“Aku mau mengundurkan diri (lagi)”.
Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirnya, kala makan pagi di minggu pertama awal tahun ini. Tersentak juga mendengar pernyataan itu. Nggak ada hujan, nggak ada angin badai, lagi-lagi mengundurkan diri … Ini kali yang kedua, dia mengundurkan diri dari jabatan structural yang dipegang, sebelum masanya berakhir.
“Kapan?”
“Siang ini aku mau bicara dengan Deputy. Setelah itu, baru menulis surat resmi”“Lalu … mau kemana? Balik ke uni? Rasanya dulu kamu pernah bilang … sekali keluar dari Uni … maka tidak sepantasnya kembali lagi dan sebaiknya berkecimpung terus di luar.”
“Ya …, seperti biasa saja. Ke Uni untuk kegiatan rutin mengajar dan membimbing tugas akhir. Itu saja karena kegiatan itu tetap harus berjalan. Lainnya ... ada proyek yang sedang dirintis dan perlu perhatian penuh”
“Lalu, alasan apa yang mau diberikan ke kantor, nanti?”
“Baca saja surat pengunduran dirinya nanti, … sekalian bantu koreksi ….!”
***
Mengundurkan diri secara sukarela dari suatu jabatan, di Indonesia, apapun motivasinya, belum menjadi suatu tradisi. Jabatan struktural, dimanapun, baik di perusahaan swasta, kalangan lembaga swadaya masyarakat, apalagi di lembaga pemerintahan dan seberapapun tingginya pangkat yang disandang, merupakan idaman hampir setiap orang. Banyak orang berlomba-lomba meraih jabatan setinggi mungkin dan sedapat-dapatnya mempertahankan apa yang sudah diraih.
Tidak heran, banyak yang bertikai baik secara halus maupun terang-terangan, menghalalkan segala cara untuk meraih suatu jabatan. Lihat saja kasus yang pertikaian antara pasangan Badrul Kamal - Syihabuddin dan Nurmahmudi Ismail - Yuyun Wirasaputra dalam perebutan jabatan Walikota Depok yang baru saja tuntas. Kekalahan pasangan Badrul Kamal-Syihabuddin dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), kotamadya Depok, tidak lantas menyurutkan ambisi mereka untuk meraih jabatan Walikota.
Upaya menjegal pemenang Pilkadapun lantas dirancang dan melibatkan instansi hukum pula, sehingga pelantikan pemenang pilkadapun menjadi tertunda-tunda. Penyelesaian sengketa memang akhirnya terjadi. Namun ini baru terlaksana, setelah kedua pasangan yang bertikai, bertarung habis-habisan, gugat menggugat hingga pada tahap keputusan Mahkamah Agung dan baru berakhir setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa keputusan Mahkamah Agung sudah final.
Mengapa ada orang yang dengan sukarela mengundurkan diri sementara yang lain bertahan mati-matian mempertahankan jabatannya, walaupun berbagai masalah menerpa dan berbagai cara sudah dilakukan orang untuk menurunkannya. Apa yang menyebabkan ada segelintir orang dengan sukarela meninggalkan posisinya sementara yang lain berkebalikan?
Mengundurkan diri dari satu jabatan biasanya terjadi bila:
- Umumnya, yang mengundurkan diri, sudah mendapatkan posisi atau jabatan lain yang lebih baik dengan penghasilan dan fasilitas yang tentu saja lebih baik pula.
- Tidak cocok dengan atasan. Hal ini sangat jarang terjadi, karena bawahan, biasanya cenderung menerima saja kondisi seperti ini. Atau kalau tidak, dia cenderung kasak-kusuk agar dipindah-posisikan.
- Merasa tidak lagi berkembang atau bosan dengan pekerjaan rutin di tempat lama.
- Tersangkut kasus terutama kasus kategori pidana, sehingga mengundurkan diri dapat dianggap sebagai upaya kompromi agar kasusnya tidak diperpanjang lagi.
Dari ke empat alasan tersebut di atas, kecuali pada kasus nomor 4, kita hanya akan berani mengundurkan diri atas permintaan sendiri (sukarela), apabila sudah memiliki jabatan atau pekerjaan (baru) lainnya, sudah memiliki modal yang cukup untuk menopang hidup selama belum mendapat pekerjaan/jabatan baru atau memulai usaha sendiri. Di luar semua itu, hanya sedikit orang yang berani mengambil keputusan melepaskan jabatan dan atau pekerjaan yang sudah dipegangnya.
Sementara itu, keengganan orang untuk melepaskan jabatan bisa disebabkan karena :
- Salah satu tujuan utama manusia bekerja adalah untuk mendapatkan imbalan, yang merupakan bukti prestasi kerja, baik secara immaterial (berupa jabatan struktural) maupun materi (gaji, tunjangan, fasilitas dll) yang umumnya mengikuti jabatan yang disandang.
- Masyarakat Indonesia masih memandang jabatan sebagai salah satu symbol status sosial. Jangankan pejabat tinggi Negara yang memang jelas terlihat sangat mentereng. Lihat saja, bagaimana seorang ketua RT atau RW sangat dihormati oleh warga setempat. Bahkan, seorang yang baru pulang menunaikan ibadah haji, menjadi begitu terhormat di lingkungannya. Kondisi inipun terangkat dalam iklan atau acara yang sering kita lihat dalam tayangan televisi. Bapak dan ibu RT, atau bapak dan ibu RW menjadi panutan dan tempat bertanya warga. Dengan kondisi sosial masyarakat seperti ini, tidak heran bila maka jabatan menjadi salah satu tujuan dan dambaan setiap pekerja, bahkan serendah apapun jabatan itu.
- Memegang suatu jabatan merupakan akses pada “kekuasaan” dan “wewenang” yang mungkin sangat dinikmati. Bukan saja oleh si pemegang jabatan itu sendiri, tetapi juga oleh istri, melalui aktifitas di organisasi para istri dan karyawati di instansi yang sama, dan anak-anaknya. Sehingga tidak jarang terjadi ekses terhadap penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan oleh beberapa gelintir orang.
Kecenderungan takut kehilangan jabatan dan pekerjaan memang dapat dimaklumi. Jaminan sosial bagi kelompok pekerja di
Kalaupun akhirnya pesangon diperoleh, maka jumlahnya sangat tidak mencukupi untuk menunjang hidup sampai memperoleh pekerjaan baru, apalagi di tengah tingginya tingkat pengangguran di negeri ini. Maka sangat dapat dimengerti, seberapa beratnya pekerjaan dan berapapun tingginya kadar ketidaknyamanan dalam pekerjaan yang dihadapi, maka kita akan tetap bertahan dalam suasana pekerjaan semacam itu.
Di samping itu, di kalangan masyarakat, penghormatan terhadap orang yang memiliki jabatan, terutama jabatan struktural di pemerintahan, terasa begitu berlebihan. Bukan saja kepada si pemegang jabatan tersebut, tetapi juga kepada keluarganya. Penghormatan dan pelayanan luar biasa yang diterima, tidak jarang menempatkan mereka dalam kehidupan yang penuh dengan mimpi-mimpi indah. Itu sebabnya, kala kehilangan jabatan, maka seringkali timbul perasaan ”kehilangan” yang mendalam. Ini yang sering dikatakan orang sebagai ”post power syndrome”.
Demikianlah manusia memandang suatu jabatan yang disandangnya, walaupun masih ada manusia yang sama sekali tidak mempermasalahkan jabatan bagi dirinya. Itu sebabnya, kehilangan jabatan biasanya bukan hanya dirasakan oleh yang bersangkutan, tetapi bisa juga dirasakan oleh seisi rumah; yaitu istri dan anak-anaknya. Bahkan para kerabat dekat yang sering memanfaatkannya. Apalagi bila jabatan yang dilepas itu merupakan jabatan terhormat yang banyak memberikan keamanan serta kenyamanan materi dan non materi bagi seisi rumah dan seluruh kerabat.
*****
Masih takjub dengan keputusannya itu, malam hari menjelang tidur sambil mengkoreksi surat pengunduran diri, kutanyakan sekali lagi :
“Sudah bicara dengan Deputy, tadi?”
“Ya, ... sudah”“Ke staff juga….?”
“Belum ….. Nanti saja kalau sudah resmi mengundurkan diri.”
“Kapan ... ?”
“Satu dua hari sesudah surat pengunduran diri diserahkan kepada Deputy”.
“Apa komentar Deputy?”
“Hm … apa ya…? Biasa saja. Tidak ada yang istimewa … Dia cuma tanya, kenapa pengunduran diri ini dilakukan saat dia memegang jabatan tersebut” (Beliau baru saja 1 bulan memegang jabatan Deputy)
“Lalu …. ?”
“Kan, memang nggak ada masalah … Cuma waktunya saja yang kebetulan ….Buatku ini momentum yang paling pas. Tahun baru … semangat baru ….. rencana kerja yang baru…”
“Ya…. Tapi bagi orang yang tidak mengerti masalahnya, ada kesan seperti menelikung beliau.”
“Sudah dijelaskan seperti yang tertulis di dalam surat pengunduran diri dan beliau bisa menerima”
“Kamu tahu, nggak …..,? Ada banyak orang di Indonesia yang memimpikan gambar burung garuda terpampang di kartu namanya. Ada banyak orang yang memimpikan jabatan itu. Apalagi mereka yang sudah bertahun-tahun meniti karier di tempat itu …. Jabatan eselon 2 di suatu kementerian bukanlah suatu jabatan yang rendah walaupun juga bukan jabatan tertinggi, dan …. kamu sudah melepaskan begitu saja. Pasti akan banyak orang mencibir … sombong sekali kamu, melepaskan punai di tangan”
“Biar saja…….”“Tapi, bukankah kita sepakat bahwa bila kita ingin berbuat banyak bagi negeri ini, maka kita harus masuk ke dalam sistem, sehingga seluruh ide kita bisa tersalurkan melalui jalur yang tepat, dilaksanakan untuk kemudian dinikmati dan bermanfaat bagi banyak orang”
“Ya … tapi tidak selamanya begitu. Tidak dipungkiri, saya sudah belajar banyak di
Senyap ……
Tidak ada guna lagi berbantahan. Selalu begitu .... Akupun mulai mencorat-coret, mengkoreksi
Aku pulang ……Dari rantau …..
Bertahun-tahun di negeri orang … Oh Malaysia ……
Begitulah caranya memandang hidup. Beruntung selama lebih dari 25 tahun mendampinginya, aku tidak pernah terjun dalam kegiatan organisasi para istri dan karyawati di instansi tempatnya bekerja. Jadi, walaupun sedikit sebal, setiap kali menghadapi pengunduran dirinya, tak ada rasa kehilangan « kenyamanan dan previlege » dari jabatan yang disandangnya. I have my own pride … j’ai la mienne…. !!!
Ini tentu bertentangan dengan apa yang selalu dianjurkan oleh mantan tetanggaku, istri salah satu deputy di Biro Pusat Statistik. Aktifitas istri di instansi suami, akan sangat mendukung dan sangat berpengaruh pada karier suami, katanya. Entahlah …., aku masih sangat percaya, kemampuan seseorang dalam pekerjaan, menjadi tanggung jawabnya masing-masing. Seorang pemimpin yang baik akan memilih mitra kerjanya sesuai dengan kualifikasi dan kualitas manusianya. Bukan karena embel-embel aktifitas istri atau kasak-kusuk perempuan di belakang layar. Lalu …. Apalagi yang harus kita cari dalam hidup ini....???
Lebak bulus 27 Januari 2006.