Mereka yang pernah ikut leadership training, mungkin pernah diajak simulasi bahwa kata-kata yang kita bisikan kepada seseorang disebelah kita dan kemudian ditransfer kepada orang lain secara berantai dan dalam hitungan menit saat tiba pada orang ke lima (misalnya); akan berubah susunan katanya. Masih mending kalau kesemuanya tidak merubah arti dan makna dari kalimat yang ingin disampaikan. Bayangkan kalau terjadi penyimpangan arti.
Begitu juga tatkala kita membaca sebuah buku dan mendiskusikan isi buku tersebut beramai-ramai, maka atas satu judul buku dengan isi yang sama akan muncul beragam tanggapan sesuai dengan interpretasi dan sudut pandang masing-masing orang. Dan begitu pula kala kita ingin megupas suatu masalah dan mengutip kalimat atau bagian dari ucapan narasumber sebagai salah satu referensi dari tulisan kita, maka kita akan mengutip hanya sebagian kecil dari isi buku/ucapan narasumber yang bisa “memberikan tekanan/dukungan” atas bahasan yang kita kemukakan. Itu sebabnya, dalam menafsirkan sesuatu, kita dianjurkan juga untuk meneliti “asal-usul atau sebab-sebab” dari timbulnya suatu tulisan dan atau pernyataan sang narasumber
Beberapa waktu yang lalu, tulisan saya berjudul “Ruang Kosong dalam Kehidupan”, mendapat tanggapan yang cukup menarik dari seorang bapak muda. Saya sebut muda, bila dibandingkan dengan usia saya. Menarik, karena tanggapan itu membuktikan kepada kita semua akan beberapa hal, antara lain betapa pentingnya “mengetahui” latar belakang sebuah tulisan apalagi bila tulisan itu dibuat berdasarkan “fakta”. Kemudian bahwa dalam membaca sebuah karya tulis, setiap memiliki sudut pandang yang berbeda.
Yang beruntung, saya lagi… hahaha, karena berdasarkan tanggapan itu, saya memiliki ide lagi untuk menuliskan sesuatu. Jadi …. Selalu ada hikmah dari setiap kejadian. Nah tulisan baru itu, selengkapnya begini :
***
Terima kasih atas tanggapan anda[1] atas tulisan saya “Ruang Kosong dalam Kehidupan”[2] di suatu milis alumni. Tulisan anda sangat menarik perhatian saya untuk menanggapi secara personal. Apa yang anda katakan membuat ingatan saya kembali menerawangi masa sekitar 15 tahun yang lalu. Masa ketika anak lelaki saya seusia anak anda saat ini. Namun tanggapan ini saya kirim via japri dengan beberapa tembusan kepada teman-teman yang memiliki anak seusia SD. Saya tidak ingin berpolemik tentang pendidikan anak di milis terbuka. Saya bukan pendidik dan apa yang saya tuliskan hanyalah petikan dari pengalaman pribadi/teman ditambah dengan pengamatan lingkungan saja. Memang petikan cerita yang ditulis tidak akan menggambarkan secara penuh hubungan anak – ibu atau istri – suami, tetapi merupakan episode pendukung dari inti tulisan yang dimaksud. Saya juga tidak ingin kerepotan menjawab bila ada yang mengulas dari sudut akademis. Tapi saya tidak berkeberatan untuk berdikusi dan berbagi pengalaman dengan siapapun.
Pertama-tama, dengan tulus hati, saya ucapkan selamat …. bahwa sampai saat ini anda sudah berhasil mendidik 2 (dua) orang anak yang masih bersekolah di SD, titipan Allah SWT menjadi anak yang baik, pandai, mandiri dan tidak putus berkomunikasi dengan orangtua walaupun hanya melalui telpon dan sms. Juga karena anda dan istripun merasa tidak putus berkomunikasi dengan anak, terutama saat berada di luar rumah. Semoga semuanya berjalan lancar.
Ada baiknya saya bercerita juga mengenai latar belakang tulisan “Ruang Kosong Kehidupan” tersebut. 2 anak saya, lelaki dan perempuan. Keduanya masing-masing tumbuh sebagai “anak tunggal” karena mereka berselisih 15 tahun. Anak lelaki, alhamdulillah, selesai kuliah Matematika di QUT, 2 tahun lalu. Itupun setelah dia “membelot” dari jurusan Electro yang telah diikutinya selama 2½ tahun. Sekarang dia sudah menikah dan tinggal di Cairn. Sementara anak perempuan masih duduk di bangku kelas 4 SD. Tinggal di Jakarta dengan bapak/ibunya yang keduanya sudah berusia lebih dari ½ abad.
Mengurus anak kedua saat ini, walaupun sudah memiliki pengalaman sebelumnya ternyata tidak juga membuat saya merasa nyaman. Selalu saja ada perasaan berdosa, manakala melihat wajah tak berdosa itu sedang tidur. Betapa saya, ibunya, tidak memiliki waktu yang cukup bagi anak-anak. Padahal, saya tidak pernah mempunyai pengasuh khusus bagi kedua anaksaya, saat mereka masih bayi dan balita. Bahkan, mulai bekerja kembali setelah melahirkan, saya diijinkan untuk membawa bayi ke kantor. Maka saat itu, anak perempuan saya menjadi karyawan termuda … dan itu berjalan selama 13 bulan.
Anak lelaki, saat kecil bersekolah di SDN Jakarta Pusat. Sekolah Dasar Negeri yang kualitasnya tidak perlu diragukan. Dia sangat aktif. Sejak duduk di kelas 1 sampai tamat, semua kegiatan ekstra kurukulum diikutinya. Mulai dari mengaji, pramuka sampai dengan marching band. Dia juga pandai … piala juara kelas tak pernah luput diraihnya. Sangat mandiri … pulang sekolah, tanpa komando selalu membuat PR. Orangtua, saat pulang kantor tidak perlu lagi menyuruh atau memeriksa lagi. Yakin bahwa PR akan selalu dikerjakan dengan benar.
Selain itu, sejak kelas 3 SD, kami sudah memberinya uang saku mingguan dan secara berangsur, saat kelas 5 uang saku sudah diberikan bulanan, yang diaturnya sendiri untuk kebutuhan transport dan makan siang sepulang sekolah, menjelang dia mengambil bus pulang kerumah. Perjalanan pulang ke rumah dilakukan dengan kendaraan umum. Menempuh rute perjalanan sekolahnya–Sarinah dengan Bajaj, untuk mengambil bus jurusan Bekasi; lalu angkot untuk kemudian berhenti di depan perumahan Kemang Pratama di Bekasi. Biasanya dia akan tiba di rumah antara jam 14.30 – 15.00 setiap hari. Pulang ke Bekasi naik bus dilakukannya sejak dia duduk di kwartal terakhir kelas 4.
Prestasi sekolah lainnya …? Guru dan teman-temannya menjuluki “Record’s Breaker”. Dia mengukir berbagai prestasi yang sebelumnya tidak berhasil ditembus oleh pendahulunya. Saat tamat SDN, dia berhasil mempersembahkan dan mengukir prestasi terbaik yang mampu diraih sekolah tersebut hingga tahun 1984, yaitu Juara Lomba Matematika DKI, dari mulai tingkat kecamatan Menteng – Wilayah Jakarta Pusat – DKI Jakarta) dan Juara Harapan I Lomba Matematika Tingkat Nasional. Pada tahun yang sama, menjadi Pelajar Teladan tingkat SD – DKI Jakarta dan memperoleh NEM tertinggi di Wilayah Kecamatan Menteng - Jakarta Pusat dan tentu saja di sekolahnya.
Ada yang salah dari kami orangtuanya? Rasanya tidak …. Kami, orangtua yang keduanya bekerja, merasa “sangat berhasil” mendidik anak dalam keterbatasan waktu yang ada dan orang di luar, yang tahu, tidak bisa menyangkalnya. Hasilnya jelas sekali …. Prestasi sekolah dan perilakunya yang santun, mudah diatur dan sangat mengerti atas segala keterbatasan orangtuanya. Komunikasi berjalan dengan baik, diskusi bisa dilakukan di meja makan pada malam hari atau saat berjalan kaki di komplek perumahan, menjelang tidur. Saat itu, jalur Jakarta – Bekasi belum macet, sehingga setiap malam, kami masih sempat berjalan-jalan mengitari kompleks sambil ngobrol dan bercanda. Bahkan, kalau sedang berjalan di toko dan dia meminta sesuatu, lalu saya bilang …”cium dulu dong…!”, tanpa ragu dia akan mencium pipi saya, kiri dan kanan. Banyak orangtua temannya yang bertanya bagaimana kami melakukannya. Kami tak mampu menjawab. Kami memang tidak tahu mengapa dan bagaimana. Kami tidak banyak berteori. Hanya menjalankan hidup seperti air yang mengalir. Kalaupun hasilnya dianggap baik, itu semata anugerah Allah SWT yang patut disyukuri.
Teman kantor saya ArSa, mengikuti semua proses itu. Kami sering bertukar pikiran dalam banyak hal walaupun saat itu dia belum menikah. Dia juga anak tunggal, masa SDnya dilalui di sekolah yang sama dengan prestasi sekolah yang sangat baik. ArSa seringkali mengingatkan saya bahwa mengacu pada pengalamannya semasa remaja, anak-anak terutama anak tunggal sangat membutuhkan orangtua. Kehadiran orangtua yang bukan hanya dalam bentuk suara di telpon atau segala macam teori mengenai kualitas hubungan orangtua – anak dalam kaftan dengan pendidikan/perkembangan kejiwaan.
”Itu omong kosong”, begitu ArSa berkata.
”Teori itu dilakukan oleh orang tua dan dari kacamata orangtua. Bukan dari kacamata si anak. Gue ngerasaain semuanya dan karenanya gue pengen sharing sama kamu. Gue ngeliat ada banyak persamaan antara gue dengan anakmu!”, sambungnya dengan penuh simpati.
ArSa yang lulusan Planologi ITB itu lalu menceritakan perkembangan hubungannya dengan orangtua terutama ibu, fase demi fase sejak dari SD dan puncaknya saat dia berdebat dengan orangtuanya, meminta ibunya berhenti bekerja. Reaksi saya .... persis seperti reaksi anda ketika membaca tulisan saya. Tidak kurang dan tidak lebih. Dan ArSa tidak segan mengingatkan ...:
”Mbak ... anakmu masih duduk di bangku SD, perjalanan masih jauh. Jangan lupa itu dan jangan takabur. Masih ada masa-masa rawan yaitu masa remaja dimana anak akan mengalami goncangan dan pengaruh lingkungan luar yang sangat besar. Di masa itulah saya mulai memprotes ”kekosongan” yang saya alami!”, begitu katanya.
”Kita lihat saja nanti...., setiap anak punya karakter masing-masing dan mereka akan bereaksi sesuai dengan karakternya. Dan kamu sih ... memang dasarnya aja egois dan megalomane”, begitu tanggapan saya sambil bercanda, ingat bahwa lulusan ITB seringkali dikatakan sebagai Megalomane.
Begitulah, tahun demi tahun berlalu dan semua fase yang diceritakan ArSa terjadi walau dalam bentuk yang berbeda tetapi masih dalam koridor yang sama. Apakah saya menyesal ...? Sepenuhnya tentu saja tidak!!! Itu merupakan pengalaman hidup yang harus saya lalui. Pembelajaran hidup sebagai orangtua agar saya selalu berintrospeksi dalam mengelola hubungan dengan anak. Apalagi lahir anak ke dua, saat si sulung duduk di bangku SMP kelas 3.
Sementara itu saat duduk di bangku SMP dan SMA di Rawamangun, prestasi anakpun masih tetap baik, aktif dan mandiri. Tidak pernah luput dari peringkat terbaik di kelasnya. Saat naik ke kelas 3 SMP, dia terjaring untuk masuk ke kelasnya para juara dan di SMA terpilih masuk program akselerasi. Kegiatan olahraga, terutama sepakbola tetap diikuti bahkan hingga suatu kali dia harus dioperasi karena tulang hidungnya patah. Satu hal yang saya kagumi darinya, kegemarannya menonton film asing dan dipengaruh oleh musik yang selalu terpasang di mobil (Beatles, Chicago, Phill Collins dll) mengantarnya menjadi fasih berbahasa Inggris tanpa mengikuti kursus sekalipun. Bahkan sekolahnyapun sempat mengutusnya menjadi peserta debat bahasa Inggris yang diselenggarakan di UI, walaupun tidak mendapat gelar juara.
***
Semalam (Sabtu malam, 20 Januari 2007), secara tidak sengaja saya mengikuti acara talkshow di O’Channel dengan pembicara Putrie Soehendro. Sayang saya terlambat mengikuti acara tersebut, tapi selintas saya menangkap bahwa Putrie Suhendro berprofesi sebagai pendongeng (mungkin dia berlatar pendidikan psikologi). Perempuan muda yang sudah menikah namun belum memiliki anak walau sudah menikah bertahun-tahun. Ada ucapannya yang saya “amien-i”;
“Seorang anak, membutuhkan orang tua (terutama ibu), bukan hanya dalam bentuk suara yang terekam dalam kaset untuk diperdengarkan manakala si ortu absen. Tetapi mereka membutuhkan kehadiran, aura, aroma, sentuhan, ekspresi dan kesemuanya akan membaur menjadi suatu interaksi interpersonal yang akan menjadi nutrisi kalbu mereka. Maka, jangan bicara tentang kualitas, bila kita tidak bisa memenuhi kebutuhan akan nutrisi kalbu tersebut Istilah Nutrisi Kalbu ini sangat dalam maknanya dan ini sangat mempengaruhi kehidupan seorang anak dalam meniti kehidupannya kelak saat dia dewasa. Jangan abaikan ini”
Kenapa saya menekankan ucapan tersebut? Orangtua, seringkali mengabaikan fakta bahwa kehadiran dan sentuhan adalah faktor penting dalam komunikasi. Saya ingat sekali, saat anak lelaki saya masih di SD, setiap hari Sabtu, saya selalu berusaha menjemputnya pulang sekolah. Ada binar kebahagiaan yang sukar saya lupakan hingga sekarang. Begitu juga dengan anak perempuan saya yang berumur hampir 9 tahun itu.
Suatu kali, saat sedang jenuh dengan suasana kantor, saya pulang lebih awal dan menelpon ke sekolahnya, bahwa hari itu saya akan menjemput anak, sehingga dia tidak perlu ikut mobil sekolah. Saat saya tiba di sekolah ... dia sudah menunggu di halaman sekolah, segera berlari kencang dengan raut muka yang sangat bahagia. Sambil berjalan pulang, di mobil dia bercerita tentang segala pengalamannya di sekolah dengan intonasi yang sangat berbeda dengan intonasi suara saat saya menelpon ke rumah dari kantor pada jam di pulang sekolah. Kejadian ini membuat saya berjanji dalam hati akan berusaha meluangkan waktu minimal 1x dalam sebulan, menjemputnya ke sekolah.
***
Hari ini, minggu 21 Januari 2007, harian Republika memuat berbagai artikel mengenai hubungan anak-anak dengan orangtuanya. Salah satu artikel yang saya baca adalah ”Tak Cukup lewat SMS dan Telpon”. Inti artikel tersebut adalah bahwa komunikasi orangtua yang bekerja dengan anak harus disertai dengan kualitas perhatian yang penuh, yang antara lain bisa dipenuhi dengan cara; tatkala anak bertemu dengan orangtua dan mengajaknya bercakap-cakap, maka orangtua harus menjawabnya dengan perhatian penuh. Tidak boleh dilakukan sambil melakukan pekerjaan yang lain walaupun itu dalam bentuk membaca koran. Pengiriman SMS dan Telpon bukan cara untuk menggantikan kehadiran ibu, tetapi malah akan menjadi boomerang karena alih-alih merasa diperhatikan, anak malah merasa dituntut, merasa ada polisi yang mengawasi.
Kecenderungan orangtua membawa pengasuh saat berjalan-jalan/berekreasi dengan anak ke Mall atau kemanapun, harus dihentikan. Orangtua harus melayani anaknya, menyuapi anak-anaknya yang belum mampu makan sendiri. Hal itulah yang mampu membangun kualitas interaksi orantua – anak. Bila anak-anak masih dilayani pengasuh saat orangtua ada di sampingnya/rumah, maka kita patut bertanya ... Kualitas hubungan orangtua-anak macam apa yang hendak kita bangun?
Perjalanan mendidik anak masih panjang. Kalau usia anak-anak kita masih berada di kisaran 10 tahun (masih siswa SD), masih ada jenjang SMP dan SMA, masa remaja yang sering dikatakan para ahli sebagai masa rawan pendidikan anak, karena di masa ini, anak-anak mulai menunjukkan eksistensinya dalam berbagai bentuk.
Konon, anak yang dididik secara mandiri, kritis dan demokratis akan menjadi anak yang pemberontak di sekolah dan kritis terhadap apa-apa yang dirasanya tidak sesuai dengan etika yang dianut dan yang diterima, sebagai hasil didikan orangtua.
Saya sudah melalui masa ini, yaitu masa merawat dan mendidik anak lelaki hingga melepaskannya menikah di negara orang dua tahun yang lalu, di usianya yang masih muda 22 tahun, walaupun tidak selamanya berjalan mulus. Masih ada anak gadis kecil berumur hampir 9 tahun yang masih memerlukan perhatian. Tentu saja, pengalaman mendampingi anak lelaki tersebut, menjadi referensi dalam mendidik anak kedua. Namun saya sadar betul, bahwa setiap anak terlahir unik. Ada perbedaan karakter ... perbedaan waktu yang juga mengubah nilai dan norma kehidupan. Apalagi, jenis kelamin ke dua anak tersebut, berbeda. Tentu pendekatan dalam mendidikpun akan berbeda.
Saya tidak ingin gegabah dan merasa telah sangat berpengalaman dalam mendidik anak. Tetapi, saya tahu bahwa saya akan mendapat pengalaman yang berbeda dalam setiap episode kehidupan anak yang sangat unik dan itu tak akan habis-habisnya untuk diceritakan.
Semoga para orang tua senantiasa ingat, bahwa anak adalah titipan Allah SWT. Sebagai titipan, kita wajib memelihara dengan baik agar saat pemiliknya nanti menuntut kita mempertanggungjawabkan ”Masa Pemeliharaan” yang diberikanNya kepada kita, maka kita, orangtuanya, Insya Allah mampu mempertanggungjawabkan bahwa ”sang Titipan” sudah dipelihara sesuai SOP – Standard Operating Procedure yang dikehendakiNya, yaitu Al Qur’an (bagi umat Islam) dan teladan yang diajarkan Rasulullah SAW.
Lebak bulus, 21 Januari jam 09.25
[1] xxxxx xxxxxx <xxxxxx@yahoo.com> wrote:
Sebetulnya 'ruang kosong' itu muncul karena 'lack of communications & connections'. Makanya dalam rumah tangga 'communication' itu penting. It doesnt require 2 people to look at each other all the time but They have to LOOK AT THE SAME DIRECTION! & 'connection' means emotions contact / feeling.
Terus terang aja, keluarga kami, saya & istri saya bekerja, tetapi selalu ada waktu untuk mengantar (saya)/menjemput (istri saya) mereka selepas sekolah. Kalau saya lagi dinas, saya pastikan anak2 saya baik2 & tidak terlambat bangun untuk ke sekolah. In the conversation on the phone, there is always emotional connection which I can feel or they can feel it. Its not about expressing 'how much you love them?'... but by understanding the tone, we know & they know that we look after & care !!!
Karena itulah, meski mereka baru 9th & 11 th, mereka mandiri, know what they do & they want and tell everything frankly to us about whats going on!
contohnya:
Saya surprised juga, ketika anak saya yang pertama (11th) suatu hari cerita kalau dia sudah dapat pre-pubertas. Saya tanya, emang tanda2-nya apa? Dengan lancar dia bercerita & menyimpulkan kalau dia sudah dapat masa pre-pubertas. Dan cerita kalau dia dapat pengarahan itu dari guru kelasnya serta bahan2 referensi lainnya yang dia temui internet (kids forum)!!!
so ... its depend on how you drive it ! kids feeling lonely, getting lost or being ignored?... something wrong & you have to fix it!
Wassalam,
-AS E87-