Beberapa hari yang lalu, sambil browsing saya “nguping” diskusi di Metrotv. Mungkin acara Save Our Nation atau Padamu Negeri (emang ada acara yang namanya begitu?). Pokoknya acara itu isinya survey interaktif antar grup yang hadir di studio dengan 3 nara sumber. Setiap selesai survey, setiap group memaparkan alasan-alasan dari pilihannya. Semula, acara ini dipandu sama Fifi Aleyda Yahya, terus diganti sama Dedi Gumelar yang Miing itu. Acara yang baru lalu itu, saya sudah nggak tahu lagi siapa pemandunya.
Di akhir acara, salah satu responden menjawab (saya nggak dengar pertanyaannya) yang intinya … ‘bangsa Indonesia harus tetap optimistis karena kita memiliki begitu banyak sumber alam yang mampu memakmurkan bangsa” Nggak persis begitu sih, jawabannya… tapi, yang saya tangkap, esensinya begitu deh.
Tahun depan, kalau nggak salah bulan April 2009, Indonesia akan melaksanakan kembali pemilihan umum untuk anggota DPR/MPR dan DPD lalu disusul dengan pemilihan presiden langsung yang ke 2. Dan pertanyaan Apakah anda optimistis atau pesimistis akan masa depan Indonesia, menjadi sangat relevan untuk dikaitkan dengan hingar-bingar persiapan ke dua peristiwa akbar tersebut.
Indonesia kaya raya, yup… seluruh dunia tahu hal itu. Kaya raya sumber alamnya. Tanahnya subur … orang bilang, lempar saja biji-bijian, seminggu kemudian biji tersebut sudah bertunas dan berkembang menjadi pohon. Jangan bandingkan kesuburan tanah di Indonesia dengan tanah gurun batu di Saudi Arabia, cukup bandingkan dengan tanah di Eropa. Petani Eropa harus bersusah payah, menanam sesuai musim, tanaman harus di tutup dengan plastik supaya hangat, atau kalau yang lebih modern, pertanian harus pakai green house.
Sumber alamnya…. Aduh, jangan ditanya deh…!!! Apa yang nggak ada di Indonesia? Dari mulai pasir, kapur, marmer sampai batu mulia. Dari nikel, timah, tembaga, perak sampai emas, dari batu bara, minyak mentah hingga uranium… Ayo, apa yang nggak ada di Indonesia. Begitu juga dengan kekayaan bahari dan hayati. Bahkan berbagai miniature alam, semua ada di Indonesia. Gurun hingga salju abadi dan padang rumput hingga kelebatan hutan tropis. Konon orang-orang gurun di timur tengah seringkali mengibaratkan Indonesia seperti surga dunia. Cuma sayangnya, sejak masuknya VOC hingga usia kemerdekaan Negara mencapai 63 tahun, segala kekayaan alam Indonesia lebih banyak dinikmati oleh negara-negara asing. Kalau pada abad ke 17 hingga masa sebelum kemerdekaan di tahun 1945 abad ke 20, Indonesia luluh lantak diperas Belanda, negara yang luasnya se “uprit” dan “gunung" alias tanah dengan permukaan tertinggi di seantero Belanda hanya 30 meter di atas permukaan laut ditambah dengan kekangan saudara tua dari belahan timur dunia, maka pada masa kemerdekaan, Indonesia malah dengan sukarela bertekuk lutut di bawah pemerintah amerika serikat dan sekutunya melalui putra-putri terbaiknya yang telah “disuapi ilmu” a la John Perkins.
Tinggal beberapa bulan lagi kita menghadapi pilihan raya demi masa depan Indonesia yang lebih baik. Masih percayakah kita akan harapan bahwa para pejabat publik periode yang akan datang yang meliputi eksekutif, legislatif dan judikatif mampu membangun negara dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat?
Kalau melihat sumber daya alam yang sangat melimpah, mestinya pemerintah Indonesia mampu mensejahterakan rakyatnya. Tengok saja Korea yang kini sudah menjadi salah satu macan ekonomi dari timur. Padahal, negara ini sempat dilanda peperangan dan intervensi pihak asing dan toh mereka mampu memperbaiki negerinya. Padahal, kekayaan alamnya tidaklah sebesar Indonesia.
Tengok juga Cina dengan penduduk yang yang berjumlah lebih dari satu milyar jiwa. Padahal Negara ini sempat terpuruk dilanda revolusi kebudayaan pada tahun 1966 dan baru mulai bangkit pada tahun 1980–an di bawah kepemimpinan Deng Xiao Ping. Kini Amerika Serikat yang mengaku dirinya sebagai polisi dunia, dalam bidang ekonomi, secara tidak langsung telah “bertekuklutut” kepada Cina. Ekonomi AS, porak poranda setelah berbagai negara di hampir seluruh belahan dunia termasuk AS dilanda serbuan barang produk Cina yang mengakibatkan defisit neraca perdagangan setiap Negara terhadap Cina. Dominasi produk Cina telah mengakibatkan produk industri negara non Cina menjadi tidak kompetitif lagi. Tidak salah lagi bila banyak ekonom yang meramalkan bahwa dalam krun waktu 20 tahun, ekonomi dunia akan dikuasai Cina.
Lalu bagaimana Indonesia dengan kekayaan sumber alamnya yang melimpah. Kekayaan hanya bermanfaat bila dikelola dengan baik dan dimanfaatkan dengan benar sesuai dengan amanat pasal 33 UUD 1945.
Indonesia pernah menjadi “guru” yang baik bagi Malaysia. Kini kondisi Malaysia telah berkembang sedemikian baiknya, jauh meninggalkan sang guru. Banggakah kita? Kalau saja diibaratkan seperti pendidik, tentu saja sang guru akan sangat berbangga hati bahwa muridnya telah berhasil meningkatkan harkat hidupnya. Sayangnya Indonesia adalah sebuah Negara berbentuk republik yang bila “mampu mengajarkan” Negara lain untuk berkembang, tetapi tidak mampu mengembangkan diri sendiri, tantu ada yang salah dalam tata laksana Negara ini. Dan …. Ini sudah menjadi rahasia umum….
Ah… itu kan gara-gara tim economic hit man nya John Perkins! Yup … bisa jadi begitu, sayangnya bukan lagi masanya untuk mencari kambing hitam. Kenapa tidak megintrospeksi diri saja. Apa yang sudah kita lakukan bagi rakyat dan bangsa ini.
Satu saat, saya pernah berbincang dengan seseorang yang “relatif bersih” dan menanyakan sebab-sebab keenganannya bergabung dalam partai atau pemerintah. Saya selalu percaya bahwa untuk melakukan perubahan maka kita harus memiliki “kekuasaan”, namun kekuasaan itupun harus diperoleh dengan cara yang baik dan benar. Sebab, bila dalam meraih kekuasaan itu sendiri telah dilakukan dengan cara-cara yang tidak benar, maka jangan berharap kita akan “memegang kekuasaan” yang berarti amanah dan kepercayaan itu dengan baik dan benar pula.
Atas pertanyaan itu, dia menjawab:
“Aku nggak sanggup cakar-cakaran, sikut-sikutan dan kemudian melaksanakan berbagai hal manipulatif demi sebuah kekuasaan. Tidak…, saya tidak sanggup, karena itu bertentangan dengan hati nurani. Lebih baik saya berada di luar lingkaran, melakukan apa yang bisa saya lakukan”. Begitu katanya.
Saya percaya, masih banyak “orang pintar yang baik” di Indonesia. Tetapi sebagian besar dari mereka ada dalam golongan yang berprinsip seperti teman saya itu. Egoistis atau idealistis? Sukar untuk menjawabnya. Boleh jadi dia dituduh egoistis, karena hanya memikirkan idealism pribadi dan tidak mau atau mungkin tidak mampu berjuang untuk orang banyak. Atau bisa jadi orang lain akan menilainya sebagai idealis. Suka-sukalah….!
Lalu, adakah yang memikirkan nasib bangsa dan negara ini kelak? Mestinya, partai-partai yang sedang bersiap menyongsong pemilu itulah yang berkewajiban “memilih” anggota legislatif yang “mumpuni”, yang mampu menyerap aspirasi konstituennya sekaligus mampu bekerja dan memahami berbagai permasalahan negara.
Saya pernah melihat tumpukan berbagai dokumen salah satu komisi dan panitia di DPR, lalu mengintipnya. Aduh, mak…. Berat!! Seorang sarjana saja belum tentu mampu mencerna berbagai masalah negara. Kalau sarjana saja tidak mampu, bagaimana kalau anggota legislatifnya tidak memiliki pendidkan yang baik atau kalaupun sarjana, tapi berasal dari universitas cap dua kendi?
Betul di DPR ada sekretariat, dan semua anggota DPR memiliki staff ahli, assisten dan lain-lain. Tahukah anda bagaimana kualitas mereka? Nggak ada bedanya dengan suasana di kantor-kantor pemerintahan. Ada aa’ teteh, adik, uwa, mamang, bibi bahkan istri… ngumpul dan tumblek blek disitu…., Memang tidak semuanya begitu, tetapi ada…..!!!!
Seorang teman yang "lulus" dalam seleksi menjadi staff ahli di DPR bercerita, tatkala calon staff hasil seleksi diajukan kepada anggota DPR untuk dimanfaatkan sebagai staffa ahli/assistennya, beberapa menolak dan lebih memilih staff ahli/asisten sendiri, yaitu yang berasal dari kalangan keluarga. ya si aa, teteh itulah. Mungkin mereka pikir... daripada honorarium staff/assisten jatuh ke orang yang "tidak dikenal" kan lebih baik mengalir ke lingkungan terdekat. Yah... hitunghitung nolong keluarga.
Dengan kualitas pendukung seperti itu, ditambah lagi dengan kualitas intelektual (walau tidak semua) yang pas-pasan, nggak salah kalau gus Dur berkomentar bahwa DPR tidak ubahnya seperti taman kanak-kanak
Coba tengok, perilaku buruk anggota DPR bertubi-tubi belakangan ini. Dari mulai perilaku seksual, suap menyuap, jual-beli suara dan otoritas berkedok fit & proper. Bagaimana kita bisa menggantungkan masa depan bangsa ini kepada para pejabat public seperti itu?
Memang, menjadi anggota parlemen butuh modal besar, berapapun besarnya, minimal untuk kampanye. Tentu mereka ingin modal tersebut kembali dan lagi-lagi minimal sebagai modal kampanye masa jabatan berikutnya. Kalau hanya mengandalkan gaji dan tunjangan sebagai anggota DPR yang sudah dipotong kewajiban kepada partai, sumbangan-sumbangan bagi para konstituennya yang bertubi-tubi serta kebutuhan rumahtangga sehari-hari, boleh jadi modal awal tidak akan kembali. Jadi secara logika, “pantaslah” bila mereka mencari cara lain mendpatkan penghasilan tambahan. Dengan struktur pengeluaran dan penerimaan seperti itu, terlalu naïf, kalau kita katakan bahwa gaji mereka telah mencukupi.
Mengatakan bahwa menjadi anggota parlemen sebagai “pengabdian pada bangsa dan negara”, dimata saya masih terlalu idealis. Rasanya masih jauh dari perikehidupan bangsa kita yang belum “ajeg”. Yang secara nasional dan menurut teory Maslow masih berada dalam taraf pemenuhan kebutuhan dasar. Walaupun itu tidak bisa dijadikan pembenaran atas terjadinya jual-beli “kekuasaan dan otoritas” anggota parlemen dalam mengesahkan pejabat executive, undang-undang, APBN dan kebijakan-kebijakan lainnya
Kini, menjelang pemilu, kita diperlihatkan bagaimana partai menempatkan calon legislatifnya. Popularitas menjadi tolok ukur utama. Bukan kualitas. Itu sebabnya artis yang jaman Suharto dulu hanya dijadikan pendukung kampanye, sekarang bertengger di urutan 1 daftar calon legislatif.
Mereka yang sehari-hari berakting, itupun hanya akting pas-pasan saja… Mereka yang bermodalkan goyangan pinggul berbekal popularitasnya dengan sangat percaya diri menjadi caleg, seolah persoalan negara cukup ditangani dengan acting dan goyangan pinggul. Atau bahkan bermodalkan hubungan keluarga dengan petinggi partai. Ya itu… golongan aa’ teteh, uwa bibi dan seterusnya.
Jadi kalau profil calon legislatif di urutan 1 hanya bermodalkan popularitas dan nepotisme, masih optimiskah anda bahwa para pejabat publik pada pemerintahan mendatang mampu membawa Negara ini kea rah yang lebih baik?