Sore tadi, usai shalat maghrib, kami berempat berangkat ke Halim Perdanakusuma. Ada undangan dari kawan lama sekaligus notaris langganan kantor.
Lalulintas Jakarta usai jam keja, apalagi pada hari Jum'at sore, amat sangat macet. Jalan tol Semanggi - Cawang padat merayap. Apalagi jalan arterinya, lebih berat untuk ditempuh. Tidak ada pilihan lain untuk mencapai Hal-Pers. Butuh waktu 1 jam untuk jarak dari jl HAngtuah ke gedung Pia Ardia Garini di Hal-Pers.
Jakarta yang padat, Jakarta yang semrawut, Jakarta yang polutif, Jakarta yang kejamnya konon lebih dari ibu tiri tetapi juga Jakarta yang dicinta banyak orang.
Jakarta menjadi barometer keberhasilan karir seseorang. Itu sebabnya, bekerja di Jakarta menjadi incaran bagi banyak rakyat Indonesia. Padahal, hidup di Jakarta itu sengsara. Sangat melelahkan.
Bayangkan, perjalanan dari rumah ke kantor tidak bisa ditempuh dalam hitungan menit. Jakarta sudah terlalu padat sehingga untuk menampung penduduknya, perumahan sudah menjamur menempel di pinggiran Jakarta dan sekarang sudah merambah hingga ke pelosok kota penyangga; kabupaten Bekasi, Tangerang dan Bogor.
Staff kantor yang tinggal di Sawangan, Depok atau Bekasi (Pondok Ungu) dan menggunakan kendaraan umum, sudah harus meninggalkan rumah usai shalat subuh untuk tiba di kantor sebelum jam delapan. Atau paling lambat jam 06.30 dengan resiko tiba di kantor lewat dari jam 08.00. Sore hari, tepat jam 17 atau paling lambat 17.15 mereka pulang dan tiba di rumah paling cepat jam 19.30. Kalau ada musibah macet karena ada demonstrasi atau banjir, bisa jadi perjalanan bertambah lama.
Supir kantorku, tinggal di Rempoa, menyewa 1 kamar dengan biaya 250ribu/bulan. Betul-betul hanya satu kamar multifungsi, sebagai tempat makan, tidur dan menerima tamu. Untuk mandi menggunakan kamar mandi umum. Untung masih ada teras belakang yang bisa digunakan untuk memasak. Dia tinggal dengan satu anak balita dan istrinya.
Dengan gaji UMR dan lemburnya sekitar 1,25juta per bulan, dia masih harus menyisihkan uang untuk transportasi sekitar 250ribu juga sebulan dan makan siang yang entah berapa besarnya per bulan. Mungkin hanya akan tersisa sekitar 650ribu untuk belanja keperluan makan sekeluarga dan kebutuhan lainnya.
Tapi, Jakarta tidak hanya diisi oleh orang-orang yang terpaksa harus cukup puas dengan gaji UMRnya. Jakarta juga dipenuhi oleh orang-orang yang masih belum puas dengan gaji yang sudah puluhan juta per bulan dan di atas seratus juta rupiah per bulan. Dan orang-orang ini, toh masih merasa gajinya yang puluhan juta per bulan itu masih kurang memenuhi kebutuhan hidupnya.
Jumlah mereka yang hidup "diawang-awang" juga cukup banyak. Mereka termasuk penyumbang polusi terbesar karena belum cukup puas dengan mobil-mobilnya yang sudah meluap, luber hingga ke jalan didepan rumahnya. Tapi, begitupun golongan ini juga bersuara cukup keras menentang penghapusan subsidi BBM dengan mengatasnamakan rakyat kecil.
Mereka juga tidak akan puas kalau belum termasuk golongan penyumbang gas penyebab efek rumah kaca alias pengguna CFC/freon yang fanatik. Merekalah penghuni perumahan mewah yang dijaga ketat oleh satpam. Terlindungi dari udara panas khatulistiwa dalam istana berpilar ala kastil kuno Eropa.
Jakarta memang paradoxal. Jadi ... masih ingin tinggal di Jakarta?
Lalulintas Jakarta usai jam keja, apalagi pada hari Jum'at sore, amat sangat macet. Jalan tol Semanggi - Cawang padat merayap. Apalagi jalan arterinya, lebih berat untuk ditempuh. Tidak ada pilihan lain untuk mencapai Hal-Pers. Butuh waktu 1 jam untuk jarak dari jl HAngtuah ke gedung Pia Ardia Garini di Hal-Pers.
Jakarta yang padat, Jakarta yang semrawut, Jakarta yang polutif, Jakarta yang kejamnya konon lebih dari ibu tiri tetapi juga Jakarta yang dicinta banyak orang.
Jakarta menjadi barometer keberhasilan karir seseorang. Itu sebabnya, bekerja di Jakarta menjadi incaran bagi banyak rakyat Indonesia. Padahal, hidup di Jakarta itu sengsara. Sangat melelahkan.
Bayangkan, perjalanan dari rumah ke kantor tidak bisa ditempuh dalam hitungan menit. Jakarta sudah terlalu padat sehingga untuk menampung penduduknya, perumahan sudah menjamur menempel di pinggiran Jakarta dan sekarang sudah merambah hingga ke pelosok kota penyangga; kabupaten Bekasi, Tangerang dan Bogor.
Staff kantor yang tinggal di Sawangan, Depok atau Bekasi (Pondok Ungu) dan menggunakan kendaraan umum, sudah harus meninggalkan rumah usai shalat subuh untuk tiba di kantor sebelum jam delapan. Atau paling lambat jam 06.30 dengan resiko tiba di kantor lewat dari jam 08.00. Sore hari, tepat jam 17 atau paling lambat 17.15 mereka pulang dan tiba di rumah paling cepat jam 19.30. Kalau ada musibah macet karena ada demonstrasi atau banjir, bisa jadi perjalanan bertambah lama.
Supir kantorku, tinggal di Rempoa, menyewa 1 kamar dengan biaya 250ribu/bulan. Betul-betul hanya satu kamar multifungsi, sebagai tempat makan, tidur dan menerima tamu. Untuk mandi menggunakan kamar mandi umum. Untung masih ada teras belakang yang bisa digunakan untuk memasak. Dia tinggal dengan satu anak balita dan istrinya.
Dengan gaji UMR dan lemburnya sekitar 1,25juta per bulan, dia masih harus menyisihkan uang untuk transportasi sekitar 250ribu juga sebulan dan makan siang yang entah berapa besarnya per bulan. Mungkin hanya akan tersisa sekitar 650ribu untuk belanja keperluan makan sekeluarga dan kebutuhan lainnya.
Tapi, Jakarta tidak hanya diisi oleh orang-orang yang terpaksa harus cukup puas dengan gaji UMRnya. Jakarta juga dipenuhi oleh orang-orang yang masih belum puas dengan gaji yang sudah puluhan juta per bulan dan di atas seratus juta rupiah per bulan. Dan orang-orang ini, toh masih merasa gajinya yang puluhan juta per bulan itu masih kurang memenuhi kebutuhan hidupnya.
Jumlah mereka yang hidup "diawang-awang" juga cukup banyak. Mereka termasuk penyumbang polusi terbesar karena belum cukup puas dengan mobil-mobilnya yang sudah meluap, luber hingga ke jalan didepan rumahnya. Tapi, begitupun golongan ini juga bersuara cukup keras menentang penghapusan subsidi BBM dengan mengatasnamakan rakyat kecil.
Mereka juga tidak akan puas kalau belum termasuk golongan penyumbang gas penyebab efek rumah kaca alias pengguna CFC/freon yang fanatik. Merekalah penghuni perumahan mewah yang dijaga ketat oleh satpam. Terlindungi dari udara panas khatulistiwa dalam istana berpilar ala kastil kuno Eropa.
Jakarta memang paradoxal. Jadi ... masih ingin tinggal di Jakarta?