Kamis, 25 Januari 2007

Pendidikan Anak

Mereka yang pernah ikut leadership training, mungkin pernah diajak simulasi bahwa kata-kata yang kita bisikan kepada seseorang disebelah kita dan kemudian ditransfer kepada orang lain secara berantai dan dalam hitungan menit saat tiba pada orang ke lima (misalnya); akan berubah susunan katanya. Masih mending kalau kesemuanya tidak merubah arti dan makna dari kalimat yang ingin disampaikan. Bayangkan kalau terjadi penyimpangan arti.

Begitu juga tatkala kita membaca sebuah buku dan mendiskusikan isi buku tersebut beramai-ramai, maka atas satu judul buku  dengan isi yang sama akan muncul beragam tanggapan sesuai dengan interpretasi dan sudut pandang masing-masing orang. Dan begitu pula kala kita ingin megupas suatu masalah dan mengutip kalimat atau bagian dari ucapan narasumber sebagai salah satu referensi dari tulisan kita, maka kita akan mengutip hanya sebagian kecil dari isi buku/ucapan narasumber yang bisa “memberikan tekanan/dukungan” atas bahasan yang kita kemukakan. Itu sebabnya, dalam menafsirkan sesuatu, kita dianjurkan juga untuk meneliti “asal-usul atau sebab-sebab” dari timbulnya suatu tulisan dan atau pernyataan sang narasumber

Beberapa waktu yang lalu, tulisan saya berjudul “Ruang Kosong dalam Kehidupan”,  mendapat tanggapan yang cukup menarik dari seorang bapak muda. Saya sebut muda, bila dibandingkan dengan usia saya. Menarik, karena tanggapan itu membuktikan kepada kita semua akan beberapa hal, antara lain betapa pentingnya “mengetahui” latar belakang sebuah tulisan apalagi bila tulisan itu dibuat berdasarkan “fakta”. Kemudian bahwa dalam membaca sebuah karya tulis, setiap memiliki sudut pandang yang berbeda.

Yang beruntung, saya lagi… hahaha, karena berdasarkan tanggapan itu, saya memiliki ide lagi untuk menuliskan sesuatu.  Jadi …. Selalu ada hikmah dari setiap kejadian. Nah tulisan baru itu, selengkapnya begini :
***

Terima kasih atas tanggapan anda[1] atas tulisan saya “Ruang Kosong dalam Kehidupan”[2] di suatu milis alumni. Tulisan anda sangat menarik perhatian saya untuk menanggapi secara personal. Apa yang anda katakan membuat ingatan saya kembali menerawangi masa sekitar 15 tahun yang lalu. Masa ketika anak lelaki saya seusia anak anda saat ini. Namun tanggapan ini saya kirim via japri dengan beberapa tembusan kepada teman-teman yang memiliki anak seusia SD. Saya tidak ingin berpolemik tentang pendidikan anak di milis terbuka. Saya bukan pendidik dan apa yang saya tuliskan hanyalah petikan dari pengalaman pribadi/teman ditambah dengan pengamatan lingkungan saja. Memang petikan cerita yang ditulis tidak akan menggambarkan secara penuh hubungan anak – ibu atau istri – suami, tetapi merupakan episode pendukung dari inti tulisan yang dimaksud. Saya juga tidak ingin kerepotan menjawab bila ada yang mengulas dari sudut akademis. Tapi saya tidak berkeberatan untuk berdikusi dan berbagi pengalaman dengan siapapun.

Pertama-tama, dengan tulus hati, saya ucapkan selamat …. bahwa sampai saat ini anda sudah berhasil mendidik 2 (dua) orang anak yang masih bersekolah di SD, titipan Allah SWT menjadi anak yang baik, pandai, mandiri dan tidak putus berkomunikasi dengan orangtua walaupun hanya melalui telpon dan sms. Juga karena anda dan istripun merasa tidak putus berkomunikasi dengan anak, terutama saat berada di luar rumah. Semoga semuanya berjalan lancar.

Ada baiknya saya bercerita juga mengenai latar belakang tulisan “Ruang Kosong Kehidupan” tersebut. 2 anak saya, lelaki dan perempuan. Keduanya masing-masing tumbuh sebagai “anak tunggal” karena mereka berselisih 15 tahun. Anak lelaki, alhamdulillah, selesai kuliah Matematika di QUT, 2 tahun lalu. Itupun setelah dia “membelot” dari jurusan Electro yang telah diikutinya selama 2½ tahun. Sekarang dia sudah menikah dan tinggal di Cairn. Sementara anak perempuan masih duduk di bangku kelas 4 SD. Tinggal di Jakarta dengan bapak/ibunya yang keduanya sudah berusia lebih dari ½ abad.

Mengurus anak kedua saat ini, walaupun sudah memiliki pengalaman sebelumnya ternyata tidak juga membuat saya merasa nyaman. Selalu saja ada perasaan berdosa, manakala melihat wajah tak berdosa itu sedang tidur. Betapa saya, ibunya, tidak memiliki waktu yang cukup bagi anak-anak. Padahal, saya tidak pernah mempunyai pengasuh khusus bagi kedua anaksaya, saat mereka masih bayi dan balita. Bahkan, mulai bekerja kembali setelah melahirkan, saya diijinkan untuk membawa bayi ke kantor. Maka saat itu, anak perempuan saya menjadi karyawan termuda …  dan itu berjalan selama 13 bulan.

Anak lelaki, saat kecil bersekolah di SDN Jakarta Pusat. Sekolah Dasar Negeri yang kualitasnya tidak perlu diragukan. Dia sangat aktif. Sejak duduk di kelas 1 sampai tamat, semua kegiatan ekstra kurukulum diikutinya. Mulai dari mengaji, pramuka sampai dengan marching band. Dia juga pandai … piala juara kelas tak pernah luput diraihnya. Sangat mandiri … pulang sekolah, tanpa komando selalu membuat PR. Orangtua, saat pulang kantor tidak perlu lagi menyuruh atau memeriksa lagi. Yakin bahwa PR akan selalu dikerjakan dengan benar.

Selain itu, sejak kelas 3 SD, kami sudah memberinya uang saku mingguan dan secara berangsur, saat kelas 5 uang saku sudah diberikan bulanan, yang diaturnya sendiri untuk kebutuhan transport dan makan siang sepulang sekolah, menjelang dia mengambil bus pulang kerumah. Perjalanan pulang ke rumah dilakukan dengan kendaraan umum. Menempuh rute perjalanan sekolahnya–Sarinah dengan Bajaj, untuk mengambil bus jurusan Bekasi; lalu angkot untuk kemudian berhenti di depan perumahan Kemang Pratama di Bekasi. Biasanya dia akan tiba di rumah antara jam 14.30 – 15.00 setiap hari. Pulang ke Bekasi naik bus dilakukannya sejak dia duduk di kwartal terakhir kelas 4.

Prestasi sekolah lainnya …? Guru dan teman-temannya menjuluki “Record’s Breaker”. Dia mengukir berbagai prestasi yang sebelumnya tidak berhasil ditembus oleh pendahulunya. Saat tamat SDN, dia berhasil mempersembahkan dan mengukir prestasi terbaik yang mampu diraih sekolah tersebut hingga tahun 1984, yaitu Juara Lomba Matematika DKI, dari mulai tingkat kecamatan Menteng – Wilayah Jakarta Pusat – DKI Jakarta) dan Juara Harapan I Lomba Matematika Tingkat Nasional. Pada tahun yang sama, menjadi Pelajar Teladan tingkat SD – DKI Jakarta dan memperoleh NEM tertinggi di Wilayah Kecamatan Menteng - Jakarta Pusat dan tentu saja di sekolahnya.

Ada yang salah dari kami orangtuanya? Rasanya tidak …. Kami, orangtua yang keduanya bekerja, merasa “sangat berhasil” mendidik anak dalam keterbatasan waktu yang ada dan orang di luar, yang tahu, tidak bisa menyangkalnya. Hasilnya jelas sekali …. Prestasi sekolah dan perilakunya yang santun, mudah diatur dan sangat mengerti atas segala keterbatasan orangtuanya. Komunikasi berjalan dengan baik, diskusi  bisa dilakukan di meja makan pada malam hari atau saat berjalan kaki di komplek perumahan, menjelang tidur. Saat itu, jalur Jakarta – Bekasi belum macet, sehingga setiap malam, kami masih sempat berjalan-jalan mengitari kompleks sambil ngobrol dan bercanda. Bahkan, kalau sedang berjalan di toko dan dia meminta sesuatu, lalu saya bilang …”cium dulu dong…!”, tanpa ragu dia akan mencium pipi saya, kiri dan kanan. Banyak orangtua temannya yang bertanya bagaimana kami melakukannya. Kami tak mampu menjawab. Kami memang tidak tahu mengapa dan bagaimana. Kami tidak banyak berteori. Hanya menjalankan hidup seperti air yang mengalir. Kalaupun hasilnya dianggap baik, itu semata anugerah Allah SWT yang patut disyukuri.

Teman kantor saya ArSa, mengikuti semua proses itu. Kami sering bertukar pikiran dalam banyak hal walaupun saat itu dia belum menikah. Dia juga anak tunggal, masa SDnya dilalui di sekolah yang sama  dengan prestasi  sekolah yang sangat baik. ArSa seringkali mengingatkan saya bahwa mengacu pada pengalamannya semasa remaja, anak-anak terutama anak tunggal sangat membutuhkan orangtua. Kehadiran orangtua yang bukan hanya dalam bentuk suara di telpon atau segala macam teori mengenai kualitas hubungan orangtua – anak dalam kaftan dengan pendidikan/perkembangan kejiwaan.

”Itu omong kosong”, begitu ArSa berkata.

”Teori itu dilakukan oleh orang tua dan dari kacamata orangtua. Bukan dari kacamata si anak. Gue ngerasaain semuanya dan karenanya gue pengen sharing sama kamu. Gue ngeliat ada banyak persamaan antara gue dengan anakmu!”, sambungnya dengan penuh simpati.

ArSa yang lulusan Planologi ITB itu lalu menceritakan perkembangan hubungannya dengan orangtua terutama ibu, fase demi fase sejak dari SD dan puncaknya saat dia berdebat dengan orangtuanya, meminta ibunya berhenti bekerja. Reaksi saya .... persis seperti reaksi anda ketika membaca tulisan saya. Tidak kurang dan tidak lebih. Dan ArSa tidak segan mengingatkan ...:

”Mbak ... anakmu masih duduk di bangku SD, perjalanan masih jauh. Jangan lupa itu dan jangan takabur. Masih ada masa-masa rawan yaitu masa remaja dimana anak akan mengalami goncangan dan pengaruh lingkungan luar yang sangat besar. Di masa itulah saya mulai memprotes ”kekosongan” yang saya alami!”, begitu katanya.

”Kita lihat saja nanti...., setiap anak punya karakter masing-masing dan mereka akan bereaksi sesuai dengan karakternya. Dan kamu sih ... memang dasarnya aja egois dan megalomane”, begitu tanggapan saya sambil bercanda, ingat bahwa lulusan ITB seringkali dikatakan sebagai Megalomane.

Begitulah, tahun demi tahun berlalu dan semua fase yang diceritakan ArSa terjadi walau dalam bentuk yang berbeda tetapi masih dalam koridor yang sama. Apakah saya menyesal ...? Sepenuhnya tentu saja tidak!!! Itu merupakan pengalaman hidup yang harus saya lalui. Pembelajaran hidup sebagai orangtua agar saya selalu berintrospeksi dalam mengelola hubungan dengan anak. Apalagi lahir anak ke dua, saat si sulung duduk di bangku SMP kelas 3.

Sementara itu saat duduk di bangku SMP dan SMA di Rawamangun, prestasi anakpun masih tetap baik, aktif dan mandiri. Tidak pernah luput dari peringkat terbaik di kelasnya. Saat naik ke kelas 3 SMP, dia terjaring untuk masuk ke kelasnya para juara dan di SMA terpilih masuk program akselerasi. Kegiatan olahraga, terutama sepakbola tetap diikuti bahkan hingga suatu kali dia harus dioperasi karena tulang hidungnya patah. Satu hal yang saya kagumi darinya, kegemarannya menonton film asing dan dipengaruh oleh musik yang selalu terpasang di mobil (Beatles, Chicago, Phill Collins dll) mengantarnya menjadi fasih berbahasa Inggris tanpa mengikuti kursus sekalipun. Bahkan sekolahnyapun sempat mengutusnya menjadi peserta debat bahasa Inggris yang diselenggarakan di UI, walaupun tidak mendapat gelar juara.
***

Semalam (Sabtu malam, 20 Januari 2007), secara tidak sengaja saya mengikuti acara talkshow di O’Channel dengan pembicara Putrie Soehendro. Sayang saya terlambat mengikuti acara tersebut, tapi selintas saya menangkap bahwa Putrie Suhendro berprofesi sebagai pendongeng (mungkin dia berlatar pendidikan psikologi). Perempuan muda yang sudah menikah namun belum memiliki anak walau sudah menikah bertahun-tahun. Ada ucapannya yang saya “amien-i”;

“Seorang anak, membutuhkan orang tua (terutama ibu), bukan hanya dalam bentuk suara yang terekam dalam kaset untuk diperdengarkan manakala si ortu absen. Tetapi mereka membutuhkan kehadiran, aura, aroma, sentuhan, ekspresi dan kesemuanya akan membaur menjadi suatu interaksi interpersonal yang akan menjadi nutrisi kalbu mereka. Maka, jangan bicara tentang kualitas, bila kita tidak bisa memenuhi kebutuhan akan nutrisi kalbu tersebut Istilah Nutrisi Kalbu ini sangat dalam maknanya dan ini sangat mempengaruhi kehidupan seorang anak dalam meniti kehidupannya kelak saat dia dewasa. Jangan abaikan ini”

Kenapa saya menekankan ucapan tersebut? Orangtua, seringkali mengabaikan fakta bahwa kehadiran dan sentuhan adalah faktor penting dalam komunikasi. Saya ingat sekali, saat anak lelaki saya masih di SD, setiap hari Sabtu, saya selalu berusaha menjemputnya pulang sekolah. Ada binar kebahagiaan yang sukar saya lupakan hingga sekarang. Begitu juga dengan anak perempuan saya yang berumur hampir 9 tahun itu.

Suatu kali, saat sedang jenuh dengan suasana kantor, saya pulang lebih awal dan menelpon ke sekolahnya, bahwa hari itu saya akan menjemput anak, sehingga dia tidak perlu ikut mobil sekolah. Saat saya tiba di sekolah ... dia sudah menunggu di halaman sekolah, segera berlari kencang dengan raut muka yang sangat bahagia. Sambil berjalan pulang, di mobil dia bercerita tentang segala pengalamannya di sekolah dengan intonasi yang sangat berbeda dengan intonasi suara saat saya menelpon ke rumah dari kantor pada jam di pulang sekolah. Kejadian ini membuat saya berjanji dalam hati akan berusaha meluangkan waktu minimal 1x dalam sebulan, menjemputnya ke sekolah.
***

Hari ini, minggu 21 Januari 2007, harian Republika memuat berbagai artikel mengenai hubungan anak-anak dengan orangtuanya. Salah satu artikel yang saya baca adalah ”Tak Cukup lewat SMS dan Telpon”. Inti artikel tersebut adalah bahwa komunikasi orangtua yang bekerja dengan anak harus disertai dengan kualitas perhatian yang penuh, yang antara lain bisa dipenuhi dengan cara; tatkala anak bertemu dengan orangtua dan mengajaknya bercakap-cakap, maka orangtua harus menjawabnya dengan perhatian penuh. Tidak boleh dilakukan sambil melakukan pekerjaan yang lain walaupun itu dalam bentuk membaca koran. Pengiriman SMS dan Telpon bukan cara untuk menggantikan kehadiran ibu, tetapi malah akan menjadi boomerang karena alih-alih merasa diperhatikan, anak malah merasa dituntut, merasa ada polisi yang mengawasi.

Kecenderungan orangtua membawa pengasuh saat berjalan-jalan/berekreasi dengan anak ke Mall atau kemanapun, harus dihentikan. Orangtua harus melayani anaknya, menyuapi anak-anaknya yang belum mampu makan sendiri. Hal itulah yang mampu membangun kualitas interaksi orantua – anak. Bila anak-anak masih dilayani pengasuh saat orangtua ada di sampingnya/rumah, maka kita patut bertanya ... Kualitas hubungan orangtua-anak macam apa yang hendak kita bangun?

Perjalanan mendidik anak masih panjang. Kalau usia anak-anak kita masih berada di kisaran 10 tahun (masih siswa SD), masih ada jenjang SMP dan SMA, masa remaja yang sering dikatakan para ahli sebagai masa rawan pendidikan anak, karena di masa ini, anak-anak mulai menunjukkan eksistensinya dalam berbagai bentuk.

Konon, anak yang dididik secara mandiri, kritis dan demokratis akan menjadi anak yang pemberontak di sekolah dan kritis terhadap apa-apa yang dirasanya tidak sesuai dengan etika yang dianut dan yang diterima, sebagai hasil didikan orangtua.

Saya sudah melalui masa ini, yaitu masa merawat dan mendidik anak lelaki hingga melepaskannya menikah di negara orang dua tahun yang lalu, di usianya yang masih muda 22 tahun, walaupun tidak selamanya berjalan mulus. Masih ada anak gadis kecil berumur hampir 9 tahun yang masih memerlukan perhatian. Tentu saja, pengalaman mendampingi anak lelaki tersebut, menjadi referensi dalam mendidik anak kedua. Namun saya sadar betul, bahwa setiap anak terlahir unik. Ada perbedaan karakter ... perbedaan waktu yang juga mengubah nilai dan norma kehidupan. Apalagi, jenis kelamin ke dua anak tersebut, berbeda. Tentu pendekatan dalam mendidikpun akan berbeda.

Saya tidak ingin gegabah dan merasa telah sangat berpengalaman dalam mendidik anak. Tetapi, saya tahu bahwa saya akan mendapat pengalaman yang berbeda dalam setiap episode kehidupan anak yang sangat unik dan itu tak akan habis-habisnya untuk diceritakan.

Semoga para orang tua senantiasa ingat, bahwa anak adalah titipan Allah SWT. Sebagai titipan, kita wajib memelihara dengan baik agar saat pemiliknya nanti menuntut kita mempertanggungjawabkan ”Masa Pemeliharaan” yang diberikanNya kepada kita, maka kita, orangtuanya, Insya Allah mampu mempertanggungjawabkan bahwa ”sang Titipan” sudah dipelihara sesuai SOP – Standard Operating Procedure yang dikehendakiNya, yaitu Al Qur’an (bagi umat Islam) dan teladan yang diajarkan Rasulullah SAW.
Lebak bulus, 21 Januari jam 09.25


[1] xxxxx xxxxxx <xxxxxx@yahoo.com> wrote:
Sebetulnya 'ruang kosong' itu muncul karena 'lack of communications & connections'. Makanya dalam rumah tangga 'communication' itu penting. It doesnt require 2 people to look at each other all the time but They have to LOOK AT THE SAME DIRECTION! & 'connection' means emotions contact / feeling.

Terus terang aja, keluarga kami, saya & istri saya bekerja, tetapi selalu ada waktu untuk mengantar (saya)/menjemput (istri saya) mereka selepas sekolah. Kalau saya lagi dinas, saya pastikan anak2 saya baik2 & tidak terlambat bangun untuk ke sekolah. In the conversation on the phone, there is always emotional connection which I can feel or they can feel it. Its not about expressing 'how much you love them?'... but by understanding the tone, we know & they know that we look after & care !!!

Karena itulah, meski mereka baru 9th & 11 th, mereka mandiri, know what they do & they want and tell everything frankly to us about whats going on!

contohnya:
Saya surprised juga, ketika anak saya yang pertama (11th) suatu hari cerita kalau dia sudah dapat pre-pubertas. 
Saya tanya, emang tanda2-nya apa? Dengan lancar dia bercerita & menyimpulkan kalau dia sudah dapat masa pre-pubertas. Dan cerita kalau dia dapat pengarahan itu dari guru kelasnya serta bahan2 referensi lainnya yang dia temui internet (kids forum)!!!

so ... its depend on how you drive it ! kids feeling lonely, getting lost or being ignored?... something wrong & you have to fix it!

Wassalam,
-AS E87-

Senin, 22 Januari 2007

Perubahan perbedaan usia dalam pernikahan.

Minggu 14 januari 07 yang lalu, kami sekeluarga pergi ke Cianjur. Ada staff kantor yang menikah di kampung halamannya, kampung Cijaring – kecamatan Cibeber Cianjur. Sebetulnya, dari kantor sudah disediakan big-bird, kapasitas 44 kursi. Tapi karena anak-anak kantor merencanakan berangkat jam 06.00 pagi dengan niat menghadiri akad nikah yang akan diselenggarakan tepat jam 09.00, maka saya membatalkan ikut bus.  Maklum sajalah … setiap hari minggu, otak dan otot sudah diset untuk istirahat. Jadi lepas shalat subuh, selimut ditarik lagi untuk menutupi badan. Apalagi, upacara rutin di pagi hari, biasanya cukup heboh. Baca koran sambil makan buah ditambah kopi/teh…., lalu membersihkan residu makan malam dari tubuh, masih sambil membaca koran, baru mandi. Kesemuanya tak bisa dilakukan sambil dikejar-kejar waktu. Mesti santai, badan dan pikiran. Kalau tidak, bisa-bisa, ritme biologis hari yang terkait menjadi berantakan dan kacau. Untuk kembali kepada ritme biologis yang normal, membutuhkan waktu berhari-hari. Ini pasti sangat melelahkan dan menyebalkan.

Dengan pernikahan Rusma di Cianjur, maka jomblo di kantor tinggal satu saja, Patricia si bungsu. Bungsu karena dia memang baru bekerja selama 6 bulan saja. Tetapi juga bila dilihat dari umurnya. Iphet, begitu panggilan sehari-harinya gadis Batak bermarga Tambunan, seusia dengan anak sulung saya.

Sebelumnya, ada Rina yang kemudian pindah ke Malang. Ternyata udara Malang yang sejuk membuatnya menemukan pelabuhan hati. Syukurlah … dia juga akan menikah pada tanggal 3 Februari yang akan datang, lagi-lagi di kampung halamannya, Surabaya, di usianya yang sudah lebih dari 30 tahun.

Ada yang menarik dari kedua pernikahan ini. Keduanya …. adalah wanita yang berjodoh dengan lelaki yang berusia lebih muda. Salahkah…? Nggak juga …. Namanya jodoh! Rasul saja, ketika menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, usianya lebih muda 15 tahun lebih muda. Di keluarga suami saya, beberapa ipar saya memiliki istri yang usianya lebih tua. Dari yang hanya berbeda beberapa bulan saja hingga 2 tahun. Tidak lebih.
***

Pernikahan pada beberapa dekade yang lalu biasanya dilakukan antara lelaki yang usianya lebih tua dari istrinya. Jarang yang usia istrinya lebih tua. Yang menghebohkan mungkin kala Suzanna, artis senior yang seringkali berperan dalam film mistik menikahi Cliff Sangra yang usianya sebaya dengan Kiki anak perempuannya, usai bermain dalam film Sangkuriang. Orang bilang, pernikahan mereka dikarenakan “ketulah” dengan peran masing-masing dalam film tersebut. Kemudian pernikahan Onky Alexander dengan Paula Ayustina Saroinsong dengan perbedaan umur sekitar 10 tahun.

Tahun 2000 an ini, terlihat ada kecenderungan peningkatan jumlah pasangan yang usia perempuannya lebih tinggi dari usia lelaki. Atau kalaupun menikah dengan lelaki yang berusia lebih tua, namun perbedaan usianya sangat ekstrim, di atas 10 tahun. Bahkan ada beberapa perempuan yang bersedia menikah dengan lelaki yang usianya hampir seusia bapaknya. Di kantor saya, dari 10 orang perempuan yang sudah menikah, ternyata 4 orang menikah dengan lelaki yang usianya lebih muda antara 4 – 5 tahun.

Bagaimana kondisi riel di masyarakat. Di abad ke 21 ini, ada kecenderungan bahwa perempuan sekarang lebih dominan dan agresif dalam hubungan antar jenis. Ini terjadi tidak saja di kalangan orang dewasa saja, tetapi juga di kalangan remaja. Sayang, angket/survey mengenai perubahan perilaku masyarakat, tidak umum dilakukan di Indonesia. Ini berbeda dengan negara maju. Padahal hasil survey yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat serta kecenderungan perubahannya sangat penting dan berguna sebagai salah satu aspek yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah agar strategi dan kebijakan yang dijalankan menjadi lebih terarah.
***

Orang bilang, pernikahan yang ideal itu, dilakukan antara pasangan yang usia suami lebih tua 4 – 6 tahun daripada usia isteri. Ini berkaitan dengan kondisi fisik dan biologis pasangan tersebut kelak, yaitu yang berkaitan dengan hubungan biologis saat istri memasuki masa menopause. Saat memasuki menopause, perempuan mengalami banyak perubahan fisik dan psikis yang dapat mempengaruhi kualitas hubungan suami isteri. Sementara, pada lelaki perubahan fisik dan kemampuan biologisnya relatif tidak mengalami perubahan apapun, kecuali bila dia menderita Diabetes Mellitus. Itu sebabnya, dalam perkawinan dianjurkan agar usia lelaki lebih tua dari perempuan. Tetapi perbedaannya pasangan suami – isteri sebaiknya tidak seperti usia Koes Hendratmo dengan Aprilia ... Itu pernikahan keblinger antara bapak dengan anak. Eh, tapi saya ingat, ada sepupu saya yang menikah dengan lelaki asal Amerika. Dan usianya hanya berbeda sekitar 3 tahun dari usia bapaknya.

Konon kelahiran, pernikahan (jodoh) dan kematian itu adalah rahasia Allah SWT.  Termasuk keserasian biologis dari pasangan suami istri yang memiliki perbedaan usia yang ekstrim terutama bila usia istri lebih tua dari usia suami. Jadi ... itu adalah salah satu rahasia alam yang diaturNya. Wallahu’ alam

Lebak bulus, kamis 18 january 2007 at 22.30 and reedited on Sunday evening 21 january – 22.55.

Rabu, 17 Januari 2007

Ruang kosong dalam kehidupan

Ada ruang kosong kehidupan yang hanya bisa diisi oleh perempuan melalui naluri keibuannya. Ruang kosong itu adalah sebagian dari kebutuhan anak-anak dan atau pasangan atau partner hidup kita. Itu yang sering dilupakan perempuan dan para ibu muda, terutama mereka yang masih sibuk mengejar karier.


Memang tidak mudah untuk menangkap signal kebutuhan dasar anak-anak akan perhatian orangtuanya terutama dari ibu. Kita seringkali mendengar banyak wanita karier berkata bahwa dalam mendidik anak dan memberi perhatian, kualitas jauh lebih penting daripada kuantitas. Pada kenyataannya, yang dinamakan kualitas menurut versi orangtua, lebih banyak bersifat materialistis. Misalnya saja, jalan-jalan ke Mall, untuk makan bersama atau sekedar membeli buku. Itupun, dilakukan dengan melibatkan para pengasuh anak agak orangtua terbebaskan dari kerepotan mengurus anak selama acara bersama tersebut. Jadi, dalam mengisi kualitas pertemuanpun, anak lebih banyak ditangani oleh para pengasuhnya, sementara orangtua asyik ngobrol. Hanya sesekali saja diluangkannya waktu menyapa anak. Benarkah hanya itu yang dibutuhkan anak? Bisakah “kualitas” pertemuan diterjemahkan dari sudut pandang si anak?
***


“Ma, … aku tadi jatuh di kamar mandi. Tanganku bengkak dan sakit”, begitu kata seorang gadis kecil, saat menelpon ibunya yang sedang dalam perjalanan pulang sehabis bekerja sepanjang hari.
“Tuh, kan .... pasti main air lagi”. Teringat kebiasaan si gadis yang sangat suka bermain air di kamar mandi. Bayangkan saja, 100 ml isi shampoo habis digunakan dalam waktu satu minggu saja. Begitu juga dengan shower gel. Entah bagaimana cara dia menggunakan sabun dan shampoo, yang pasti begitu dia keluar dari kamar mandi, maka harum shampoo atau sabun akan langsung menyerang penciuman kita.


”Bapak sudah pulang?”
”Sudah ..., lagi baca koran”
”Sudah bilang sama bapak...?”
”Sudah .....”


Tiba  di rumah, seusai shalat maghrib dan makan malam, gadis kecil mendekat, memperlihatkan jari telunjuk kirinya yang bengkak dan membiru. Si ibu melihat ke arah suami yang juga ikut memperhatikan jari tangan yang bengkak itu.


”Jam berapa jatuhnya dan bagaimana?”
”Tadi siang ... kira-kira jam dua. Nggak tahu gimana jatuhnya, lupa....”
”Kok nggak bilang dari tadi? Kan bisa langsung pergi ke haji Naim[1], minta tolong oom atau mami[2]


Baik anak maupun suami, diam tak berkomentar. Dalam raut wajah gadis kecil, terbayang jelas ”ketakutan”. Takut karena membayangkan rasa sakit saat dipijat. Sementara itu, sukar untuk menterjemahkan diamnya si bapak. Entah apa yang dipikirkan saat itu..... Menyesali keterlambatan si ibu pulang dari kantor? Entahlah....


Usai menelpon adik yang biasa berhubungan dengan ibu haji, si ibu menyiapkan teh manis hangat, untuk minum si gadis saat jeda di antara pijatan, maka pada jam 21.30 keluarga tersebut berangkat ke bilangan dapur susu – Lebak Bulus. Usai dipijat/urut malam itu, si gadis terpaksa diijinkan ”mengisi” pojok tempat tidur orangtuanya. Katakanlah itu sebagai kompensasi kesediaannya merasakan sakit saat dipijat tadi. Ditambah kemanjaan anak gadis yang masih berumur 8½ tahun itu dan rasa khawatir ibunya. kalau-kalau demam menyerangnya sesudah pijatan yang menyakitkan itu.
***


”Ma .... minta data passportnya ya, sekalian juga datanya bokap” message itu masuk di yahoo messenger, Jum’at siang itu.
”Kapan perlunya? Aku nggak ingat detilnya. Week end ini, aku bikin foto passportnya deh. Senin kukirim ya. Jadi, liat aja datanya disitu”.
”Kalo perforation number dan registration number itu apaan sih?”,
”Maksudnya apa sih?”
”Itu pertanyaan dari formulir isian perpanjangan passport”
”Coba lihat di pinggiran passport ... ada lubang-lubang kecil yang berisi huruf dan angka biasanya sama dengan nomor passport. Pasti itu yang dimaksud. Kalau Registration number, mungkin bisa dilihat di halaman terakhir passport. Ada data pemilik di situ, termasuk nomor file. Nah nomor file itu, mungkin yang dimaksud sebagai registration number”.
”Oke deh....”


Duh .... anak ini, udah gede, soal kecil begitu aja ditanyain ke ibunya. Dia ini betul-betul duplikat bapaknya. Kalau ada masalah, nggak perduli besar atau kecil, istrinya (perempuan) juga yang harus menyelesaikan masalah. Mereka (lelaki) cuma mau tahu beresnya saja.
***
Ini kejadian sekitar 5 tahun yang lalu, saat anak lelaki masih kuliah di Jakarta dan sesekali ke kampus UI Depok untuk praktikum.


”Aku sudah selesai ngajar nih ... tolong dong cari anakmu untuk jemput saya di jurusan dan langsung pulang”, begitu pesan suami melalui telpon. Kalau sudah begini, nggak ada kompromi. Si ibu mesti mencari anaknya yang entah ada di belahan kampus mana. Padahal kedua lelaki itu, masing-masing memiliki telpon genggam. Jadi mereka sebetulnya bisa langsung berkomunikasi. Tetapi kenyataannya komunikasi untuk urusan cari-mencari dan menetapkan posisi kedua orang itu di areal kampus UI Depok yang konon katanya seluas 300ha itu masih membutuhkan ”mediator”. Jadilah si ibu sibuk telpon dari yang tua, lalu disambung ke yang muda sampai akhirnya konfirmasi didapat dari keduanya, bahwa mereka sudah bertemu dan sudah dalam perjalanan pulang ke rumah. Kondisi yang agak mengganggu waktu dan konsentrasi kerja ini bukan satu dua kali terjadi. Sudah jadi rutinitas setiap kali mereka saling mencari.


Tidak itu saja, si suamipun terkadang menelpon istrinya, manakala dia mencari dompet, telpon atau stnk mobil yang ”ketlisut” entah dimana. Padahal, sungguh mati ... kesemuanya adalah barang-barang pribadi dan harusnya sudah menjadi SOP (standard operating procedure) pribadi yang diterapkan setiap hari saat akan meninggalkan rumah.
***
Kesemuanya itu adalah sekelumit cerita yang menggambarkan hubungan/kedekatan / keterikatan antara anak (perempuan maupun lelaki) dengan ibunya dan hubungan / kedekatan /keterikatan antara suami dan istri. Dari kedua bentuk hubungan itu, terlihat kecenderungan bahwa perempuan/istri/ibu menjadi figur sentral.


Saya teringat pada obrolan dengan anak lelaki saya sekitar 10 tahun yang lalu, saat dia masih duduk di bangku SMP. Pertanyaan dilontarkan itu, sebetulnya dipicu oleh keingintahuan sekaligus membuktikan perkataan ArSa[3] bahwa lelaki, seberapapun usianya, sangat mengharapkan ibunya (perempuan) berada di rumah saat dia pulang dari manapun. Itu yang menyebabkan ArSa, saat masih duduk dibangku SMP meminta ibunya berhenti bekerja dan hanya menjadi ibu rumahtangga saja. Dia juga tidak mengijinkan ibunya aktif di Dharma Wanita di instasi tempat bapaknya ArSa bekerja sebagai pejabat tinggi negara). Padahal, saat itu, Suharto sedang dalam masa jayanya dan Ibu Tien ”mengharuskan istri akti di Dharma Wanita.


Pertanyaannya begini;
”Kalau  bisa memilih ...kamu lebih suka punya ibu yang bekerja atau ibu yang ada di rumah saat kamu pulang sekolah?”
”Ibu yang ada di rumah!” jawabnya cepat, tanpa pikir panjang.
”Lho ... kok gitu? Kenapa? Kan enak dan bangga punya ibu yang bekerja. Apalagi bisa membelikan ini-itu buat anaknya”
”Iya juga sih .... tapi, kan lebih enak kalo pulang sekolah ada ibu yang nyambut di rumah...”


Nah lho....!!!! Kalau begitu yang ada di pikiran anak lelaki (dan pasti juga di pikiran anak perempuan), mungkinkah begitu juga yang ada di pikiran para suami?. Perempuan, apakah statusnya ibu atau istri, ternyata memiliki fungsi yang sangat sentral. Menjadi pusat roda kegiatan rumah tangga.  Adakah para perempuan (ibu) menyadarinya sehingga mau mengerti bahwa kebutuhan anak bukan hanya sekedar pemenuhan materialistis, tetapi juga pemenuhan rohani berupa ”kehadiran” fisik, sentuhan/affeksi dan perhatian yang penuh tanpa mediator (pengasuh).


Mungkin ada banyak perempuan yang sadar akan hal ini, tetapi ego dan keinginan untuk ”exist”, aktualisasi diri, secara perlahan mengikis kesadaran itu. Atau minimal, membuat perempuan (ibu) serasa berada selalu di persimpangan jalan dalam menata kehidupannya. Menjadi ibu rumah tangga atau menjadi wanita bekerja. Memilih keduanya agar berjalan seiring, seringkali memicu masalah. Apalagi bila karier (lebih tepat penghasilan) yang diperolehnya, menyumbangkan kontribusi yang cukup besar dalam kehidupan dan kemapanan rumahtangganya.

Bila anak dengan sangat terpaksa menerima kondisi bahwa ibunya bekerja dan hanya memiliki waktu yang sempit untuknya, maka lain halnya dengan suami. Defisit perhatian, sentuhan dan afeksi, seringkali dicarinya di luar rumah dan seringkali mengakibatkan perselingkuhan. Padahal, kalau saja suami (lelaki) mau mengerti dan menyadari,  istripun (perempuan) juga membutuhkan perhatian, sentuhan dan afeksi. Lebih jauh dari itu, perempuan, sesuai dengan kodratnya, butuh perlindungan dan pengayoman dari suami. Kelihatannya, membangun komunikasi, menterjemahkan kebutuhan ”partner” (suami-istri atau orangtua-anak) dari sudut pandang mereka untuk menumbuhkan rasa saling mengerti, saling percaya, dan bukan menterjemahkan keinginan ”partner” sesuai interpretasi kita, bukanlah hal yang mudah.  Dan kita seringkali terjebak oleh segala theory  yang diperoleh dari bahan bacaan sehingga seolah-olah sudah mengerti kebutuhan partner kita, padahal sesungguhnya kita hanya mengerti kebutuhan pribadi saja.


Duh berat juga ya... Tenyata menuliskannya, juga membuat saya harus mengintrospeksi diri sendiri. Apa yang sudah saya lakukan buat keluarga, terutama buat anak. Karena keharmonisan hubungan pasangan suami istri dan hubungan antara orangtua dengan anak, akan menjadi cermin bagi anak-anak saat mereka kelak meniti rumah tangga..

Lebak bulus 16 Januari 2007 jam 23.20

[1] Haji Naim, di Cilandak terkenal sebagai “dukun pijat” aliran Cimande.  
[2] Anak-anak memanggil neneknya dengan sebutan mami.
[3] ArSa, adalah singkatan nama teman lama saya, dia anak tunggal dan lulusan Planologi ITB.

Selasa, 16 Januari 2007

Jakarta – Bandung via tol, nggak nyaman lagi.

Hari Jum’at 5 januari yang lalu, kami ke Bandung untuk mengantar keponakan. Rencana semula, sekalian berlibur dan melihat museum geologi. Tapi suami punya acara sendiri hari minggu pagi, ujian Sinar Putih di komplek Departemen Keuangan, maka hari sabtu siang kami sudah harus kembali ke Jakarta supaya masih ada waktu istirahat pada malam minggu.


Usai makan malam, istirahat sebentar dan mandi, tepat jam 20.00 ksmi meninggalkan rumah di kawasan lebak bulus, tujuan pertama ke Pizza hut Fatmawati untuk mengambil pesanan pizza, bekal anak-anak di mobi; kalau-ka;au kelaparan. Lalu mengisi bensin dulu dan langsung menuju Bandung via tol. Perkiraan perjalanan maksimum 3 jam sampai ke perumahan Gading Regency di bilangan Jl. Sukarno Hatta.


Bayangan beratnya perjalanan keluar dari Jakarta menuju Bandung sudah terlihat sejak melintasi perempatan RS Fatmawati–TB Simatupang, saat menuju Pizza Hut. Jalan masih tersendat-sendat, begitu juga di sepanjang jalan Antasari–Wijaya–Tendean hingga jl Gatot Subroto menuju Pancoran. Niat masuk jalan Tol di Kuningan terpaksa dibatalkan karena jalan tolpun sama tersendatnya dengan jalan arteri. Walhasil, kami baru masuk jalan tol di Cawang/Halim Perdanakusuma pada jam 21.30. Kemacetan belum juga berakhir. Jalan tol yang seharusnya bebas hambatan ternyata sarat dengan hambatan yang disebabkan oleh proyek pelebaran jalan, scrapping dan overlaying.


Memasuki ruas cikampek–purwakarta–padalarang, laju kendaraan terpaksa dikurangi karena kualitas jalannya sangat buruk dan betul-betul tidak layak bagi jalan bebas hambatan (autoroute). Bergelombang, banyak terdapat tambalan dan tidak memiliki penerangan jalan yang memadai. Rasanya, memacu kendaraan lebih dari 80 km/jam, kalau tidak berhati-hati, bisa mengundang bahaya. Begitulah, akhirnya kami baru bisa memasuki komplek perumahan Gading Regency tepat jam 23.30. jadi kalau dihitung sejak keluar rumah, perjalanan Jakarta – Bandung memakan waktu 3,5 jam atau 1 jam 45 menit sejak masuk tol di Halim Perdanakusuma – hingga keluar di gerbang Buah Batu untuk menempuh jarak + 140 km. Pas dengan petunjuk kecepatan kendaraan, yaitu 80 km/jam.


Pulang hari Bandung, Sabtu siang tepat jam 13.30 dengan harapan bisa tiba di rumah dalam waktu 2–2,5 jam. Jalur Padalarang–Cikampek tetap buruk kualitasnya, bergelombang dan penuh tambalan. Harapan untuk tiba di rumah pada jam 16 sore, pupus juga. Memasuki ruas Cikampek–Jakarta,  kendaraan mulai tersendat lagi tanpa diketahui sebab-sebabnya, atau lebih tepatnya tanpa pemberitahuan. Karena ternyata hambatan itu disebabkan karena ada pekerjaan scrap–overlay di tengan jalur, sehingga kendaraan hanya bisa menggunakan 1 jalur kanan dan jalur bahu jalan di sebelah kiri. Kualitas ruas Cikampek–Jakarta dan sebaliknya memang parah. Lapisan hotmix aspalt terkelupas disana-sini dan bisa menyobek ban yang berjalan dengan kecepatan tinggi. Itu sebabnya di jalur ini, banyak terjadi kecelakaan maut akibat ban pecah.


Jalan bebas hambatan yang dilalui kendaraan dengan kecepatan tinggi memiliki standar kenyamanan dan keamanan yang tinggi yang berlaku sacara internasional. Sayangnya, demi menghemat biaya atau berbangga diri telah menyelesaikan jalan bebas hambatan dengan waktu yang singkat, maka standard keamanan dan kenyaman tersebut diabaikan. Kita tentu tidak lupa, bahwa beberapa bulan setelah diresmikan, jalan tol Cipularang ini sempat amblas.


Begitulah, perjalanan Jakarta – Bandung pp via jalan tol, sekarang tidak lagi nyaman. Satu-satunya perbaikan yang terlihat adalah kemunculan rest area di ruas Jakarta – Cikampek pp yang terlihat ”agak berkelas” dengan fasilitas restauran/cafe seperti Kentucky, Holland Bakery, Starbucks cafe di samping rumah makan lokal, yaitu jaringan Rumah Makan Padang Sederhana.

Semoga, perbaikan-perbaikan itu juga bisa diteruskan di jalur Cipularang agar jalur tol Jakarta – Bandung menjadi lebih nyaman sesuai standard keamanan dan kenyamanan yang berlaku.

Rabu, 03 Januari 2007

Pendidikan para Pendidik

Bosen ngomongin poligami ya?! Bayangkan ... hampir satu bulan, yang diomongin poligami terus. Di kantor, di jalan, di tempat kursus, koran, majalah, tabloid, berita di tv, talkshow, infotainment apalagi. Pro dan kontra, nggak ada yang mau kalah. Masing-masing dengan argumentasinya. Apapun dalihnya ... sekarang yang perlu dipikirkan adalah bagaimana mendidik anak-anak, laki-laki ataupun perempuan, agar mereka kelak memperoleh persepsi yang benar atas ajaran agamanya. Nah yang berkaitan dengan pendidikan ini, saya punya sedikit cerita...; begini nih....


Sabtu awal Desember yang lalu, Budi nggak masuk untuk ngajar bahasa perancis. Katanya ada tugas keluar negeri … Jadi Mr. NY yang nggantiin dia. (sayang Budi nggak pernah bawa oleh-oleh buat murid-muridnya yang ditinggal pergi hehehe.... Mungkin lelaki biasa begitu ya? Nggak care dengan sekitarnya..., kecuali sama perempuan cantik).


Dulu kelas saya pernah diajar Mr. NY ini, selama satu semester. Duh ... bosen banget deh ... kelasnya nggak ”hidup”, jadi terasa membosankan. Makanya, waktu saya melihat NY duduk di meja depan, sempat terpikir untuk masuk dan bergabung ke kelas yang satunya lagi ... kelasnya Elisabeth. Tapi ... otak saya yang sebelah lagi, yang masih ”bersih” melarang saya untuk melakukan kekonyolan itu dan mengingatkan.. kok jahat banget ya, gue. Kan kita nggak boleh berpikiran buruk terhadap orang lain. Nggak ada salahnya untuk masuk kelas seperti biasanya. Siapa tahu ada hal baru ... Nah berbekal dengan pikiran bersih, saya akhirnya masuk kelas seperti biasa.


Topik yang diangkatnya pagi itu, tentang sistem pendidikan di Perancis, yang konon disesuaikan dengan sistem pendidikan yang berlaku umum di negara-negara Union Europeene, yaitu LMD alias license (3 tahun) – Master (2 tahun) – Doctor (3 tahun). Topik ini cukup menarik. Maklum saja, ada banyak ibu-ibu dalam kelas yang anaknya sudah atau sedang sekolah di SMA. Tentu, mereka tertarik dengan sistem pendidikan di Perancis. Siapa tahu ada rejeki yang cukup dan anaknya ingin sekolah di negaranya Jacques Chirac. Jadi sudah ada bekal pengetahuan tentang sistem pendidikan di negara tersebut.


Mr. NY menerangkan bahwa di negara-negara maju, terutama di Perancis, sekolah/universitas yang menghasilkan guru (semacam IKIP – jaman dulu) termasuk sekolah-sekolah yang ”high quality” sehingga mahasiswa yang kuliah disitupun termasuk top ranking. Hasilnya bisa dipastikan; guru-guru sekolah di Perancis termasuk orang-orang berkualitas. Terlebih lagi, tentu, bila dibandingkan dengan di Indonesia.


Sejak dulu, yang namanya Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan – IKIP[1] bukan menjadi pilihan utama dari para lulusan SMA. Sedikit sekali mahasiswa IKIP yang dengan sadar diri mendaftarkan ke IKIP dengan niat tulus ingin menjadi guru. Hal ini mungkin masih berlangsung hingga saat ini. Dengan kata lain ... Mr NY mengakui bahwa sebagian mahasiswa IKIP[2] (beliau pengajar di tempat itu) adalah mahasiswa dengan kualitas nomor 2, yaitu sisa-sisa mahasiswa yang tidak lulus dalam saringan ujian masuk lima universitas à UI – ITB – UGM – Airlangga – IPB. Bahkan juga universitas lapis ke dua di pulau Jawa seperti Brawijaya dan Pajajaran atau bisa jadi lebih buruk dari itu; mahasiswa yang terdaftar di IKIP belum tentu sejak awal berniat menjadi guru. Daripada tidak menjadi mahasiswa, apalagi mahasiswa universitas negeri, masuk IKIP masih lebih baik. Tak ada rotan, akarpun jadi.


”Ini menjawab sebagian pertanyaan, mengapa kualitas pendidikan dasar dan menengah di Indonesia menjadi sangat amburadul. Bagaimana mungkin kita mendapatkan kualitas murid yang baik bila murid-murid tersebut diajar oleh sebagian besar lulusan dari universitas yang mahasiswanya merupakan mahasiswa kelas dua, sisa-sisa dari Universitas umum”


”Pemerintah, mungkin harus mengevaluasi lagi kebijakannya mengenai pendidikan anak-anak. Kalau memang pendidikan dasar/menengah dianggap penting, maka kualitas instansi pendidikan untuk para pendidik harusnya merupakan pendidikan yang mampu menjaring orang-orang dengan kualitas prima. Orang-orang yang memang sejak awal berniat menjadi guru. Lalu, kenapa IKIP harus diganti menjadi UNJ, instistusi pendidikan tinggi umum. Akibatnya, tidak ada lagi institusi yang mengkhususkan diri sebagai tempat pendidikan bagi para pendidik. Padahal bukankah pendidikan untuk para pendidik tidak bisa disamakan dengan pendidikan universitas umum? Atau mungkin pemerintah tidak mengganggap pendidikan anak-anak kita, suatu hal yang maha penting bagi bangsa ini?


”Konon perubahan itu disebabkan karena adanya protes dari mahasiswa dan lulusan IKIP yang merasa dianaktirikan. Pada setiap lowongan kerja di berbagai instansi selalu dicantumkan persyaratan lulusan dari universitas. Jarang ada lowongan yang mau menerima lulusan IKIP. Padahal .. banyak lulusan IKIP yang berharap bekerja misalnya di DEPLU, mais croyez moi, quoi que ce soi ... pendidikan di UNJ masih tetap pendidkan untuk para pendidik. Tidak ada yang berubah”


”Kalau memang isinya/kurikulumnya tidak berubah, kenapa ”packaging”nya diganti? Itu kan sama saja dengan mengaburkan sesuatu ... bahasa terangnya menipu masyarakat. Mestinya ... alumni IKIP itu, ya menjadi pendidik.... Bukan jadi diplomat atau pegawai di departemen lainnya”


”Idealnya begitu ... tapi pada kenyataannya, tidak semua mahasiswa IKIP ingin menjadi guru. Alasannya sederhana sekali ... profesi guru sangat tidak bergengsi, apalagi, guru sekolah negeri. Tugasnya yang berat, mendidik anak, tidak diimabngi dengan ”gengsi dan imbalan” yang memadai untuk hidup dengan layak”.


”Kalau begitu, kenapa harus mengubah nama? Demi gengsi semata? IKIP adalah institusi pendidikan untuk para pendidik bukan untuk para diplomat atau berbagai jabatan mentereng lainnya. Mahasiswa yang masuk ke IKIP harus tahu bahwa profesinya kelak adalah guru, bukan yang lainnya. Kalau masalahnya berkaitan dengan gengsi atau penghasilan, maka bukan institusinya yang diganti menjadi universitas umum, tetapi gengsi dari profesi sebagai guru itu yang harus ditingkatkan agar orang mau secara sukarela menjadi guru sebagaimana profesi lainnya yang dikejar dan dipilih masyarakat.”.


”Tidak semudah itu ...”
”Memang tidak mudah ... tapi tidak ada suatu hal hal tidak mungkin kalau ada kemauan untuk melakukannya. Sebut saja ... apa yang menjadikan profesi guru tidak menarik? Karena gaji dan fasilitasnya tidak memadai? Kenapa tidak ditingkatkan  gajinya, fasilitasnya dan lain sebagainya. Kalau pemerintah mampu memberikan gaji yang relatif tinggi bagi pns yang bekerja di departemen keuangan (direktorat jenderal  Pajak, Bea dan Cukai dll), tentu hal yang sama juga bisa dilakukan untuk pns di departemen lainnya khususnya untuk guru. Kan anggaran bidang pendidikan sudah disetujui secara bertahap menjadi 20%. Jadi secara teoritis, kalau pemerintah mau dan tahu betapa pentingnya pendidikan anak-anak, maka semuanya bisa dilakukan secara bertahap. Malu deh sama Malaysia! Tahun 60 – 70 an, guru dan dosen dari Indonesia diundang mengajar di sana. Mahasiswa dari Malaysia banyak yang belajar ke Indonesia. Sekarang keadaan terbalik 1800, kita yang belajar ke Malaysia .


”Semoga semakin banyak orang yang berpikir seperti itu.... Pendidikan di Indonesia memang masih terus-terusan mencari bentuk, sampai akhirnya semakin terpuruk dan tidak jelas arah tujuannya”


Obrolan itu terputus begitu saja, tidak ada kesimpulan ... Ini kelas ”Conversation”  bahasa Perancis, Pesertanya tentu tidak diharuskan untuk berdebat mengenai sistem pendidikan di Indonesia, tetapi diharapkan untuk berbicara dalam bahasa Perancis sekaligus memberikan opini. Kalau mau......


Tapi, sungguh deh, sejak lama, saya merasa prihatin dengan masalah ini. Kira-kira 15 tahun yang lalu, saya punya teman kantor yang istrinya lulusan IKIP – Pendidikan Teknik Sipil. Alih-alih menjadi guru di sekolah kejuruan (STM), dia malah bekerja di kantor konsultan struktur. Alasannya tentu saja mudah diduga .... gaji yang kecil dan menjadi guru tidak memberikan prospek masa depan yang cerah.


Sedih ya......Memang, nggak semua mahasiswa IKIP mempunyai motivasi seperti itu. Saya percaya masih banyak mahasiswa IKIP, terutama untuk IKIP yang di daerah (terutama dari Jogya) yang betul-betul memiliki niat tulus menjadi guru. Seperti hampir seluruh guru SMA saya dulu di Xaverius Jambi. Mereka, sebagian besar lulusan IKIP Sanata Dharma Yogyakarta, adalah guru-guru yang sederhana dan penuh dedikasi. Mungkin mahasiswa IKIP yang materialistis adalah mereka yang kuliah di IKIP Jakarta/UNJ. Maklumlah.... penduduk metropolitan ini memang sangat materialistis.


Semoga pemerintah mau mengerti masalah ini agar gengsi dan penghasilan dari orang-orang yang berprofesi sebagai GURU bisa setara dengan profesi-profesi lainnya. Sehingga profesi ini menjadi pilihan sepenuh hati dari anak-anak pintar Indonesia yang sama gengsinya dengan pilihan menjadi sarjana teknik atau kedokteran atau fakultas lainnya.


Reedit on saturday, 16th december 2006, at 05.45 pm

[1] IKIP sekarang sudah berganti menjadi Universitas Negeri sehingga IKIP Jakarta menjadi UNJ – Universitas Negeri Jakarta, IKIP Bandung menjadi UPI – Universitas Pendidikan Indonesia dll.
[2] Di dalam tulisan ini, saya tetap menulis istilah IKIP untuk membedakan antara universitas pendidikan (ex IKIP) dengan universitas umum.

Mencoba bertahan dari gempuran virus DENGUE.

Minggu tanggal 18 – 22 Desember 2006 seharusnya menjadi minggu terakhir menuntaskan segala kegiatan kantor sebelum menutup tahun 2006. Itu sebabnya, sejak hari Senin 18 Desember 2006 hingga Jum’at 22 Desember, nyaris tak ada waktu yang terluang dari acara rapat koordinasi ini dan itu. Buat saya sendiri, usai kesibukan akhir tahun itu, acara akan disambung dengan acara liburan keluarga yang sudah disusun untuk mengunjungi objek-objek wisata di Bandung dan sekitarnya, sampai dengan hari Rabu 27 Desember 2006. Begitu rencana semula. Gayanya seperti orang sibuk betul ….. Gaya hidup yang banyak diidap penduduk Jakarta.

Itulah takaburnya manusia. Seringkali melupakan bahwa manusia hanya mampu merencanakan, namun ada tangan yang lebih berkuasa yang mengatur alur hidupnya.
***


Hari ke 1, 17 desember 2006.
Minggu 17 Desember 2006, masih belum puas menikmati kelembutan bantal, usai shalat subuh, saya meneruskan tidur kembali sekitar 1 – 2 jam. Malam minggu itu, kami memang tidur agak terlambat, karena terlalu asyik ngobrol sambil menonton acara tv. Hari minggu, saya memang tidak berencana kemanapun dan sesuai dengan kesepakatan, bapak yang akan menemani Lulu melihat acara Spongebob di Pondok Indah Mall.


Setelah mereka berangkat, saya mulai membuka-buka koran dan menyiapkan setumpuk buku untuk dibaca sebagai pengisi waktu. Menjelang waktu makan siang, saya merasa badan agak demam, otot-otot nyeri namun tidak ada tanda-tanda batuk atau pilek. Makin lama, perasaan tidak nyaman itu semakin nyata ditambah dengan mual dan sakit kepala yang semakin lama semakin berat. Saya mulai curiga akan gejala penyakit ini ... DEMAM yang disertai dengan SAKIT KEPALA yang menghebat serta MUAL (bisa sampai muntah) ... konon ini gejala khas dari DEMAM BERDARAH DENGUE - DBD, seperti yang pernah saya dengar.


Menjelang Ashar, saya mulai agak yakin akan terserang DBD. Di samping ketiga gejala khas yang sudah menyerang hebat dalam waktu kurang dari 24 jam, saya ingat betul bahwa seminggu sebelumnya, saat membaca buku di ruang keluarga, tangan kiri saya digigit nyamuk. Dua kali. Nyamuk itu, dua-duanya saya pukul, mati ... berdarah-darah ... dan yang terpenting, saya ingat persis, kedua nyamuk itu, hitam berbintik putih. Waktu itu, sebetulnya dalam hati saya sudah membatin....:


”Duh ... digigit Aedes Agepty ....bakalan kena demam berdarah nih...”
Tapi, sisi otak saya yang lain berpikiran positif saja .... semoga tidak terjadi apapun juga. Toh, bukan sekali itu saja saya digigit nyamuk belang. Apalagi kalau sedang mengamati tanaman di halaman atau mengambil daun melinjo dan sejauh ini, semua berjalan baik-baik saja. Tapi gejala berat itu membuat saya teringat pada peristiwa digigit nyamuk belang. Belakangan baru adik saya cerita bahwa hari jum’at, dua hari sebelum saya terserang demam, lingkungan disekitar rumah baru saja dilaksanakan fogging. Tanda  bahwa dalam radius 500 m ada penderita DBD. 

Usai shalat ashar, saya meminta suami ke apotik Melawai untuk membeli thermometer lagi (kebiasaan buruk ... suatu yang penting, begitu dibutuhkan, pasti menghilang) dan jamu – kaplet cap bunga siantan[1]. Konon banyak orang terselamatkan kadar trombositnya karena meminum jamu ini. Begitu info yang banyak beredar dari tahun ke tahun di berbagai komunitas milis.


Sambil menungu suami pulang dari apotek, saya mengirim sms ke Ina, meminta bantuannya rescheduling acara di hari Senin dan Selasa, sambil menginformasikan kemungkinan saya terkena DBD. Walaupun gejalanya sudah begitu jelas, itu kan baru perkiraan saya, (yang diharapkan)  yang masih mungkin salah. Siapa tahu, itu Cuma gejala kena virus biasa, jadi hanya perlu istirahat cukup di rumah selama 1 – 2 hari saja, sehingga hari Rabu atau Kamis, saya sudah bisa masuk kantor kembali.

Usai Maghrib, suami pergi ke rumah Yugo, acara keluarga The Professor’s. Saya sejak awal memang sudah mengatakan tidak ikut. Setelah menyiapkan sop buntut yang akan dibawa suami, saya langsung masuk kamar. Sakit kepala dan mual hampir tidak tertahan. Tidak sanggup lagi untuk makan malam. Temperatur badan naik turun antara 36,6 – 38,5 derajat Celcius. Selera makan sudah hilang karena mual. Bau soto yang biasanya mengundang selera, kali ini malah melenyapkan selera makan. Saya memaksakan diri untuk memakan buah. Itu satu-satunya yang masih bisa masuk dan tidak memancing rasa mual. Untung masih ada anggur di kulkas, yang kemudian saya ambil dan menemani saya di jangkauan tangan setiap terjaga tidur.

Hari ke 2, 18 Desember 2006.
Hari Senin, saya tidak ke kantor. Panas badan masih turun naik ... mual belum berkurang walaupun sudah minum jamu cap bunga siantan. Selera makan betul-betul hilang. Tadi sudah dibelikan 4 botol pocary sweat yang akhirnya lebih banyak diminum Lulu. Hari Senin ini lebih banyak dihabiskan dengan tidur atau nonton tv dan baca koran, kalau sakit kepala sedang mereda, sambil berharap besok saat bangun pagi, badan sudah agak terasa lebih baik sehingga pada hari Rabu sudah bisa memulai aktifitas kantor.


Rasanya tidak nyaman sekali. Saat semua orang sibuk menyelesaikan tugas akhir tahun, saya malah tidur di rumah. Untuk meredakan sakit-sakit di badan, saya meminta tolong untuk dipijat dan disediakan rebusan jahe+daun pandan+gula batu. Ini terapi rutin kalau saya demam. Sejak lama, saya memang mengharamkan obat kimiawi masuk ke dalam tubuh.

Malam hari, saya menelpon adik di Bandung, menceritakan keadaan saya;
”Gejalanya memang khas DBD. Tapi untuk pastinya, coba cek darahnya. Kapan mulai demam?”
“Hari Minggu kemarin. Langsung sakit kepala dan mual”.
”Besok di test deh ... kita lihat hasilnya”.

Hari ke 3  Selasa 19 Desember 2006.
Hari ke dua di rumah, sakit kepala sudah sedikit berkurang begitu juga dengan mual, kecuali panas badan yang masih naik turun. Setelah Lulu dan bapak berangkat, saya meminta dipijat kembali untuk meredakan rasa sakit di badan dan kepala, lalu mandi dengan air hangat 2 jam kemudian. Nafsu makan masih menghilang. Jadi cuma bisa minum juice strawberry, mangga dan anggur. Lumayan... yang penting perut ada isinya. Kemarin sudah minta dicarikan jambu biji merah. Tetapi ternyata tidak ada yang jual. Mungkin belum musim jambu biji.


Sore, usai shalat ashar, saya berangkat ke Prodia di Bona Indah. Masih mampu setir mobil sendiri, walaupun badan terasa nggak keruan. Toh jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. Di Prodia, saya bilang ingin test darah rutin karena curiga dengan gejala DBD. Petugas menawarkan untuk sekaligus melakukan test Imunologi anti Dengue. Saya menerima usulan itu. Tindakan saya meminum jamu cap bunga siantan akan menyebabkan kadar trombosit saya bertahan tinggi. Kalau saya tidak melakukan test anti Dengue, maka kemungkinan mendeteksi DBD dari kadar Trombosit saja, tidak akan terpenuhi. Usai di ambil sample darah, saya langsung pulang. Biar nanti, sesudah makan malam, saya akan minta suami mengambil hasil lab.

19.00 – 20.30
Saya meminta suami ke Prodia mengambil hasil lab. Betul saja, Hb 15,6 Trombosit 213 Hematokrit 47. Semua masih berada di batas Normal, tapi test anti Dengue +. Saya langsung mengirim hasil lab via sms ke adik. Dia langsung menelpon ;


”Hasilnya masih bagus... Berapa kadar Hb normal? Kalau biasanya memang di kisaran angka itu, sih nggak apa-apa, tapi kalau tidak, mungkin ada kebocoran plasma. Mungkin ini cuma kena virus biasa saja”.
”Aku lupa berapa kadar Hb biasanya. tapi.... anti dengue nya positif lho!”
“Kan baru mulai demam hari minggu, nggak mungkin bisa terdeteksi secepat itu”
“Bisa saja! Siapa tahu serum anti denguenya canggih. Jadi, dalam 1 – 2 hari saja bisa mendeteksi anomali yang ada”, jawab saya agak ngotot.
“Gini deh .... kita anggap aja, hasil anti dengue itu betul... saya kena DB, walaupun Trombonya masih bagus... so, what should i do?”
“Test darah setiap waktu yang ditentukan, istirahat dan banyak minum. DBD Ini nggak ada obatnya. Yang harus dilakukan hanya menjaga agar darah tidak mengental dan tidak shock.”
”Apa indikasi shock?”
”Temperatur badan turun di bawah 36 derajat, kaki dingin, bintik-bintik darah menyebar, mimisan, nadi tak teraba.... banyak lagi kemungkinannya! Masih ambil temperatur badan? Berapa? ”
”Selama ini berkisar antara 36,6 – 38,5 derajat”.
”Ya sudah, besok test darah lagi. Jangan lupa banyak minum!”


Hari ke 4 Rabu 20 Desember 2006.
Hari ini, seperti orang ngidam, saya minta dibelikan lontong sayur. Maklum, sejak hari minggu perut hanya diisi oleh buah-buahan dan jamu bunga siantan. Rasa lapar yang mulai menyerang, membuat saya agak optimistis. Merasa sudah lebih baik. Siang ini Mus dan Yuli datang. Kebetulan bisa minta tolong di reiki.

Menjelang tengah hari, Leny, Adhe dan Patricia datang. Ada yang harus di tandatangan dan koreksi/revisi perjanjian JEC. Sambil ngobrol, menceritakan kronologis penyakit, saya merasa yakin hari Jum’at – minimal – sudah bisa masuk kantor. Itu hari kerja terakhir menjelang akhir tahun. Usai shalat Ashar, saya kembali ke Prodia. Kali ini hanya meminta 4 items untuk di test. Jadi hasilnya bisa ditunggu.


Hb 14,9 Trombosit 173 Hematokrit 44 .... hasil lab langsung saya kirim via sms.
”Kemarin berapa kadar Hbnya?”
”15,6... kenapa?
”Gak apa-apa. Lain kali kalo kirim hasil lab, jangan lupa nulis hasil sebelumnya ya, biar trendnya terlihat.”
”Ok .... gimana kesimpulannya?
”Masih panas, sakit kepala, mual, nggak?”
”Panas masih turun naik. Sakit kepala masih suka datang tapi nggak permanen lagi dan mual sudah mulai hilang”.
”Banyak minum, jangan masuk kantor ya ... istirahat yang banyak. Tidur aja! Jaga supaya darah tidak mengental. Ini cukup baik walau Trombositnya mulai turun, Tapi Hb dan hematokritnya menurun juga. Jadi kekentalan darah berkurang. Jaga jangan sampai shock. Tapi biasanya orang dewasa sih jarang yang sampai shock...!”


”Ya .....!
Duh, nasib ... padahal ada banyak rencana saya minggu ini. Kalaupun di rumah, mana pernah saya diam di rumah tanpa sesuatu yang dikerjakan? Minimal menjahit. Ini, jangankan menjahit .... shalat aja, terpaksa dilakukan sambil duduk. Suami yang saya keluhkan tentang hal ini cuma bergumam pendek .....;
”Allah SWT memilihkan waktu istirahat buatmu dengan caraNya sendiri”.

Hari ke 5, 21 Desember 2006.
Seperti biasa, jam 9 pagi setelah mandi air hangat, saya membereskan peralatan di tempat tidur, meletakkan telpon supaya mudah dijangkau tanpa harus turun dari tempat tidur. Lalu masuk ke dalam selimut. Hari ini, badan yang tadinya selalu panas, mulai terasa dingin. Setiap pori-pori rasanya seperti di tusuk-tusuk jarum, jadi terpaksa masuk ke dalam selimut. Entah berapa lama saya tertidur, saat telpon rumah berdering ....


”Kamu mesti membeli kesembuhanmu....”, suara suami menelpon.
”Ya ..... tolong bantu, nanti saya ganti....”
“Kemana?”
“Terserah ... di atur saja bagaimana baiknya”.

Sore hari, setelah makan malam, saya, Lulu dan suami berangkat ke Prodia. Sayang, layanan lab sudah tutup. Terpaksa besok pagi saja kembali. Dari Bona Indah, saya meminta Lulu dan bapak mampir dulu ke Citos. Ingin makan donut. Saya menunggu sambil tidur di mobil.

Duh .... J-co nya manis. Terlalu manis malah. Nasib deh! Padahal, sudah terbayang nikmatnya makan donut lembut. Tapi rasa manis yang keterlaluan membuat hilang selera saya. Ya sudah deh, agar tidak mengecewakan yang sudah berbaik hati membeli J-co, saya makan juga J-co crown. Malam ini saya tidur dengan bekal anggur dan satu botol besar rebusan angkak[2] sebagai bekal malam hari. Dedeh yang mengingatkan saya untuk meminum angkak. Kebetulan, saya pernah membelinya beberapa bulan yang lalu, disimpan sebagai cadangan bila suatu saat diperlukan untuk menaikkan stamina tubuh. Kegunaan angkak ini dikatakan dr. Ratna, dokter cina tua yang praktek di dapur susu.


Hari ke 6, Jum’at 22 Desember 2006.
Jam sembilan saya kembali ke Prodia. Duh ... rame banget!
“Jam berapa hasilnya bisa diambil?”
”Jam 12 siang. ”
”Nggak bisa ditunggu ya? Biasanya cuma 30 menit!”
”Nggak bisa bu ...Minimal 2 jam lagi!”


Duh.... cape banget kalo harus balik lagi. Badan juga rasanya agak kurang fit. Lebih lemas dan agak kurang bisa fokus terhadap apa yang ada di depan saya. Apa ini tanda-tanda saya mulai shock? Ah ..., semoga bukan! Sampai di rumah, saya meminta tolong mengingatkan adik saya mengambil hasil test secepatnya dan saya sendiri langsung masuk kamar. Tidur! Takut dengan bayang-bayang shock.

Ternyata, hasil baru diperoleh jam 4 sore. Dan hasilnya ........ Hb 15,6 Trombosit 100 Hematokrit 46. Duh.... lemas rasanya membaca hasil lab. Keadaan bertambah jelek... Trombosit makin turun. Sekarang sudah di bawah batas minimum 150. Hb dan Hematokrit naik lagi ... berarti darah mengental lagi....


”Ini hasil lab pagi tadi jam 09.00 ... apa yang harus dilakukan?”
”Kenapa naik lagi? Kurang minum ya?”
”Aduh ... kalau malam dan lagi nyenyak tidur, kan nggak ingat minum!”
”Ya, mesti bangun dong ... Ini konsekuensinya kalo nggak mau di rawat di rumah sakit! Coba test lagi sore ini.... terus cepat kirim hasilnya”


Usai shalat maghrib dan makan sedikit, dengan badan yang terasa lebih lemas dari biasanya, saya berangkat ke Prodia. Suami belum pulang dari Depok. Kalau mesti menunggu dia pulang, ini alamat Prodia tutup lagi. Hasil test ke 4 saya peroleh sesudah menunggu sekitar 30 menit. Saya langsung pulang dan membuka hasil lab sambil menulis sms. Hb 14,5 Trombosit 92 Hematokrit 44.


“Trombositnya turun terus .... gimana nih?”
”Gak apa-apa .... yang penting kondisi hb dan hematokritnya menurun. Belum tentu perlu di transfusi selama tidak ada perdarahan. Aku pernah nangani DB dengan trombo hanya 15 saja. Ini masih 92. Masih aman selama nggak ada perdarahan/ mimisan. Nggak usah takut, yang penting banyak minum. Beli Pocary gih! Besok pagi test lagi”


”Sampe kapan test darah terus? Bosen nih, tau nggak sih?”
”Ini resiko kalo nggak mau di rawat! Minimal observasi selama 7 hari atau sampai trombonya naik ....! Itu prosedur penanganan DB ... Kalau besok keadaannya baik ... mungkin setiap 12 jam aja testnya, kalau makin jelek, bisa lebih sering. Setiap 3 jam misalnya, supaya dokter bisa memutuskan penanganan yang lebih baik. Begitu standar prosedur yang dilakukan kalau pasien di rawat di RS!”

Entah sugesti atau memang kondisi saya memburuk, saya merasa tidur dalam keadaan setengah sadar, kedinginan di dalam selimut tetapi badan saya berkeringat deras. Jamu cap bunga siantan sudah saya hentikan. Saya memang tidak akan pernah mengkonsumsi obat-obatan lebih dari lima hari. Sebagai pengganti, saya meminum rebusan angkak saja.


Hari ke 7, 23 Desember 2006.
Sabtu.... duh, biasanya ini hari rumpian di ccf. Saya selalu merasa rugi untuk bolos dari ccf. Tapi hari ini, keinginan untuk pergi ke ccf terpaksa dipendam dalam-dalam. Saya mengirim sms ke Isna, mengabarkan ketidakhadiran hari Sabtu ini. Apa boleh buat.


Jam 09.00, saya kembali ke Prodia melakukan test darah ke 5. Semoga hasilnya lebih baik. Apalagi ini sudah hari ke 7. Secara teoritis, masa kritis DBD sudah lewat. Kalaupun masih lemas atau belum pulih, ini hanya tinggal sisa-sisa penurunan kondisi buruk darah yang terserang virus dengue saja.

Finally .... i got my result! Hb 14,6 Trombosit 98 Hematokrit 44 ….. Alhamdulillah, trombositnya sudah mulai naik walaupun cuma 6 point.
“Sudah …. Boleh istrirahat dulu …. Hari selasa pagi, cek lagi ya darahnya.”
Itu sms terakhir adik saya, saat saya melaporkan hasil lab hari Sabtu.


Hari ke 8, 24 Desember 2006.
Adik saya dengan anak/istrinya datang dari Bandung. Siang ini kami keliling Jakarta naik panther. Kalau tidak begini, tentu tidak akan melihat Jakarta terutama yang berada di wilayah utara. Ternyata Jakarta tetap saja macet, walaupun hari Minggu. Badan saya masih terasa lemas. Tapi rasa bosan ”bertapa” di rumah selama satu minggu memaksa saya menahan diri dari rasa lemas dan letih. Acara jalan-jalan ditutup dengan shalat Ashar di Istiglal dan makan mie ayam di Gondangdia Lama.


Hari ke 9, 25 Desember 2006.
Siang ini, ditemani suami saya memberanikan diri untuk belanja bulanan ke Makro. Beras di dapur sudah habis, nanti tamu dari Bandung nggak bisa makan, kalau tidak disempatkan belanja.

Hari ke 10, 26 Desember 2006.
Hari ini Lulu dan bapak sudah memulai aktifitas rutin. Kantor saya mulai tutup masal akhir tahun dan baru akan beroperasi kembali hari Selasa 2 Januari 2007. hari ini sebetulnya ada rapat di Kedoya. Tapi saya sudah kirim sms ke Yana dan Mutya, mengabarkan tidak bisa hadir. Badan saya masih agak lemas. Test darahnya nanti sore saja. Jadi tidak perlu menunggu terlalu lama. Saya mengisi waktu dengan tidur-tiduran saja.


Usai mandi sore, saya ke Prodia lagi. Tidak menunggu terlalu lama, saya langsung pulang dengan hasil test darah. Hari ini hasil testnya ……… Hb 13.3 Trombosit 185 Hematokrit 40 ….. Alhamdulillah. Akhirnya pergi juga virus dengue itu.
***
Saya memang nekat ... bukan karena sok tahu, tapi karena saya kurang percaya dengan sistem penanganan kesehatan masyarakat. Entah rumah sakit atau dokter mana yang masih berpegang erat pada sumpah dan etika jabatan. Saya beruntung punya adik yang mau diganggu dengan telpon/sms setiap saat dibutuhkan. Kebanyakan dokter di Jakarta sudah terbelenggu dengan konsumerisme. Ah sudahlah ... nggak ada gunanya dipertentangkan Yang penting, atas ridho dan perkenan Allah SWT, saya mampu bertahan dari serangan virus dengue. Terasa betul nikmatnya sehat.


Lebak bulus 26-12-2006 jam 19.25

[1] Jamu cap bunga siantan terdiri dari 2 macam untuk DBD dan typus berbentuk kaplet. Satu  strip terdiri dari 12 kaplet. Bisa dibeli di apotek Melawai. Minum selama +  5 hari.
[2] Angkak bentuknya seperti beras berwarna merah. Biasa digunakan dalam dapur masakan cina, sebagai pewarna. 1 sendok makan angkak direbus dengan 1 liter air. Minum saat sudah mencapai suhu ruang/dingin. Bisa dibeli di pasar Mayestik, agak mahal sekitar Rp.65ribu/kg. Beli 100 gr saja untuk persediaan di rumah.

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...