Pemalsuan merek terkenal di Indonesia bukanlah hal yang aneh. Dari mulai DVD – CD (baik yang berlabel compact disk maupun celana dalam) hingga barang bermerek yang biasa dikonsumsi kaum berada. Bagi penduduk Jakarta , tidak perlu jauh-jauh ke Glodok. Pergilah ke berbagai pertokoan, maka dengan sangat mudah akan dijumpai DVD-CD bajakan yang dijual bebas dengan harga sekitar 15% - 20% dari harga DVD asli. Atau, bila suatu saat berwisata ke Jawa Timur, mampirlah Tanggulangin di Sidoarjo (semoga tidak tenggelam oleh lumpur Lapindo Brantas). Tempat berbagai tas bermerek dipalsukan dan dijual dengan harga yang sangat murah. Begitu juga dengan industri pakaian jadi a la home made yang bertebaran di sentra-sentra industri kecil, tak segan-segan memalsukan merek-merek terkenal sehingga golongan masyarakat berpenghasilan sederhana turut pula “mencicipi rasa” menggunakan pakaian bermerek.
Kini pemalsuan tidak lagi melulu pada barang-barang sekunder, tetapi sudah memasuki wilayah makanan. Suatu hari, saya melihat reportase pemalsuan ikan kakap merah. Tengoklah, bagaimana para reporter berhasil mengungkap penipuan yang dilakukan para pedagang ikan kakap merah; yaitu melumuri ikan kakap hitam dengan pewarna merah (dari pewarna tekstil?!) agar dapat dijual lebih mahal. Di lain waktu diungkap juga adanya pemalsuan air minum kemasan baik berupa teh manis, maupun yang berwarna semacam coca-cola, fanta dan lain-lain. Kesemuanya dalam kemasan asli sehingga orang awam sulit membedakannya.
\Pemalsuan beras kedaluwarsa ex Bulog yang kemudian di”putih”kan dengan mengalirkan cairan pemutih dan kemudian menjemurnya kembali hingga kering dan dikemas sebagai beras “putih”. Bahkan telur ayam kampungpun dipalsukan dengan melumuri telur ayam negeri dengan suatu cairan yang mampu memudarkan warna telur ayam negeri yang kemerahan menjadi keputihan seperti telur ayam kampung. Menggelikan juga, yang satu ini…. Biasanya, kita memalsukan yang “kampung” agar terlihat berkelas dan berlabel “negeri”, ini malah yang “berkelas dan negeri” dipalsukan agar menjadi “kampung”….
Pada pemalsuan pakaian, tas dan lain-lain yang tidak dikonsumsi masyarakat, hanya produsen aslinya yang dirugikan. Bayangkan bagaimana kerugian yang juga diderita oleh konsumen yang memakan ikan kakap merah palsu serta beras berpemutih yang dibaluri pewarna kimiawi non makanan maupun minuman kemasan yang jauh dari sayrat-syarat kesehatan. Bukankah kesemuanya, bila dikonsumsi secara tidak sadar dalam jangka waktu panjang akan mencetuskan penyakit kanker.
Penipuan ini tidak lagi hanya menyentuh masyarakat golongan berpenghasilan rendah. Akhir minggu kemarin, Repotase Sore meliput berita mengenai pemalsuan jam tangan bermerek yang bukan saja dijual murah di toko-toko sembarangan. Toko yang sudah pasti bisa “dicurigai” tidak mungkin menjual jam tangan bermerek apalagi dengan harga murah, kecuali bila barang tersebut palsu. Tetapi… jam tangan bermerek palsu itupun dijual di pertokoan mewah. Bayangkan, seorang Inul Daratista yang konon mengaku sebagai kolektor jam bermerek dan mahal pernah tertipu, membeli jam bermerek yang palsu berharga puluhan juta rupiah.
Upaya para reporter dan cameraman merekam reportase tersebut dan entah bagaimana mereka “membujuk” para narasumber untuk membagi cerita yang kesemuanya berisi PENIPUAN terhadap konsumen, patut dipuji. Inilah kerja keras yang patut diacungi jempol.
Anehnya, dengan reportase yang “terang-benderang”, walaupun pada kenyataannya sang pelaku dikamuflase, tidak sekalipun terdengar upaya aparat penegak hukum membekuk para pelaku. Kalau saja aparat mau, mereka toh bisa meminta data dari pihak Trans TV. Atau apakah aparat kesulitan mengakses para pelaku karena pihak Trans-TV menerapkan azas perlindungan terhadap narasumber. Lebih buruk lagi bila keengganan aparat mengungkapkan dan membekuk para pelaku karena ada “kerjasama” antara para pelaku dengan aparat.
Menyedihkan sekali … Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam…. Negara yang mayoritas penduduknya menganut agama yang secara tegas dan jelas melarang adanya bentuk penipuan saat berniaga/berdagang. Ternyata para pelaku perniagaan banyak yang melakukan penipuan. Adakan mereka lupa akan ajaran agamanya… Ataukah, keinginan memperkaya diri dan menumpuk harta membuat mereka lupa diri…? Wallahu alam.