Aku sedih membaca berita kenaikan BBM untuk keduakalinya selama masa pemerintahan SBY-JK. Kenaikan pertama tahun 2005 yang lalu masih berbekas dalam bentuk peristiwa bunuh diri karena tidak tahan menanggung derita, meninggal dunia karena tidak mampu berobat atau kelaparan di sana-sini. Sementara itu, pada periode yang sama pula, masyarakat disuguhkan dengan temuan-temuan “kongkalikong dan suap menyuap” antara perjabat penegak hukum dengan konglomerat “hitam”. Antara elite politik yang menyatakan diri sebagai wakil rakyat di satu pihak dengan para pembuat kebijakan publik. Tampaknya penderitaan rakyat, pembangunan negeri dan apapun yang menyangkut hajat hidup orang banyak telah menjadi komoditi untuk memperkaya diri.
Lebih sedih lagi membaca pro dan kontra mengenai pemberian BLT kepada masyarakat miskin. Kemudian, belakangan ini terdengar berita bahwa pemerintah berupaya “meredam” demontrasi mahasiswa dengan mengucurkan sebagian dana “subsidi BBM” dalam bentuk beasiswa kepada 400.000 mahasiswa. Makin terlihat betapa pemerintah sama sekali tidak mempunyai konsep dan acuan yang jelas untuk membangun Negara ini. Semua serba instant, unsustainable dan sektoral. Tidak pernah ada kebijakan yang menyeluruh dan terkonsep dengan baik. Yang paling menyedihkan ada banyak program Orba yang sebetulnya sangat baik untuk tetap dipertahankan, malah diterlantarkan.
Tapi, apakah masyarakat miskin tidak berhak mendapat santunan? Bukankah dalam agama (Islam), dinyatakan secara tegas bahwa kita wajib menyantuni kaum dhuafa. Pemerintah sebagai penguasa Negara adalah pemegang nomor satu dari kewajiban mensejahterakan rakyat, sebagaimana dicantumkan dalam UUD. Termasuk di dalamnya, menurut interpretasi saya, menyantuni kaum dhuafa.
Rakyat butuh makan dan untuk itu mereka harus bekerja. Semua setuju untuk konsep ini. Tetapi jangan lupa, ada segolongan masyarakat yang walaupun sudah membanting tulang dan memberdayakan seluruh kekuatannya, pekerjaannya tidak akan menghasilkan upah yang memadai untuk hidup secara layak. Adapula segolongan pekerjaan yang kalaupun si pekerja sudah melaksanakan lembur hampir tanpa henti, tetapi tetap saja upah yang diterima para pekerja tersebut tidak akan pernah memenuhi kebutuhan hidup layak.
Hal ini mungkin terjadi karena si pekerja memiliki banyak anak yang masih bersekolah, menanggung kehidupan anggota keluarganya yang lain misalnya orangtua yang jompo atau anggota keluarga yang cacat. Atau pekerjaan tersebut memang memiliki standar upah yang rendah.
Kita juga tidak bisa menafikan, kalau mau jujur bahwa standar upah minimal (UMR – UMP) yang ditetapkan pemerintah sama sekali belum mencerminkan standar untuk memenuhi kehidupan yang layak apalagi kehidupan layak di perkotaan. Standar yang sangat minimpun masih selalu diperdebatkan dan ditawar-tawar oleh kalangan pengusaha karena dianggap memberatkan. Padahal, bukankah pengusaha masih bisa mengurangi keuntungannya atau memangkas biaya siluman. Untuk itu, pantaslah pemerintah memberi bantuan agar golongan masyarakat marginal ini dapat hidup secara lebih layak.
Kalangan yang tidak setuju, berpendapat bahwa rakyat perlu kail, bukan ikan; bahwa BLT menjadikan rakyat Indonesia menjadi peminta-minta. Hey… come on …. Buat saya, ucapan itu sungguh menyakitkan hati. Itu sama saja menuduh rakyat Indonesia bermental peminta-minta.Kok tega ya…? Mungkin ada segelintir. Tapi jangan lupa… rakyat Indonesia sudah bekerja keras …
Coba tengok … para petani penggarap, para nelayan, para buruh pabrik dan bangunan, tukang sapu dan pemulung…. Mereka sudah membanting tulang. Tapi hasil yang diperoleh tidak mencukupi. Kenapa…? Karena tanah pertanian telah digusur oleh para pemilik modal untuk dijadikan perumahan atau pabrik-pabrik sementara si petani dibiarkan begitu saja tanpa adaptasi atau pelatihan agar mereka bisa bekerja di lingkungannya yang telah tergusur tersebut.
Nelayan tidak lagi mampu memperoleh ikan yang banyak karena kekayaan bahari Indonesia telah dijual melalui berbagai konsesi kepada investor/nelayan asing. Kekayaan hayati Indonesia yang seharusnya ditujukan untuk kesejahteraan rakyat telah digadaikan dan hasil yang terbesar hanya diperuntukkan untuk menggelembungkan pundi-pundi segelintir oknum. Kesemuanya ini adalah ulah para pembuat kebijakan public yang semena-mena menjual dan menggadaikan kekayaan negeri ini.
Lalu kemana rakyat jelata itu harus mencari tambahan penghasilan demi mempertahankan kebutuhan hidup yang layak? Untuk memberi sesuap nasi kepada anak istri, memberi selembar kain penutup aurat, memberi selarik naungan bagi keluarga dari terpaan hujan, angin dan teriknya matahari? Inilah bentuk kemiskinan struktural yang diciptakan pemerintah demi sebuah kredo bernama pembangunan.
Pembangunan hanya bermanfaat bagi sebagian masyarakat kelas menengah tapi semakin memiskinkan kalangan marginal. Dari pemilik tanah/sawah menjadi penggarap, dari nelayan mandiri menjadi nelayan buruh. Bukan sekedar para orangtua yang bekerja keras, tetapi jangan lupakan anak-anak jermal di Bagan siapi-api. Masih juga mereka dikatakan pemalas yang bermental peminta-minta?
Bantuan Langsung Tunai harus jadi kewajiban pemerintah
Konsep BLT mulai dikenal masyarakat usai terjadinya reformasi. Entah apa konsep, tujuan dan sasaran yang ingin dicapai pemerintah dengan digulirkan program Jaring Pengaman Sosial yang saat itu (kalau tidak salah) di bawah kendali bapak Adi Sasono, Menteri Koperasi dan UKM. Yang jelas, program itu tidak terdengar kabar berita dan apa hasilnya.
Kali ke dua, pemerintah menggantinya dengan istilah Bantuan Langsung Tunai – BLT, saat pemerintah memutuskan untuk mlakukan kenaikan harga BBM yang luar biasa besarnya dengan dalih pencabutan subsidi pada tahun 2005. BLT I, kalau tidak salah hanya berlaku selama + 1 tahun dimana rata-rata keluarga memperoleh Rp.100 ribu per bulan dan dibayarkan sekaligus 3 bulan.
Entah jatuh darimana angka keramat 100 ribu rupiah per keluarga yang diadopsi oleh pemerintah. Yang pasti demi 100 ribu telah terjadi banyak ekses. Dari mulai pungutan oknum pejabat rt/rw/kelurahan, perseteruan antar tetangga karena irihati tidak memperoleh BLT hingga pingsan atau bahkan hingga meninggal dunia saat terjadi dorong-mendorong dalam antrian memperoleh 100 ribu/bulan. Sungguh, sebuah perjuangan, konsekuensi dan dampak sosial, ekonomi dan keamanannya tidak sebanding dengan nilai BLT yang dikucurkan pemerintah.
Di banyak Negara terutama di Negara maju semisal Perancis, bantuan tunai untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat bukan suatu hal yang aneh. Bahkan sudah dimulai sejak 60 tahun yang lalu dan bentuk Jaringan Pengaman Sosial[i] yang paripurna, terstruktur dan sangat multidimensi. Kesemuanya ini antara lain dijalankan oleh Caisse Primaire d’Allocation Familialle[ii] - CAF.
Bantuan pemerintah Perancis melalui CAF dalam system Securite Sociale bagi masyarakat yang berpenghasilan di bawah SMIC[iii] sangat menyeluruh, mulai dari bantuan biaya sewa rumah (allocation de logement), bantuan biaya rumah tangga untuk keluarga yang beranak banyak (allocation familliale) hingga tunjangan berlibur bagi anak-anak ke colonie de vacances.
Bahkan ada bantuan untuk membayar biaya asuransi kesehatan, bantuan biaya melahirkan dan banyak sekali benefit yang dapat diperoleh rakyat termasuk tunjangan bagi penganggur (chomage). Toh kesemua bantuan tersebut tidak menjadikan masyarakat Perancis menjadi peminta-minta.
Walaupun bagaimana, mereka tahu bahwa menjadi penerima tunjangan tersebut hanya memberikan cap bahwa mereka adalah termasuk golongan masyarakat “miskin”. Saya yakin, pada dasarnya, tidak ada satu orangpun yang mau mendapat cap sebagai orang miskin yang terpinggirkan termasuk rakyat Indonesia.
Memang berlebihan kalau kita membandingkan kondisi ekonomi Indonesia dengan Perancis. Tetapi, setidaknya memberikan gambaran bahwa BLT atau apapun namanya merupakan kewajiban pemerintah untuk membantu rakyat yang memang dalam taraf hidup di bawah kelayakan, untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Yang lebih layak dicermati adalah, kriteria penerima dan prinsip keadilan dalam pembagian BLT. Kesemuanya tidak bisa disamaratakan. Begitu pula dengan cara pembayarannya agar tidak menimbulkan berbagai kerawanan sosial. Beban keluarga miskin yang beranak banyak tidak bisa disamakan dengan keluarga miskin yang tidak beranak. Biaya hidup manula jompo yang miskin tidak bisa disamakan dengan keluarga miskin yang beranak banyak. Lalu bagimana kesinambungan dari program ini dan upaya pemerintah untuk “mengeluarkan” rakyat dari jerat kemiskinan.
BLT harus menjadi salah satu kewajiban pemerintah dan untuk sementara terutama diperuntukkan bagi golongan manula dan orang cacat, selama pemerintah tidak mampu menyediakan lapangan kerja yang cukup. Dan bantuan ini tidak harus dikaitkan dengan penghapusan subsidi BBM, tetapi harus menjadi program tetap yang masuk ke dalam APBN.
Jadi jalan menuju keadilan dan kemakmuran memang masih panjang.
Diambil dari situs Caisse Primaire d’Allocation Familialle
Portrait de notre institution
Les Allocations familiales forment la "branche Famille" de la Sécurité sociale, à travers le réseau formé par la caisse nationale des Allocations familiales (Cnaf) et l'ensemble des caisses d'Allocations familiales (Caf).
En 2005, le total des prestations financées par les Allocations familiales, ou versées pour le compte de l'Etat ou des Conseils généraux, s'élève à 62 milliards d'euros pour :
En 2005, le total des prestations financées par les Allocations familiales, ou versées pour le compte de l'Etat ou des Conseils généraux, s'élève à 62 milliards d'euros pour :
1. accompagner les familles dans leur vie quotidienne,
2. accueillir le jeune enfant,
3. faciliter l'accès au logement,
4. lutter contre la précarité ou le handicap.
Quelques indicateurs de qualité de service:
- 90 % d'appels téléphoniques traités en 2005,
- 94 % des allocataires satisfaits (enquête TNS SOFRES 2004),
- 97 % des courriers traités dans un délai inférieur à 21 jours,
- 97 % des allocataires reçus dans un délai inférieur à 30 minutes.
Profil
Depuis soixante ans, notre Institution accompagne les familles pour les aider dans leur vie quotidienne : éducation, garde des enfants, logement, loisirs. Acteur majeur de la solidarité nationale, l'un des pivots du "modèle social" français, elle est constituée d'un réseau d'hommes et de femmes présents sur tout le territoire. Résolument engagés sur la voie du progrès, ils ne cessent d'améliorer la qualité de leurs services, reconnue dans toutes les enquêtes réalisées par des organismes indépendants.
Depuis soixante ans, notre Institution accompagne les familles pour les aider dans leur vie quotidienne : éducation, garde des enfants, logement, loisirs. Acteur majeur de la solidarité nationale, l'un des pivots du "modèle social" français, elle est constituée d'un réseau d'hommes et de femmes présents sur tout le territoire. Résolument engagés sur la voie du progrès, ils ne cessent d'améliorer la qualité de leurs services, reconnue dans toutes les enquêtes réalisées par des organismes indépendants.
Aujourd'hui, les Allocations familiales travaillent à concevoir les politiques familiales de demain.