Rabu, 11 Juni 2014

KILAS BALIK PEMERINTAHAN di INDONESIA

Tulisan ini bukan tulisan yang amat sangat serius kok ... Ini adalah tulisan singkat berdasarkan ingatan saja, tanpa referensi tulisan/dokumen apapun juga. Jadi ...... kalau berminat membacanya, simak saja dengan baik. Kalau ada yang terasa kurang akurat atau ada data lainnya dan mau ditambahi atau dikurangi, silakan beri masukan bagian mana yang harus diperbaiki pada kolom komentar.
***
Soekarno

Menjelang pemilihan presiden pada tanggal 9 Juli 2014 yang akan datang, mari kita lakukan flashback pemerintahan Indonesia yang pada bulan Agustus tahun ini sudah berusia 69 tahun. Tanpa maksud menggurui, karena saya bukan guru, hehe .... diharapkan kita bisa mengambil yang baik dari setiap periode untuk diterapkan dengan harapan semoga bisa diteruskan dalam pemerintahan yang akan datang seraya "membuang jauh-jauh apa-apa yang menyengsarakan rakyat serta perilaku buruk kita.

Nah, kita mulai ya .....

1945 - 1966 Masa pemerintahan Soekarno - Orde Lama
Diawali dengan masa konsolidasi dalam negeri serta diplomasi luar negeri untuk memperoleh dukungan atas kemerdekaan Indonesia di dunia internasional. Pada awal tahun kemerdekaan, pemerintahan Indonesia masih disibukkan dengan mempertahankan kemerdekaan dari upaya-upaya penjajahan oleh Belanda dan sekutunya sehingga kehidupan dalam negeri agak terabaikan. 

Bagaimana mungkin bisa memperhatikan kehidupan masyarakat, wong beberapa kali pemerintahan harus mengungsi dan kocar-kacir karena serbuan penjajah. Itu sebabnya, di dalam negeri terjadi banyak pemberontakan daerah/golongan (PRRI/Permesta - Kahar Muzakir - DI/TII dll), perubahan sistem pemerintahan (NKRI - RIS alias Republik Indonesia Serikat) yang disebabkan oleh ketidakpuasan sebagian tokoh masyarakat akan pemerintahan Indonesia. Soekarno bertahan cukup lama walau didera berbagai pemberontakan bahkan juga percobaan pembunuhan. Sistem pemerintahan berakhir dengan demokrasi terpimpin yang menyatukan kaum nasionalis-agama-komunis. Sistem kabinetpun berganti-ganti. Dari kabinet presidensial - zaken cabinet tentu berdampak pada pergantian Perdana Menteri. Intinya mungkin mencoba mencari sistem pemerintahan yang paling cocok untuk diterapkan di Indonesia yang majemuk. 

Hal menonjol dari masa pemerintahan Soekarno adalah "keberaniannya" melawan dominasi negara maju dan kecenderungannya pada agitasi. Kita tentu masih ingat denga slogan seperti " Amerika, kita setrika, Inggris kita linggis dan ganyang Malaysia antek nekolim" dan lain-lain. Kepiawaiannya dalam diplomasi internasional membuatnya memiliki "kedudukan setara" dengan presiden legendaris dari beberapa negara terkenal seperi JF Kennedy (USA) - Joseph Bronz Tito - Nikita Kruschev (Soviet) - Fidel Castro (Kuba) - Gamal Abdul Naser (Mesir) - Jawaharlal Nehru (India) dan lainnya.

Soeharto
Ambisi Soekarno untuk menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang disegani di"dunia" ditandai dengan keberhasilannya menyelenggarakan KAA - Konferensi Asia Afrika 1955 sebagai cikal bakal gerakan negara non block sesuai dengan keinginannya untuk membentuk poros baru yang dinamakannya sebagai the New Emerging Force.

Pada masa akhir pemerintahan Soekarno, orientasi politik Indonesia walau secara formal adalah NON BLOCK, namun pada prakteknya cenderung ke arah kiri (Soviet dan China) yang sudah pasti tidak disukai Amerika Serikat. Akibat ambisi politik luar negerinya yang luar biasa maka kondisi pemerintahan di dalam negeri menjadi terabaikan. Inflasi tak terkendali. Gabungan dari dua kondisi inilah yang membuka celah perlemahan kekuatan Soekarno di dalam negeri.

1966 - 1998 Masa Pemerintahan Soeharto - Orde Baru
Diawali dengan "pembersihan" para loyalis Soekarno selama era tahun 1966-1967, masa awal pemerintahan Soeharto ditandai dengan masuk dan maraknya "bantuan" dalam bentuk bimas alias bimbingan massa dan investasi asing untuk menggarap hampir seluruh sektor sumber daya alam, dari mulai pertanian, pertambangan, kehutanan, kelautan, perminyakan dan lain-lain. Hampir tidak ada yang tertinggal.

Roda ekonomi bergerak sangat pesat, kehidupan politik masyarakat tanpa disadari masuk pada tahap represif yang dimulai dengan pengawasan ketat pada bekas tahanan politik dan keluarga/lingkungannya. Perlahan-lahan pengawasan yang kemudian berubah menjadi pengetatan dan penyeragaman kehidupan politik semakin menguat. Puluhan partai politik di "merger" menjadi 2 saja, yaitu partai beraliran Islam menjadi PPP, non Islam dan nasional menjadi PDI dan satu lagi adalah golongan pekerja alias PNS-BUMN dilarang berafiliasi pada partai alias "wajib" menjadi anggota golongan karya alias Golkar. Pada masa itu, hari pencoblosan tidak dijadikan hari libur sehingga pemilihan dilakukan di kantor. Dengan demikan, akan terlihat siapa yang membelot.

Apakah seluruh masa pemerintahan Soeharto, buruk? Tentu saja tidak ....
Yang paling penting adalah .... RENCANA KERJA pemerintah, terinci dan terprogram dengan baik melalui GBHN alias garis besar haluan negara yang kemudian diterjemahkan melalui REPELITA alias Rencana Pembangunan Lima Tahun yang "harus" dijalankan oleh presiden selama masa pemerintahannya.

Apa saja peninggalan Soeharto yang dijuluki Bapak Pembangunan Indonesia yang tentunya tidak dapat ditutup-tutupi, terutama pada awal tahun-tahun pemerintahannya. Pertama tentu saja adalah keberhasilannya menarik investor dan bantuan. Bahasa halusnya adalah pinjaman lunak dari donor yang berasal dari luar negeri untuk membiayai pembangunan dalam negeri. Orientasi pembangunannya jelas dan terstruktur melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun. Karenanya target dan sasaran pembangunannya jelas terukur
BJ Habibie

Sebagai presiden, Soeharto juga sangat pandai memilih menteri sebagai pembantu yang  "wajib" melaksanakan keinginannya sekaligus membuat mereka sangat loyal. Perhatiannya kepada rakyat kecil jelas terasa melaui berbagai program bimbingan/penyuluhan, pendirian KUD - Koperasi Unit Desa, pembangunan sarana pendidikan/sosial/kesehatan melalui bantuan presiden (banpres) dan instruksi presiden (inpres) ... Hasilnya yang fenomenal adalah Indonesia berhasil berswasembada beras pada tahun 1981 (kalau nggak salah) dan mendapat pernghargaan dari FAO. Kalau kemudian terjadi penyelewengan di segala sektor pembangunan, tentu bukan karena program kerja yang buruk, tetapi memang aparatnya yang buruk dan pengawasan yang (disengaja) lemah.

Apa yang khas dari pemerintahan Soeharto?
Di balik segala keberhasilan, terutama pada masa 10 tahun pemerintahannya, menurut saya ... mulai timbul "kemunafikan". Tidak sinkron antara ucapan dan tindakan. Korupsi sudah terjadi masif di kalangan eksekutif. Ini bisa ditandai dengan mulai dibentuknya KPK yang dipimpin oleh Jaksa Agung Ali Said (ada yang bisa koreksi, benarkah Jaksa Agung Ali Said adalah ketua KPK pertama?).

Kalau kita sempat membaca buku Confession of an Economic Hit Man karya John Perkins, secara tersamar bisa ditarik kesimpulan bahwa KKN adalah bagian dari strategi NSA - National Security Agency untuk menguasai pemerintahan suatu negara melalui tawaran kerjasama/pinjaman lunak yang dilengkapi dengan perangkat lainnya.

Setelah pembersihan para pendukung Soekarno/orde lama selesai, pemerintahan Soeharto mulai terasa represif terhadap umat Islam, terlihat dari "pemberangusan" kelompok Islam yang diberi label radikal. Alerginya terhadap Islam mungkin baru berakhir dengan Deklarasi pembentukan ICMI di universitas Brawijaya - Malang. Itulah momentum kebangkitan kehidupan keberagamaan terutama Islam.

Mungkin betul pepatah yang mengatakan bahwa jabatan itu melenakan. Kalau sudah diduduki, membuat orang lupa berdiri untuk meninggalkannya. Itulah yang terjadi pada presiden Indonesia yang kedua. Belajar dari Soekarno yang melegalkan "secara paksa" penunjukannya sebagai presiden seumur hidup melalui Tap MPR, maka Soeharto melakukan dan melaksanakan ambisinya dengan cara yang sangat halus, yaitu menggiring DPR/MPR yang dikuasai oleh Golkar untuk selalu dan selalu menetapkannya sebagai presiden. Tentu ... siapa yang berani menolak "arahan" dari ketua Dewan Pembinanya? Jabatan apapun di Indonesia tidak akan pernah terjadi tanpa restu presiden.

Ada banyak hal yang menyebabkan masyarakat mulai "bosan" dengan gaya kepemimpinan Soeharto yang kurang padu antara kata dan perbuatan terutama mulai akhir tahun 1980an. Masa ketika putra-putrinya beranjak dewasa, menikah dan tentunya mulai terjun ke dunia bisnis. Pergantian generasi sudah terjadi. Generasi muda tentu ingin perubahan ....

1998 - sekarang
Dimulai dengan devaluasi luar biasa nilai tukar rupiah - Rp.  ke dolar Amerika - USD. Bayangkan saja, nilai tukar USD ke Rp. yang semula berada pada kisaran Rp.2500,- an melonjak tidak terkendali hingga mencapai angka di atas Rp.15.000,- Berarti lebih dari 6 kali. Konon .... ada sosok bernama George Soros yang tiba-tiba muncul dan dituding sebagai pihak yang "bermain" dibalik krisis keuangan yang melanda hampir seluruh negara Asia Tenggara.

Atas perkenan Allah SWT, akhirnya mahasiswa berhasil menggulingkan presiden RI Soeharto yang sangat powerfull. Pasti ada "tangan" Yang Maha Kuasa bermain untuk melunakkan hati seorang Soeharto, hingga beliau tidak melanjutkan kekerasan yang sudah menimbulkan korban gugur beberapa mahasiswa, dan berkenan mengundurkan diri secara sukarela. Menyerahkan kekuasaannya kepada wakil presidennya BJ Habibie.

Apa yang kita peroleh dengan adanya reformasi 1998?
Megawati
Kini kita bangga disebut sebagai salah satu negara demokratis yang besar. Betul.... kalau ditinjau dari sudut pandang bahwa kini rakyat Indonesia bisa memilih langsung presiden, gubernur, bupati, walikota yang wakil rakyatnya. Langsung merujuk pada nama.

Daerah kini memperoleh otonomi yang pada prakteknya menjadi "kerajaan-kerajaan" kecil yang tidak lagi patuh pada peraturan "pusat". Bagaimana mungkin mereka mau mematuhi aturan pusat, manakala pimpinan daerah menduduki posisinya berkat mandat langsung dari rakyat, melalui pemilihan langsung. Apapun cara mendapatkan suara pemilih tersebut.

Undang-undang Dasar 1945 tidak lagi sakral karena sudah diobok-obok melalui amandemennya. DPR tidak lagi tidur tetapi menjadi galak dan merasa sangat berwenang untuk ikut "cawe-cawe" dalam segala segi pemerintahan. Pemerintah tidak "dibiarkan" secara leluasa melaksanakan tugasnya tanpa direcoki.

Pemekaran daerah terjadi terus menerus. Mungkin untuk melupakan lepasnya propinsi Timor Timur.

Tapi .... dibalik segala kebanggaan sebagai negara demokrasi yang besar, sesungguhnya ada banyak "tanda-tanda kehancuran" etika, moral, kejujuran, integritas dan ..... 
Sungguh .....
Saya tidak mampu lagi menuliskannya ....  

Selasa, 10 Juni 2014

Ayo kenali "diri kita"

Setiap akhir tahun atau kapanpun kita bicara tentang kondisi ekonomi Indonesia, kita selalu disuguhi berbagai terminologi "tingkat tingi" seperti pertumbuhan ekonomi sekian persen, produk domestik bruto, pendapatan per kapita dan lain-lain yang rasanya tidak terlalu berarti bagi masyarakat awam. Namun terminologi ini sangat disukai oleh segelintir orang yang menamakan dirinya sendiri atau kerap dijuluki sebagai pakar ekonomi.

Segala terminologi "ajaib" itu mungkin berarti bagi para investor yang "bermain" pada sektor ekonomi di"awang-awang" alias bursa saham. Bukan bagi sektor ekonomi riel yang kerap terseok-seok dalam mengembangkan bisnisnya. Sejak membaca buku Confession of an Economic Hit Man karya John Perkins beberapa tahun yang lalu, saya tidak lagi percaya pada segala macam indikator pertumbuhan ekonomi a la Amerika Serikat yang didasarkan pada statistika tingkat pertumbuhan ekonomi, GDP - gross domestic product, Income per capita dan sejenisnya yang seringkali berbeda jauh antara angka-angka yang tertera dibandingkan realita. DIbandingkan dengan kenyataan yang ada di masyarakat. 


Bagaimana mungkin kita bisa percaya bahwa negara kita memiliki income per capita yang tinggi manakala kita rajin melihat dan meresapi kondisi nyata di sekeliling kita. Tidak perlu jauh hingga ke pelosok daerah yang masih sukar di tembus oleh alat transportasi umum. Cukup berjalan ke pelosok kota Jakarta, maka kita akan melihat betapa disparitas alias perbedaan dan ketidak seimbangan antara golongan kaya dan golongan miskin di Indonesia memang sangat luar biasa.



Kawasan Kumuh Jakarta
Marilah kita tengok beberapa kondisi masyarakat yang sangat nyata namun seringkali luput dari pengamatan kita. Di balik gemerlapan ibukota dan kota2 besar lainnya di Indonesia, kita dengan mudah menemukan banyak kawasan kumuh yang sangat tidak layak huni. Dimana rumah atau lebih tepat disebut gubuk karton rombeng berukuran 3 x 4 meter dihuni oleh beberapa orang atau bahkan 2 hingga 3 generasi. Tanpa ventilasi dan sudah barang tentu tanpa sanitasi yang baik.

Pada saat segolongan masyarakat terutama di ibukota Jakarta atau kota-kota besar lainnya berbondong-bondong antri dan berebut cepat hanya untuk membeli gadget terbaru yang harganya hingga jutaan rupiah, nun .... di pojok kota sebagian lagi masyarakat justru harus antri untuk mendapatkan raskin - istilah yang digunakan untuk beras yang dijual murah kepada golongan masyarakat perpenghasilan rendah - yang sudah berbau atau untuk mendapatkan air bersih yang distribusinya tak kunjung merata menjangkau kebutuhan masyarakat.

Pada saat perempuan kota dengan pakaian yang sangat chic dan elegante berebut "branded items" yang harganya mampu membuat kening berkerut karena terkadang jumlah uangnya bisa digunakan untuk membangun sebuah rumah yang sangat layak huni bagi satu keluarga, lalu mereka dengan bangga memamerkannya kesana-kemari. Tengok dan berempatilah bahwa masih banyak perempuan desa, baik gadis maupun kaum ibu yang dengan sangat terpaksa meninggalkan desa dan keluarganya untuk "menantang" keganasan negeri asing. 


Mereka, perempuan-perempuan lugu itu harus menjual tenaga di negara asing demi sesuap nasi dan impian memberikan kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya. Mungkin hanya nasib baiklah yang mereka harapkan agar segala impiannya terwujud karena bukanlah hal asing pula bila aib atau lebih menyedihkan lagi, nyawalah yang menjadi taruhannya.



Jermal
Pada saat sebagian anak muda kota dengan sedikit polesan wajah dan kegenitannya berseliweran di layar kaca dengan honor hingga puluhan juta rupiah menawarkan mimpi yang kemudian perilaku serta gaya hidupnya ditiru oleh rekan sebayanya di seantero negeri, di pelosok sana .... terutama di kantong-kantong pemukiman nelayan masih banyak remaja dan bahkan anak di bawah umur terpaksa mengais rejeki di jermal. Sekolah ......? Mungkin kosa kata itu tidak pernah singgah di telinga anak-anak jermal.

Pada saat sebagian masyarakat kelas menengah ke atas yang tinggal di perkotaan ramai berobat atau sekedar melakukan medical check up hingga ke negara jiran, di sini ... sebagian masyarakat golongan bawah menangis tanpa daya karena anak yang dilahirkan tersandera di rumah sakit oleh ketiadaan biaya.


Itulah sebagian kenyataan kondisi sosial-ekonomi negara kita yang tercinta.

Distribusi kekayaan (gross domestic product) Indonesia yang katanya sudah relatif meningkat lagi setelah hancur luluh lantak selama periode tahun 1997 - 1998, tidak merata dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Jumlah penduduk kaya memang meningkat namun kita tidak pernah memiliki data yang valid berapa banyak jumlah penduduk yang kekayaannya meningkat pesat dan darimana asal kekayaan. Satu-satunya fakta yang bisa kita lihat dan rasakan adalah maraknya kasus penyalahgunaan wewenang oleh pejabat atau aparat-aparat demi penumpukan kekayaan.


Kita tahu, salah satu kelemahan masyarakat dan pemerintahan Indonesia adalah "catatan/data" tidak tersimpan dan terpelihara dengan baik. Data resmi yang tersaji di BPS - Biro Pusat Statistik seringkali kurang up to date. Kita juga memiliki kelemahan dalam analisa masalah. Di samping itu, masyarakat kita seringkali "mencurigai dan mencari kambing hitam" tatkala ada survey, temuan atau data yang sedikit menyimpang dari "impian" yang kita bangun sendiri untuk kepuasan diri. Lembaga survey tidak lagi bisa dipercaya karena dalam bisik-bisik dikatakan bahwa hasil survey bisa dibuat sesuai pesanan. Apapun bisa dibuat sesuai pesanan, selama imbalannya memuaskan. 

Akhirnya, kita mungkin memang tidak pernah/belum mampu untuk menerima kekurangan diri sendiri untuk kemudian menggunakannya sebagai alat untuk mengevaluasi demi perbaikan dan kemajuan diri. Kita cenderung mencari kambing hitam. Saat ada orang membicarakan tentang perbedaan antara si kaya dan si miskin, tudingan atas kemungkinan timbul dan hidupnya kembali paham komunisme segera menyeruak. Padahal .... 


Jangan katakan pemahaman ini sebagai awal kebangkitan komunisme di Indonesia, 

Cobalah sedikit berempati ke sekeliling kita ... 
Tajamkan mata hati dan nurani kita .... 
Maka kita bisa tahu dan merasakan bahwa sesungguhnya disparitas antara si kaya dan si miskin memang ada. Bukan karena negara Indonesia miskin tetapi karena distribusi kekayaan negeri ini tidak merata. Hanya dikuasai "secara serakah" oleh segelintir kelompok orang.

Inilah kenyataan kondisi ekonomi yang riel di negara Indonesia tercinta. 
Jangan mencari kambing hitam. 
Lebih baik kita sadarai bahwa banyak pekerjaan yang harus dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan negeri ini.
Demi Indonesia tercinta .....

Senin, 02 Juni 2014

Mengukur CAPRES secara berimbang

Ditengah maraknya black campaign yang beredar di media sosial, tulisan yang saya temukan terselip di antara hiruk pikuk black campaign ini cukup jernih dan berimbang menilai dua calon presiden RI mendatang. 

Mari cermati dengan baik .... perasaan suka atau tidak suka, tentu akan tetap ada. Jadi baca saja dengan kepala dingin ...

Mari Mengukur Jokowi dan Prabowo 
by Laurencius Simanjuntak



Tulisan saya ini berangkat dari opini Sunny Tanuwidjaja di Harian Kompas 6 Mei 2013 berjudul 'Standar Jokowi'.

Dalam opini itu, Sunny cukup memakai logika sederhana namun telak untuk menggugat mereka yang tidak adil 'mengukur' Jokowi.

 Belakangan ini, utamanya setelah Jokowi mendapat mandat untuk nyapres dari Megawati, standar 'keberhasilan mengurus Jakarta' marak lagi dipakai oleh beberapa pihak–tak jarang para elite–untuk 'mengukur' kelayakan Jokowi menjadi capres.
 Gampangannya, jika dianggap berhasil mengurus Jakarta, Jokowi layak nyapres, dan jika tidak, Jokowi tak layak nyapres. Bahkan, mereka yang ekstrim langsung ‘melarang’ Jokowi nyapres dengan alasan tugas politikus PDIP itu belum tunai, sehingga tak mungkin keberhasilan kinerjanya di Jakarta diukur.



Entah apapun alasan mereka, Sunny telah jeli membongkar cara berpikir mereka dengan logika sederhana. Menurut Sunny, mengukur kelayakan Jokowi dan tokoh–tokoh lain yang ingin nyapres haruslah menggunakan 'penggaris' yang sama. Artinya, jika ukurannya adalah 'keberhasilan mengurus Jakarta', maka para capres lain harus diukur dengan ukuran itu.
 Namun, "Jika memang kelayakan para figur capres tidak bisa diukur dengan 'penggaris' yang sama maka sebaiknya dicarikan yang 'penggaris' setara.

Di sinilah letak titik persoalannya. Panggung memimpin Ibukota yang dimiliki Jokowi tidak dimiliki oleh capres-capres yang lain sehingga tidak mungkin ukuran kelayakan menjadi capres yang digunakan untuk Jokowi tersebut bisa digunakan kepada calon yang lain. Bahkan sangat sulit, jika bukan mustahil, untuk mencarikan uji kelayakan yang setara tingkat kesulitannya dengan panggung memimpin ibukota tersebut." (Sunny, 2013)

 Karena tidak mungkin mencari ‘penggaris’ yang sama, marilah kita mencari 'ukuran yang setara' untuk menguji kelayakan Jokowi dan capres lain.

Saya akan membandingkan Jokowi dengan Prabowo. Kenapa Prabowo? Karena capres Partai Gerindra inilah yang menurut sejumlah lembaga survei paling mampu bersaing dengan Jokowi. 

Perbedaan yang mencolok dari Jokowi, 52 tahun, dan Prabowo, 62 tahun, adalah latar belakang keduanya. Jokowi jelas orang sipil murni. Sedangkan Prabowo (62) hampir separuh hidupnya mengabdi pada TNI (dulu ABRI). Dari fakta itu, sebenarnya sulit mencari ukuran yang setara untuk menakar kedua tokoh tersebut. Akan tetapi, jika dipaksakan mencari ukuran yang mendekati setara, maka titik temunya adalah Jokowi dan Prabowo pernah (atau masih) menjadi penyelenggara negara/pejabat publik–dalam artian jabatan yang digaji negara untuk mengurusi kepentingan publik.



Jokowi, yang sebelumnya pengusaha mebel, mulai meniti karier politik saat terpilih secara demokratis dalam Pilkada Kota Surakarta pada 2005. Memimpin Surakarta selama satu periode, Jokowi terpilih kembali dengan kemenangan mutlak–di atas 90 persen suara–pada Pilkada Surakarta 2010. Masa jabatan periode kedua di Pemkot Surakarta (2010–2015) tak selesai dijalaninya, karena menang di Pilgub DKI 2012. Wali Kota Surakarta 2005–2012 dan Gubernur DKI Jakarta 2012–sekarang adalah dua jabatan publik yang pernah dan masih diemban Jokowi.

 Sedangkan Prabowo, berkarier sebagai anggota TNI (dulu ABRI) sejak 1974–seangkatan dengan SBY–dia pernah menjabat dua jabatan penting dalam kesatuan di Angkatan Darat. Pertama adalah Komandan Komando Pasukan Khusus (1996–1998) dan Panglima Komando Cadangan Strategis yang hanya dijabatnya selama dua bulan (20 Maret–22 Mei 1998). 

Jabatan yang singkat itu adalah imbas dari pencopotan Letjen Prabowo Subianto sebagai Pangkostrad sekaligus anggota TNI oleh Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto, karena dinyatakan terlibat penculikan aktivis pada 1998. Inilah jabatan terakhir Prabowo sebagai penyelenggara negara/pejabat publik di republik ini.



Setelah dicopot tanpa melalui peradilan militer, Prabowo hijrah ke Yordania untuk berbisnis dan balik lagi pada 2004 untuk mengikuti Konvensi Capres Partai Golkar 2004, namun kalah. Menghilang setelah kalah, Prabowo muncul lagi jelang Pemilu 2009 dengan mendirikan Partai Gerindra. Kalah di Pilpres 2009 sebagai cawapres Megawati, akhirnya pada 2014 ini Prabowo nyapres.



Lalu apa yang hendak diukur dari Jokowi (Wali Kota Surakarta 2005–2012 dan Gubernur DKI 2012–sekarang) dan Prabowo (Danjen Kopassus 1996–1998 dan Pangkostrad 20 Maret–22 Mei 1998)? Mari mengukur prestasi keduanya dalam jabatan publik tersebut.



Saat ingin mencoba mengukur prestasi keduanya, saya merasa tidak adil terhadap Prabowo yang ‘hanya’ pernah menjabat jabatan publik sebagai petinggi militer. Sebab, saya sadar jabatan Danjen Kopassus dan Pangkostrad efeknya kurang bisa dirasakan publik langsung oleh publik. Beda dengan jabatan wali kota dan gubernur yang (pernah) diemban Jokowi. Semua pelayanan publik yang baik di sebuah daerah, hampir selalu diasosiasikan dengan kinerja kepala daerahnya. Apalagi, jika kepala daerah memiliki strategi komunikasi yang ciamik seperti Jokowi.

 Mungkin saja ternyata prestasi Prabowo di militer jauh lebih besar dari Jokowi, namun karena tidak dirasakan langsung, publik menjadi tidak sadar bahwa sesuatu yang baik itu–misalnya keamanan negara–adalah hasil kerja Prabowo. Bukankah kerja militer itu–apalagi bidang intelijen–jauh dari peliputan media sehingga pengetahuan publik minim atas hal itu.

 Karena merasa kurang adil itu, maka saya mencoba mengukur Jokowi dan Prabowo bukan dari prestasi (positif), tapi dalam sudut pandang negatif.

Maksudnya, mari kita lihat pelanggaran apa saja yang sudah mereka perbuat selama menjabat. Pelanggaran di sini tidak semata-mata harus ada vonis pengadilan. Sebab, melihat potret penegakan hukum dan pengadilan yang karut marut sekarang ini, sulit untuk berpegang sepenuhnya pada putusan hakim.



Lalu apa yang negatif dari Jokowi? 
Mungkin yang paling mencolok belakangan ini adalah pengadaan bus Transjakarta dari China yang bermasalah. Tak usah saya sebut apa permasalahannya, karena penyelidikan oleh KPK terhadap pengadaan itu sudah cukup memberi kesan ada yang tak beres dalam proyek lebih dari Rp 1 triliun itu. Jokowi pun mengakui ada persoalan dan mendukung KPK mengusutnya. Terlepas Jokowi terlibat atau tidak nantinya dalam ‘permainan’ proyek tersebut, kesan ‘kelalaian’ Jokowi dalam mengawasi proyek di bawah pemerintahannya sulit dilepaskan.



Kemudian apa yang negatif dari Prabowo? 
Satu dari beberapa hal negatif yang paling sulit dilepas dari Prabowo adalah keterlibatannya saat menjadi Danjen Kopassus dalam kasus penculikan aktivis dalam pergolakan reformasi 1998. Prabowo sendiri mengakui telah memerintahkan Tim Mawar untuk menculik. Namun, Mahkamah Militer tidak pernah menyentuh Prabowo yang masih menjadi menantu Soeharto kala itu. 

Belakangan, selagi hiruk pikuk pencapresan 2014, Prabowo kepada sebuah media mengatakan seluruh aktivis yang dia culik sudah kembali. Dengan kata lain, Prabowo membenarkan bahwa dia memerintahkan penculikan, tapi bukan terhadap 13 orang aktivis yang masih hilang hingga sekarang. Kasarannya, Prabowo tidak bertanggung jawab atas yang 13 itu.



Kesamaan sisi negatif Jokowi dan Prabowo di atas adalah belum pernah ada putusan hukum atas dua hal itu. Terlebih dalam kasus pengadaan bus DKI yang baru tahap ‘penyelidikan’. Berbeda dengan penyidikan, penyelidikan adalah tahap awal mencari barang bukti atas suatu dugaan tindak pidana korupsi. Artinya, bisa saja kemudian tidak ada bukti atas proyek bus tersebut. Namun, seandainya ada, belum tentu itu akan menyeret Jokowi.



Beda dengan Jokowi, Prabowo, meski belum pernah diproses hukum, sudah mengakui telah melakukan penculikan. Tindakan brutal itu akhirnya harus dibayar mahal dengan pencopotannya sebagai Pangkostrad, yang baru dijabatnya selama dua bulan. Sementara Jokowi belum pernah sama sekali dicopot sebagai penyelenggara negara/pejabat publik karena pelanggaran, baik hukum maupun etik.

 Belum pernah diproses secara hukum, bukan berarti Prabowo lepas sepenuhnya dari jeratan hukum atas kasus penculikan. Sebab, Pansus Orang Hilang DPR pada 2009 sudah mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden RI agar membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.

Presiden SBY membiarkan rekomendasi tersebut, tapi bisa saja tidak bagi presiden terpilih pasca–SBY. Artinya, jika Pengadilan HAM Ad Hoc atas kasus penculikan akhirnya digelar, bukan tidak mungkin Prabowo yang lolos dalam Mahkamah Militer bisa dijerat dalam pengadilan HAM (sipil). Atas proses yang masih menggantung itu, Amerika Serikat tetap tidak mencabut larangan visa bagi Prabowo masuk ke negeri Abang Sam itu.



Begitulah saya mengukur Jokowi dan Prabowo dengan ‘penggaris’ negatif yang diupayakan setara. Cara begini juga bisa dipakai untuk mengukur atau membandingkan para capres yang ada. Sebab, seperti kata Sunny (2013), kontestasi pilpres bukan bicara seorang tokoh ‘layak’ atau ‘tidak layak’ sebagai capres, tetapi apakah seorang tokoh ‘lebih layak’ atau ‘kurang layak’ dibandingkan yang lain.

Dalam sebuah kompetisi harus ada pemenangnya, dan siapa yang menang tentu diharapkan adalah yang terbaik dari deretan peserta yang mungkin kurang baik.

Kamis, 22 Mei 2014

Masih seputar BLACK CAMPAIGN

Kalau dipikir-pikir ...kasihan banget Joko Widodo ya...? Entah apa salahnya, dia juga tentu sama sekali tidak menyangka bila sejak dia masuk ke dalam kancah pemilihan gubernur DKI Jakarta lalu memang dan terpilih menjadi gubernur DKI Jakarta, black campaign ternyata tidak berhenti juga. Apalagi sejak dia terpilih dan ditugaskan, ini mengutip ucapan Megawati Soekarnoputri" partai yang menaunginya menjadi calon presiden RI pada pemilihan raya 2014 black campaign terhadap dirinya semakin menggila.

Joko Widodo juga pasti sama sekali tidak menduga bahwa jalan hidupnya berputar dan berjalan ke arah yang sama sekali tidak diduganya. Setelah konon kabarnya dia di"gadang-gadang" Jusuf Kalla, melihat prestasi kerjanya selama menjadi walikota Solo, sebagai salah seorang calon gubernur DKI Jakarta yang potensial. Joko Widodo kemudian "didorong" oleh Prabowo Subianto untuk dipasangkan dengan Basuki T Purnama kader Gerindra dalam perebutan kursi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Wilayah kecil yang paling prestigeous di Indonesia.

Siapa pula yang menyangka bila kemudian Prabowo menjadi pesaingnya yang paling kuat dan sekarang menjadi satu-satunya pesaing dalam perebutan kursi RI1. Pasti dia tidak pernah menyangka dan bahkan sebagai anak pengusaha mebel "kampungan, bermimpipun untuk menjadi calon presidenpun dia takkan berani. Tapi itulah rahasia alam dan kehidupan manusia.

Nah ......
Tadi sore, usai menunaikan shalat Ashar, salah seorang staff di kantor, masuk ruangan. Di tangannya ada 3 lembar kertas yang sepertinya baru selesai di print. Dengan wajah "sok tahu" dia menyodorkan ke 3 lembaran kertas tersebut pada saya. 
"Ini saya dapat dari teman ..."
"Oh ... dari sumber mana ...?"
"Banyaklah ....!!!", sahutnya sambil menyebut beberapa social media yang memang agak bawel melakukan black campaign

Saya melihat ada lebih dari 50 butir berbagai isu yang bisa dikategorikan sebagai  "pembantaian" pasangan Jokowi - Jusuf Kalla. Dari mulai hal-hal remeh temeh yang terasa masuk akal hingga isu-isu bombastis yang sangat tidak masuk akal ...

Saya sama sekali tidak tertarik untuk membacanya satu demi satu. Bukan karena saya pendukung pasangan Joko Widodo - Jusuf Kalla, karena sampai hari ini saya sama sekali belum berminat menentukan pilihan pasangan calon presiden yang akan saya pilih, tetapi saya memang merasa sangat muak dengan model-model black campaign kepada calon presiden siapapun juga. Termasuk juga kalau black campaign itu ditujukan kepada Prabowo Subianto.

"Saya tertarik pada 2 butir ini bu ....!!", seraya menunjuk 2 butir yang tertera di halaman ke dua.
"Oh itu .... Nggaklah ..... itu isu lama yang pernah muncul sekitar 10 tahun yang lalu. Yang bersangkutan sama sekali tidak berminat pada posisi itu. Saya tahu pasti itu"
"Ah masaaaa ......?" jawabnya dengan mimik sedikit melecehkan
"Ya sudah ... Nggak percaya juga nggak apa kok ..."
"Lalu, kalau yang ini ....?" tanyanya sambil kembali menunjuk lembar pertama dari 3 lembar kertas tersebut.
"Hhhhmmmm ..... OK, kita bahas satu-satu, apa yang saya tahu...."

Satu demi satu saya baca dan komentari. Beberapa hal saya jawab berdasarkan pengetahuan saya dari berbagai sumber yang bisa dan sangat terpercaya untuk itu karena sumber itu adalah orang yang kenal dengan tokoh-tokoh yang sedang menjadi korban black campaign dan atau terlibat dalam kejadian dan peristiwa yang tercantum dalam tulisan tersebut. Beberapa hal lain saya komentari berdasarkan personal reasoning. Logika berpikir yang saya usahakan tidak berpihak kepada siapapun karena memang sampai saat ini saya belum berminat menentukan pilihan.

Ada satu pernyataan yang menurut saya merupakan dan bisa dikategorikan sebagai a very stupid black campaign dimana hanya orang yang tidak punya akal sehat saja yang percaya isu tersebut. Isinya begini ...:

Jusuf Kalla memberi 10T, dibaca sepuluh trilyun, angka satu ditemani 12 angka nol dibelakangnya alias 10.000.000.000.000,- agar ditunjuk sebagai calon wakil presiden RI yang akan mendampingi Joko Widodo dalam ajang pemilihan presiden 2014

Saya betul-betul terperangah membaca tulisan itu. Rupanya, apapun yang berkaitan dengan Jokowi menjadi sasaran empuk untuk diobok-obok. 

Memang ... isu itu sudah pernah saya baca di salah satu social media, tapi sungguh mati saya sama sekali tidak menyangka bahwa isu itu demikian massif disisipkan untuk menjatuhkan salah satu calon presiden dan wakilnya.

Tulisan itu tentu sangat tidak masuk akal dan menurut saya sangat melecehkan martabat Jusuf Kalla. Kenapa ....?

Sebagai orang Bugis yang sebelum masuk ke dalam elit pemerintahan negeri ini, Jusuf Kalla dan keluarganya sudah dikenal sebagai keluarga saudagar kaya dari tanah Bugis dengan beragam usaha. Hitung menghitung ekonomi terutama untu melakukan investasi sudah betul-betul ngelotok... kata orang Betawi. Jadi ... JK pasti sudah bisa membayangkan bahwa dengan uang sebanyak itu, dia bisa membangun kerajaan bisnis yang sangat luar biasa besarnya dan dalam beragam bidang.

Karenanya, saya amat sangat yakin bahwa bila permintaan itu ada, JK akan tegas menolak, walau seandainyapun ada ribuan sponsor yang siap membayarinya. 
Kenapa ...? 
Pertama karena bila dia dan pasangannya kelak terpilih, maka mereka akan ditagih balas budi dan yang kedua, JK sudah pernah jadi wakil presiden ... jadi, kalau harus keluar uang sebesar itu ...  maka logikanya, posisi Presidenlah yang pantas disandang. Kalau tidak .... "alangkah tololnya JK" kalau mau ditempatkan sebagai wakil saja ...!!! Ini sama dengan meremehkan bargaining power  dan kemampuannya.

Begitulah ....
Black campaign dilakukan, entah oleh siapa, secara membabi-buta. Sangat di luar nalar dan sangat membodohi masyarakat.
Rupanya kita masih belum siap untuk bisa berkampanye secara sehat, benar dan santun
Pola dan cara Kampanye Pemilihan Umum, baik pemilihan legislatif, pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden masih sangat memprihatinkan. Masih dengan cara-cara pembodohan




Rabu, 21 Mei 2014

Ecek-ecek jadi pengamat politik

Capres - cawapres 2014
Sejak awal, saya bukan pendukung Jokowi sebagai calon presiden RI, apalagi setelah deklarasi pasangan calon presiden Joko Widodo–Jusuf Kalla. Tapi juga bukan berarti saya mendukung Prabowo Subianto sebagai calon RI1, apalagi setelah dipasangkan dengan Hatta Rajasa. Wah ….. enggak banget deh ….!!! Saya hanya merasa sangat muak dengan cara berkampanye yang vulgar ...  terutama serangan pada Jokowi yang terjadi bahkan sejak Joko Widodo masuk ke dalam kancah pemilihan gubernur DKI Jakarta berhadapan gubernur incumbent Fauzie Bowo yang berpasangan dengan Nachrowi Ramlie.

Sudah sejak semula, serangan kampanye hitam kepada Jokowi terasa sudah terlalu vulgar. Segala macam issue diketengahkan. Dari mulai soal asal–usul, kedaerahan, masalah agama yang dianutnya, tentu karena pasangan Joko WIdodo dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta adalah Basuki T Purnama yang beragama Kristen dan berasal dari etnis Cina, sampai hal–hal lain yang terasa sangat keterlaluan.

Usai terpilih sebagai gubernur DKI Jakarta, ternyata cercaan masih tetap berlangsung. Masyarakat banyak dibuta-tulikan oleh black campaign. Banyak permainan kotor politisi busuk yang menguasai DPRD Jakarta terjadi untuk men down grading kinerja pasangan gubernur dan wakil gubernur yang mengusung slogan Jakarta Baru.

Rancangan APBD terhambat, upaya menertibkan dan merapikan kesemrawutan Jakarta dihadang. Bahkan segala masalah yang ada di DKI Jakarta ditimpakan pada Jokowi–Ahok, begitu nama pasangan ini disebut orang seolah mereka berdualah biang keladi dari segala keruwetan yang ada di DKI Jakarta. Padahal sebagai segelintir orang yang memiliki wawasan lebih baik dari kebanyakan rakyat seharusnya kita tahu bahwa berbagai masalah di DKI Jakarta adalah akumulasi dari berbagai masalah yang selama puluhan tahun sejak bang Ali Sadikin, gubernur legendaris itu lengser, tidak pernah terselesaikan atau mungkin tidak pernah diperhatikan dan diniatkan untuk diselesaikan.

Pasangan gubernur DKI Jakarta, Jokowi–Ahok baru mulai membenahi Jakarta. Hasilnya  …. Kalau kita mau jujur dan tidak membuta-tulikan hati–nurani, sudah mulai terasa. Dimulai dari pembenahan kawasan Tanah Abang yang banyak ditentang bahkan oleh salah satu pentolan di DPRD Jakarta yang …. eh …. ternyata, dia memang “jawara” yang hidup dari kutipan pada pedagang liar yang memenuhi dan membuat ruwet kawasan Tanah Abang.

Lalu pembenahan kawasan waduk Pluit di Jakarta Utara dan waduk Ria–rio di Jakarta Timur, pelapisan jalan raya, perbaikan kampung dengan membuat kampung deret dan saya yakin banyak lagi yang saya tidak bisa menuliskan karena saya memang bukan pengamat, apalagi berkepentingan atas prestasi kerja mereka kecuali sebagai penduduk DKI Jakarta yang memiliki akar nenek moyang etnis Betawi.

Paling tidak … saya merasa betul perubahan itu karena jalan dari depan rumah hingga ke kantor sejauh + 8 km sudah dilapisi aspal yang tebalnya bukan basa–basi. Padahal sudah 14 tahun saya tinggal di kawasan tersebut dan baru pada era Jokowi–Ahok inilah ada perbaikan jalan yang bukan sekedar tambal sulam setempat.

Tentu, tidak semua cerita sukses saja. Masalah kronis banjir dan kemacetan masih belum teratasi, apalagi dengan terbitnya kebijakan “tolol” pemerintah pusat berupa ijin penjualan low cost green car–LCGC yang sesungguhnya juga sudah sejak awal ditentang Jokowi-Ahok.

Sewajarnyalah bila kita berpikir jernih … banjir adalah masalah kronis yang sudah ada sejak jaman Belanda. Itu sebab bila kita mau berbesar hati memeriksa dokumentasi tata kota, maka kita bisa melihat betapa rancangan pembuatan “banjir kanal Barat dan Timur” sudah ada sejak dulu. Sejak jaman penjajahan Belanda! Begitu juga dengan berbagai sodetan untuk mengalirkan air hujan.

Pembangunan di Jakarta memang sangat tidak terkendali. Aturan tata kota terutama yang berkaitan dengan tata guna tanah dan koefisien dasar bangunan–KDB banyak dilanggar. Wilayah resapan air di wilayah Jakarta Selatan dengan KDB 20% ternyata, secara massif, dilanggar melalui kongkalikong antara masyarakat dengan pejabat/aparat pemerintah yang koruptif.

Jokowi RI1?
Rawa, situ, hutan kota, perkebunan, sawah dan lahan pertanian lainnya semua berubah jadi hunian dan komersial. Jadi wajar saja kalau banjir menjadi tidak terkendali karena permukaan tanah tidak lagi cukup mampu menyerap curahan hujan. Salahkah pasangan gubernur DKI Jakarta ini? Bagi sebagian orang ….. pasti akan menjawab YA … pasangan gubernur DKI tidak mampu menyelesaikan masalah kronis di Jakarta.

Mereka lupa bahwa proses perusakan alam yang berjalan massif selama puluhan tahun, begitu juga dengan kesalahan kebijakan transportasi tidak akan bisa diselesaikan dengan segera. Butuh waktu yang cukup panjang bukan saja dari pemerintah daerah saja tetapi juga harus didukung selain oleh pemerintah pusat yang turut membebani kinerja DKI Jakarta dengan tugas sekaligus sebagai ibukota Negara, juga oleh seluruh masyarakat Jakarta dari berbagai lapisan sosial itu sendiri.

Kuncinya .... patuh pada aturan tata kota !!! Ada berbagai peraturan daerah dan banyak hal harus dipatuhi guna tercapainya tujuan memperbaiki kualitas kehidupan di Jakarta.  

Kalau perusakan ini sudah terjadi sejak berakhirnya masa jabatan bang Ali Sadikin pada tahun 1977, berarti sudah berjalan selama 37 tahun. Maka wajar saja kalau hasil perbaikannya belum terlihat karena pasangan gubernur DKI ini baru memerintah selama + 19 bulan saja.

Gaya kepemimpinan Jokowi yang menjungkirbalikan gaya komunikasi dan penampilan pejabat pemerintah membuat Jokowi menjadi “media darling” sekaligus menjadi sasaran empuk lawan politik yang sepertinya melihat Jokowi sebagai ancaman bagi ambisi berkuasa segelintir elit politik negeri ini. Penetapan Joko WIdodo sebagai calon presiden RI dari PDIP memang semakin membuat runyam sosok Joko Widodo. Penampilan “lugu” dan merakyat yang didukung dengan wajah “ndeso” …., wajah rakyat kebanyakan, ternyata semakin membuat runyam.

Ada pendapat pragmatis bila Jokowi terpilih jadi RI1 pada pemilihan presiden bulan Juli 2014 yang akan datang, maka koordinasi penyelesaian masalah DKI-pusat menjadi lebih mudah sehingga perbaikan kualitas hidup di Jakarta akan lebih lancar. Benarkah begitu…? Kita lihat saja karena ini memang baru asumsi ...
***

Semangatnya masih tinggi
Lalu …., bagaimana dengan Prabowo Subianto?
Konon … andai Prabowo menjadi presiden RI ke 9, maka TNI–RI akan memasuki babak baru yang "aneh bin ajaib". Akan tercatat dalam sejarahnya serta mungkin hanya satu-satunya di dunia. Bisa masuk MURI atau bahkan Guinness book of record, yaitu ······ TNI akan "diperintah" oleh Presiden RI sebagai panglima tertinggi TNI yang adalah jenderal yang sudah dipecat.

Itu sebabnya dalam berbagai kesempatan Agum Gumelar berulangkali meminta Prabowo Subianto untuk mengingat sejarah

Prabowo Subianto yang kita tahu adalah anak kandung Sumitro Djojohadikusumo, dan cucu Margono Djojohadikusumo. Keduanya, bapak dan kakeknya adalah tokoh yang sangat berpengaruh dalam tatanan perekonomian Indonesia pada jamannya. Prabowo Subianto kemudian menikah dengan salah satu anak penguasa negeri ini. Tentu saja, kehidupan Prabowo sangat nyaman. Jauh dari perih penderitaan hidup yang diderita rakyat jelata.
Saya sangat menghargai keluarga Prabowo Subianto. Sebagai orang yang lahir dari keluarga terpandang di kalangan intelektual, tumbuh dan besar di luar negeri, Prabowo Subianto tentu sudah biasa bergaul dengan kalangan atas. Kalangan “terhormat” di berbagai bidang. Para pengusaha, kalangan militer dalam dan luar negeri, diplomat dari berbagai negara asing dan sebagainya. Ditunjang dengan kemampuannya berbicara dalam berbagai bahasa asing serta lingkungan pergaulannya ini akan menjadi modal kuat bagi Prabowo Subianto untuk membawa Indonesia masuk dalam kancah pergaulan diplomasi internasional dengan penuh percaya diri. Kita sama tahulah ... bahwa kebanyakan orang Indonesia, langsung menjadi "bisu" saat harus berbicara, berdiplomasi, bernegosiasi apalagi harus berdebat dengan bule....
***

keren ya, dulu, waktu masih jadi jendral
Melihat profil kedua calon presiden Indonesia 2014, kita seperti diajak melihat persaingan dan pertarungan antara seorang ksatria melawan seorang dari golongan sudra. Perlawanan rakyat jelata melawan kaum intelektual. Antara golongan orang kota dan intelek, yang diwakili oleh Prabowo Subianto yang sudah terbiasa bergaul di kalangan masyarakat kelas atas melawan Joko Widodo  yang "cuma" anak pengusaha mebel "kampungan" yang lekat dengan kesulitan hidup rakyat.

Sayangnya, politik Indonesia pada era demokrasi saat ini, sudah mengarah pada pembodohan rakyat. Pemilihan umum kini sarat dengan praktek Money politic. Bahkan penguasa Negara memanfaatkan kekuasaannya “menjarah” APBN untuk digunakan sebagai alat money politic berbalut program pemerintah untuk meredam turunnya pendapatan rakyat akibat kenaikan BBM.

Gara–gara money politic ini pula, maka ongkos pribadi untuk pencalonan diri sebagai calon legislatif maupun eksekutif menjadi sangat tinggi. Maka tidak mengherankan kalau korupsi mejadi semakin massif dan merata demi “mengembalikan” modal yang sudah dikeluarkan.

Kampanye pemilihan juga semakin vulgar dan membabi buta. Etika dan sopan santun sudah semakin hilang. Caci maki semakin kerap dilakukan dan diumbar. Sayang sekali hal ini juga dilakukan oleh orang–orang yang relatif berpendidikan tinggi. 

Kalau sudah begini, siapa yg akan anda pilih...?

Tentu yang sesuai dengan hati nurani dan harapan2 yg kita inginkan
Jangan ikut-ikutan ....

Vote for new era Indonesia 2014

Jumat, 02 Mei 2014

PLINTIRAN WARTAWAN atau KEDANGKALAN PENGETAHUAN?

Monumen Nasional di malam hari
Hari ini, Jum'at 2 Mei 2014, dalam harian Kompas halaman 26, di bawah judul "DKI Ambil Alih Proyek Bank Dunia, M Sanusi, salah satu anggota dprd dki Jakarta dan Ucok Sky Khadafi, Direktur Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran mengemukakan tanggapan yang lebih berisi keberatan-keberatan tentang rencana pemda dki Jakarta mengambil alih/refinancing (?) 2 dari 7 paket pekerjaan pengerukan sungai di wilayah dki Jakarta.

Pekerjaan pengerukan sungai tersebut didanai dari pinjaman bank dunia senilai +/- Rp.1,5 trilyun melalui proyek yang dinamai Jakarta Emergency Dredging Initiative. Masih menurut harian tersebut, sebagian dana pinjaman tersebut disalurkan melalui pemda dki Jakarta dan sebagian lagi disalurkan melalui Kementrian Pekerjaan Umum. Pemda dki menginginkan agar penyelesaian proyek dipercepat dari 5 tahun menjadi hanya 2 tahun saja dengan pola pendanaan yang akan diatur oleh pemda dki sendiri.

Mereka, anggota dprd tersebut dan Ucok berdalih bahwa pengalihan pendanaan proyek tersebut harus seijin dprd. Lebih jauh lagi, mereka berpendapat bahwa pengambil-alihan tersebut mencederai komitmen pada bank dunia. M Sanusi juga mengatakan bahwa kepercayaan bank dunia kepada pemda dki bakal hilang. Ditakutkan, pemda dki bakal kesulitan bila kelak suatu saat membutuhkan pinjaman dari bank dunia.

Jakarta, ternyata cantik juga
Pemerintah dki sendiri, tentu memiliki alasan mengapa mereka berani mengambil keputusan tersebut. Termasuk juga sudah memperhitungkan darimana sumber dana pengganti pinjaman bank dunia.
Butir pertama dari keberatan kedua orang tersebut, entah merupakan pendapat instansinya masing-masing atau pendapat pribadi, yaitu  tentang persetujuan dprd dki, sangat bisa dimengerti dan diterima akal sehat.

Persetujuan dprd tentu dimaksudkan agar pemda dki Jakarta tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Agar pengambil-alihan pinjaman (refinancing?) menjadi lebih terarah sumber dan penggunaan dananya serta syarat-syarat pengalihan pinjaman, yaitu bila dana pengganti berasal dari pinjaman institusi bank lainnya, tidak memberatkan. Akan lebih baik lagi bila prasyaratnya lebih ringan dan menguntungkan bagi pemda dki serta seluruh pemangku kepentingan (stake holder) di wilayah dki Jakarta. Intinya supaya tidak gegabah dan merugikan.

Ini praktek biasa yang berlaku juga di perusahaan swasta. Wewenang eksekutif dibatasi dalam hal meminjam dan menjaminkan aset perusahaan, yaitu harus dan wajib ada persetujuan dewan komisaris perusahaan atau para pemegang saham. Jadi .... kalau kedua orang tersebut mewajibkan agar pemda dki meminta persetujuan dprd, wajarlah .... Asal dalam permintaan persetujuan tersebut, dprd tidak mempersulit dan merongrong dengan segala macam "amplop" seperti yang konon biasa dilakukan.
Jakarta di malam hari
Butir ke 2, yaitu pendapat bahwa refinancing bakal mencederai komitmen kepada peminjam dan ketakutan suatu waktu kelak akan mendapatkan kesulitan saat memerlukan pinjaman bank dunia. ini betul-betul pendapat yang sangat aneh bin ajaib ·····

Mungkin, pemberi komentar, tidak paham atau tidak pernah berurusan dengan bank terutama dalam hal pinjam meminjam. Maklum ... anggota dprd memang umumnya kaya raya berlimpah uang. Jadi secara pribadi tentu tidak memerlukan pinjaman uang. Apalagi kalau latar belakangnya bukan pengusaha. Bisa jadi urusannya cuma buka deposito saja. Atau bahkan sama sekali enggan berurusan dengan bank, takut transaksi keuangannya terendus PPATK dan kemudian berujung ke KPK.

Sebagai peminjam, pemda dki mempunyai hak mengevaluasi syarat-syarat pinjaman. Kalau pada saat awal pinjaman, untuk suatu alasan tertentu yang kita semua sama sekali tidak tahu, pemda "terpaksa" menerima syarat berat dari bank dunia, maka seiring dengan waktu berjalan, saat harus memperpanjang perjanjian pinjaman yang umumnya dilakukan setiap tahun, peminjam bisa meminta perubahan syarat/kondisi pinjaman sebelum menandatangani perpanjangan pinjaman. Kalau tidak ada titik temu atas permintaan perubahan syarat dan kondisi, tentu ..... boleh saja pemda/peminjam mencari sumber dana lain/pinjaman dari bank lain yang persyaratannya lebih ringan/baik untuk men "take over/refinancing" pinjaman tersebut. Kondisi ini juga merupakan praktek yang biasa dan sangat umum di dunia usaha/perbankan. Jadi .... dimana letak kesalahannya?

mungkin ini salah satu lokasi proyek
Takut kalau suatu saat pemda dki memerlukan pinjaman akan mendapat kesulitan...? Pendapat ini rasanya menyiratkan ketidaktahuan "komentator" atas praktek pinjam-meminjam di dunia perbankan. Bank manapun juga, sangat takut kehilangan nasabah terutama nasabah dengan track record yang baik. Antara lain .... peminjam memiliki sumber-sumber pengembalian pinjaman yang jelas serta collateral alias jaminan yang memadai. Dengan demikian yang bersangkutan mampu serta patuh membayar pokok pinjaman dan bunga. Bank hidup dan berkembang dari bunga dan provisi pinjaman .... Kehilangan nasabah, pasti akan merugikan bank.

Jadi jelas .... untuk pinjaman kelas berat yaitu yang nilai pinjamannya luar biasa besarnya, justru bank yang ketakutan. Kemacetan pengembalian pinjaman (non performing loan) pasti akan sangat mengganggu operasional bank. Percayalah .... Bank akan bersikap sangat lunak pada nasabah premium semacam itu.

Ketakutan paling besar dari bank adalah kalau pinjamannya tidak dilunasi ... Jadi, daripada macet ... bank akan melakukan penjadwalan kembali pembayaran hutang. Yang penting nasabah mampu mencicil pinjaman beserta bunga. Jadi kalau pinjaman dilunasi lebih cepat ... tentu akan lebih baik, terutama kalau nasabahnya agak "nakal". Daripada kreditnya dikemplang ... dibawa kabur....

Banjir yang selalu dikeluhkan
Kalau nasabah premium yang patuh dan punya kemampuan bayar yang tinggi ... justru bank takut kehilangan ... Takut kalau sang nasabah pindah ke lain hati ... Maka ... mati-matian bank akan berusaha agar si nasabah tidak melunasi pinjamannya. Malah, bukan tidak mungkin peminjam akan diiming-imingi bunga rendah dan tenggat waktu pengembalian yang sangat panjang. Istilah umumnya adalah pinjaman lunak.
Bukankah dalam skala kecil, kita juga sering mendapat tawaran langsung melalui telpon, surat atau sms, untuk mengalihkan tagihan kartu kredit kita ke bank lain dengan iming-iming bunga lebih rendah, berbagai kemudahan serta mungkin juga hadiah. Sekali lagi····· ini praktek lumrah dalam dunia perbankan.
Menjadi aneh bila anggota dprd dan direktur investigasi dan advokasi forum Indonesia untuk transparansi anggaran tersebut seperti mencurigai dan mungkin mempersulit rencana pemda dki mengambil alih/refinancing tersebut dengan dalih menyalahi komitmen dengan bank dunia. Apakah mereka tidak mengerti praktek umum perbankan atau ada plintiran wartawan atas masalah ini. Kalau melihat media yang mewartakannya, rasanya mustahil ada plintiran wartawan dalam pemberitaannya.

Seharusnya .... baik dprd dan forum Indonesia untuk transparansi anggaran meminta pemda dki menjelaskan rencana tersebut sekaligus menanyakan plus/minusnya refinancing. Dukung kalau hal itu memang lebih menguntungkan ······ Yang begini lebih cerdas .... dan memang seharusnya begitu ...!!!
Jangan menjegal tanpa alasan yang jelas dan malah memperlihatkan betapa konyolnya pendapat mereka.

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...