keislamannya, Kyai! Itu pasti
pencitraan! Keislaman palsu!”
“Ajari aku tentang keislaman yang asli,
keislaman yang sejati?” Dengan tenang Kyai Husain mengajukan pertanyaan yang
sama sekali tak kuduga. Beliau masih menghisap tembakaunya.
“Eh, Kyai. Mohon maaf, Kyai. Saya tidak dalam
kapasitas untuk menjelaskan itu.” Tiba–tiba aku merasa malu pada diriku
sendiri. Apa hakku memberi batas dan ukuran–ukuran bagi keislaman seseorang?
Mengapa aku melabeli seseorang atau orang lain bahwa keislaman mereka palsu,
pencitraan dan harus diragukan?
“Kalau begitu bagaimana dengan keislamanmu
sendiri?” Tanya Kyai Husain.
Aku makin gelagapan. Bahkan shalat pun aku
masih sering terlambat. Hingga hampir kehabisan waktu. Bahkan jika shalat pun
aku masih memikirkan hal–ihwal ini–itu.
Apa hakku mengatur–atur keislaman orang lain? Bagaimana dengan keislamanku
sendiri? Aku tertunduk lesu. Tak bisa menjawab apa–apa dan tak bisa berkata apa–apa.
Aku hanya menggelengkan kepala.
Kyai Husain terkekeh.
“Ummat Islam lebih besar dari sekadar pemilu–pemiluan,”
jawab Kyai Husain,
“Agama ini lebih besar dari sekadar capres–capresan!” Beliau tampak lebih serius.
“Agama ini lebih besar dari sekadar capres–capresan!” Beliau tampak lebih serius.
Aku mulai memperhatikan perkataan Kyai Husain.
“Sebenarnya aku tak suka membicarakan ini.
Islam dan apapun saja di dunia ini tidak level untuk disbanding–bandingkan.
Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi lagi darinya, itu sudah final.
Kamu mau bawa–bawa Islam untuk urusan politik? Kamu tak lebih dari mereka yang
memperjualbelikan agama untuk urusan du-nia. Kamu mau membela ummat Islam?
Tanyakan itu sekali lagi pada dirimu sendiri, bukankah kamu sebenarnya sedang
melakukan segmentasi pemilih? Bukankah kamu ingin menggiring pemilih untuk
melihat mana capres Islam dan bukan Islam agar mereka bisa dikategori–kategorikan,
dikelompok–kelompokkan, agar syahwat kekuasaanmu dan sekelompok orang tertentu
bisa tercapai? Kamu ini sedang membela Islam, atau siapa? Kamu ini sedang
membela Gusti Allah atau membela orang-orang yang hanya mengaku–ngaku dekat
dengan Gusti Allah?”
“Lalu soal mengharam–haramkan. Soal bahwa
memilih capres tertentu diancam berdosa dan bahkan masuk neraka. Apa hakmu
untuk mengatur–atur urusan yang bahkan Rasulullah Muhammad pun tak mungkin
sanggup mencampuri urusan Gusti Allah itu? Apakah kamu sudah merasa lebih besar
dari Rasulullah dan Gusti Allah? Kamu boleh senang atau tidak senang dengan
capres tertentu atau siapapun saja, tetapi kamu tidak boleh senang melihat
ummat Islam terpecah belah, dipecah–belah. Kamu boleh senang dengan politik dan
segala tetek bengeknya, tetapi kamu tidak boleh senang melihat agamamu
dijadikan alat untuk mendulang suara—kamu tidak boleh mengharam–haramkan
sesuatu yang dengannya sebenarnya kamu sedang berusaha menghalal–halalkan
syahwat dan nafsu politikmu semata!”
Aku hanya bisa menunduk. Kata-kata Kyai Husain
benar–benar menampar hatiku.
“Tapi Kyai…” Aku berusaha memberi pembelaan,
“Situasinya sekarang sudah hitam putih. Sudah
jelas mana pembela Islam dan mana musuh Islam. Situasinya sudah genting!”
Kali ini Kyai Husain tampak marah.
“Dengarkan aku!” Katanya,
“Musuh Islam sejati adalah orang–orang munafik! Mereka yang dalam luka, baru mengaku saudara! Mereka yang dalam situasi yang menguntungkan dirinya saja baru mengaku–aku dekat dengan agama ini. Mereka yang menjadikan agama ini hanya sebagai atribut belaka! Mereka yang menyebarkan kebencian dan merasa bahwa dirinya paling beriman.”
“Musuh Islam sejati adalah orang–orang munafik! Mereka yang dalam luka, baru mengaku saudara! Mereka yang dalam situasi yang menguntungkan dirinya saja baru mengaku–aku dekat dengan agama ini. Mereka yang menjadikan agama ini hanya sebagai atribut belaka! Mereka yang menyebarkan kebencian dan merasa bahwa dirinya paling beriman.”
“Tapi… tapi…” Aku berusaha memotong Kyai
Husain. Tapi beliau tampak benar–benar geram dengan situasi ini.
“Islam tak membutuhkan orang–orang yang
menyebarkan kebencian sebagai jalan untuk meninggikannya. Gusti Allah tak perlu
dibela. Jika kamu pikir besok Islam akan habis jika calon presiden yang kau benci
itu menang, kamu sudah benar–benar mengkerdilkan dan meremehkan agama ini.
Apakah jika dia menang lantas kamu otomatis pindah agama? Kecuali kualitas
imanmu memang seperti kaus kaki yang kendur, kamu patut mengkhawatirkannya.
Khawatirkanlah kualitas keimananmu sendiri!”
Aku mulai berpikir rupanya Kyai Husain memang
punya pandangan politik yang berbeda denganku. Jangan–jangan beliau sudah
bergabung dengan pendukung calon presiden boneka. Jangan–jangan beliau sudah
sesat dan menjadi musuh Islam. Aku tak boleh menemuinya lagi. Ya, aku tak boleh
menemuinya lagi. Haram hukumnya bagiku untuk menemuinya lagi.
“Sebentar lagi, kamu akan menuduhku kafir.”
Tiba-tiba Kyai Husain seperti bisa membaca pikiranku. Lalu tertawa.
“Tidak apa–apa jika kau berpikir begitu. Kelak
di surgamu yang kamu bayang–bayangkan, mungkin kamu tidak akan menemukan orang–orang
sepertiku. Surgamu mungkin akan dipenuhi oleh orang–orang yang suka menunjuk–nunjuk hidung orang
lain sebagai sesat atau kafir atau musuh agama, sebab hanya diri mereka yang
benar. Mungkin perlu juga kamu pikirkan apakah di antara orang–orang seperti
ini terdapat kemungkinan untuk saling menyalah–nyalahkan dan mengkafir–kafirkan
juga? Sebab kebenaran hanya benar menurut dirimu sendiri, bukan? Di surga semacam
itu, mungkin kamu akan hidup sendirian!”
Kyai Husain terkekeh.
Aku berada pada situasi yang benar–benar
membingungkan Aku mulai ragu pada diriku sendiri. Apa yang dikatakan Kyai
Husain benar–benar menampar hati dan kesadaranku.
“Maafkan saya, Kyai.” Tiba–tiba aku memohon
maaf padanya. Akal sehat dan nuraniku memerintahkannya.
Kyai Husain hanya tertawa, sambil sesekali
menghisap lintingan tembakaunya yang hampir habis.
“Kau tak perlu meminta maaf padaku,” katanya,
“Tapi kau harus mulai berpikir, bahwa calon
presiden yang kamu bela atau calon presiden yang kamu benci tak akan menentukan
apa–apa bagi kualitas keimanan dan ketakwaanmu sebagai individu. Itu urusan
pribadimu sendiri dengan Gusti Allah.”
Aku mengangguk-angguk setuju.
“Perbaiki shalatmu,” kata Kyai Husain,
“Perbaiki apa saja yang buruk pada dirimu. Lalu
berbuat baiklah pada sesama. Jangan gadaikan agamamu hanya untuk sesuatu yang
sementara seperti pesta demokrasi lima tahunan ini.”
“Tapi kita harus memilih, Kyai.”
Kyai Husain mengangguk.
“Aku setuju. Pilihlah yang paling cocok menurut pertimbangan akal dan hati nuranimu.”
“Aku setuju. Pilihlah yang paling cocok menurut pertimbangan akal dan hati nuranimu.”
Aku mengangguk-angguk, “Terima kasih, Kyai.”
Magrib hampir tiba. Kyai Husain mangajakku ke
surau untuk shalat magrib berjamaah. Aku menyetujui ajakannya.
“Selesai shalat, orang–orang akan membicarakan hal
yang sama,” Kyai Husain sambil tersenyum dan menggeleng–gelengkan kepala.
“Tidak apa-apa,” katanya,
“Ini sedang masanya. Kelak kita akan kembali
pada urusan masing–masing, pada problem hidup masing–masing, pada takdir dan
nasib kita masing–masing, dan harus berjuang untuk menyelesaikannya sendiri–sendiri.”
Aku mengangguk.
“Saya akan memilih calon presiden yang paling
baik, yang bisa membantu rakyat untuk menyelesaikan problem–problem keseharian
mereka, Kyai.”
“Nah, kali ini pertimbanganmu benar.” Kata Kyai
Husain.
“Alasan itu saja yang kau jadikan pertimbangan
untuk menentukan pilihanmu, tak usah repot–repot bawa agama.”
Aku tersenyum. Ada semacam kelegaan dalam
hatiku mendengar persetujuan Kyai Husain tentang pendapatku. Aku sengaja
memelankan langkahku, ingin melihat Kyai Husain dari belakang. Aku memerhatikan
langkah ritmisnya, rambut putihnya, sarung hijaunya, juga surban yang tak lepas
dari kepalanya.
“Kyai…” Tiba-tiba aku ingin memanggilnya.
Kyai Husain menoleh.
“Siapa yang Kyai pilih?”
“Tak ada yang sempurna,” Jawabnya.
“Seperti kita tahu, tak ada manusia yang
sempurna. Bahkan Muhammad tak memiliki suara merdu seperti Daud, tak memiliki
kemampuan fantastis seperti yang dimiliki Sulaiman, bahkan mungkin saja tak seberani
Ibrahim atau setangguh Musa. Aku akan memilih calon presiden yang paling
mengetahui bahwa dirinya tak sempurna dan dia yang paling bisa menghargai kemanusiaan
sesama.”
Aku tak bisa menebak pilihan Kyai Husain.
“Siapa orangnya, Kyai?”
Kyai Husain hanya tersenyum, lalu terus berjalan
menuju surau.
Usai shalat magrib, aku menyadari bahwa aku
kembali tidak khusuk dalam shalatku. Sepanjang shalat, aku terus berpikir
tentang pilihanku dan memerhatikan Kyai Husain yang menjadi imam. Ada bacaan
shalat Kyai Husain yang menurutku keliru pelafalan dan tajwidnya.
Mungkin memang sulit mencari imam yang
sempurna, pikirku. Tetapi dalam shalat berjamaah, semua orang diberi Allah
derajat pahala berlipat ganda. Aku mulai sadar, kebaikan yang paripurna tak
bisa dicapai sendirian. Aku terus memerhatikan Kyai Husain yang kali ini tampak
sedang berdzikir. Kepalanya mengangguk–angguk ritmis. Aku belum tahu jawaban
Kyai Husain tentang calon presiden pilihannya... Tapi aku mulai ragu pada
pilihanku sendiri.
----
Melbourne, 21 Juni 2014
*Penulis: Fahd Pahdepie atau dikenal
juga dengan nama pena Fahd Djibran adalah mahasiswa Postgraduate di School of
Politics and International Relations, Monash University, Australia. Saat ini
tinggal di Melbourne (dari akun akhi Rijal Pakne Avisa)